- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#525
Jilid 16 [Part 367]
Spoiler for :
KETIKA semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka. Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata,
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya,
Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu. Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka. Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah.
Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar. Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu.
Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata,
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya. Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya.
Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri. Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hatinya.
Sehingga tak sesadarnya ia berbisik,
WIDURI, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata,
Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan diri.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka. Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata,
Quote:
“Apakah kalian tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya,
Quote:
“Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”
“Kau benar,” sahut Pasingsingan.
“Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.”
“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
“Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.”
“Kau benar,” sahut Pasingsingan.
“Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.”
“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
“Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.”
Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu. Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka. Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah.
Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar. Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu.
Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata,
Quote:
“Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?”
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya. Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya.
Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri. Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hatinya.
Sehingga tak sesadarnya ia berbisik,
Quote:
“Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.”
WIDURI, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
Quote:
“Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak.
“Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”
“Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata,
Quote:
“Setan. Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji Gelap Ngampar?”
“Hem…” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya.
“Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
“Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan hampir berteriak.
“Hem…” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya.
“Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
“Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan hampir berteriak.
Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
Quote:
“Kau juga bernama Pasingsingan?" Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.
“Akulah Pasingsingan itu,” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang,
“Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.”
“Akulah Pasingsingan itu,” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang,
“Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.”
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan diri.
Quote:
“Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu.
“Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.”
“Jangan mencoba mengajari aku,” bentak Pasingsingan.
“Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
“Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya,
“Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
“Huh…” potong Pasingsingan,
“Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang berusaha.”
“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Jangan berpura-pura,” jawab Pasingsingan.
“Hem…” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.
“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?”
“Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.”
“Jangan mencoba mengajari aku,” bentak Pasingsingan.
“Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
“Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya,
“Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
“Huh…” potong Pasingsingan,
“Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang berusaha.”
“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Jangan berpura-pura,” jawab Pasingsingan.
“Hem…” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.
“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas