- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#524
jilid 16 [Part 366]
Spoiler for :
PASINGSINGAN sudah tidak mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka muridnya. “Sesudah itu aku akan membunuh setiap orang di sini. Mantingan,Wirasaba, Rara Wilis dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di matanya untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka di belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit untuk meruntuhkan keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru,”kata hatinya kemudian.
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya.
Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta.
Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti bergulung-gulung di dalam perutnya.
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh.
Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya.
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat.
Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun berhati-hati.
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian.
Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
Mata Sura Sarunggi menjadi liar. Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu.
Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi? Tak seorangpun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil,
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.
“Tetapi siapakah selain mereka?”bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya.
Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.
Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan…?
“Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,”pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring,
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya.
Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta.
Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti bergulung-gulung di dalam perutnya.
Quote:
“Widuri, agaknya kau telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh.
Quote:
“Aku menjadi geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka,
“Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab,
“Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.”
Pasingsingan tertawa.
“Lalu…?” ia bertanya pula.
Jaka Soka menggeleng, jawabnya,
“Selama ia masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut Pasingsingan,
“Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam,
“Sayang.”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka,
“Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab,
“Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.”
Pasingsingan tertawa.
“Lalu…?” ia bertanya pula.
Jaka Soka menggeleng, jawabnya,
“Selama ia masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut Pasingsingan,
“Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam,
“Sayang.”
Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya.
Quote:
“Ia mati di luar lingkungan kami,” desisnya.
“Ya,” sahut Sura Sarunggi.
“Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.”
“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak.
“Aku tidak punya banyak waktu.”
“Ya,” sahut Sura Sarunggi.
“Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.”
“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak.
“Aku tidak punya banyak waktu.”
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat.
Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun berhati-hati.
Quote:
“Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi,
“Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?”
“Ya,” jawab Pasingsingan.
“Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.”
SURA SARUNGGI menyahut,
“Tetapi jangan membuang-buang waktu.”
“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata,
“Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata Pasingsingan pula.
“Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai.”
“Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?”
“Ya,” jawab Pasingsingan.
“Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.”
SURA SARUNGGI menyahut,
“Tetapi jangan membuang-buang waktu.”
“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata,
“Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata Pasingsingan pula.
“Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai.”
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian.
Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
Quote:
“Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi,” desis Pasingsingan.
“Hadiah yang tak ternilai,” jawab Sura Sarunggi.
“Hadiah yang tak ternilai,” jawab Sura Sarunggi.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
Quote:
“Hem….” geram Pasingsingan,
“Apakah ini?”
“Apakah ini?”
Mata Sura Sarunggi menjadi liar. Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu.
Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi? Tak seorangpun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
Quote:
“Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?”
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil,
Quote:
“Ayah barangkali?”
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.
“Tetapi siapakah selain mereka?”bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya.
Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.
Quote:
“Akulah yang datang.”
“Siapa?” teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,” jawab suara itu.
“Siapa?” teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,” jawab suara itu.
Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan…?
“Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,”pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring,
Quote:
“Siapakah kau? Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus Pasingsingan?”
“Aku Pasingsingan,” jawab suara itu.
“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.
“Aku satu-satunya.”
“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain.
“Aku juga Pasingsingan.”
“Aku Pasingsingan,” jawab suara itu.
“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.
“Aku satu-satunya.”
“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain.
“Aku juga Pasingsingan.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas