- Beranda
- Stories from the Heart
Awakening (Supranatural & Romance)
...
TS
watcheatnsleep
Awakening (Supranatural & Romance)

Ini merupakan thread pertama TS jadi mohon maaf kalau penulisannya masih agak berantakan dan kurang menarik.
Kalau ada kekurangan atau kesalahan kiranya bisa comment di thread ini buat pembelajaran sendiri bagi TS kedepannya.
Semoga ceritanya dapat dinikmati agan-agan sekalian, Thank you ^^.
INTRO
"Mereka" yang lebih dikenal dengan sebutan hantu, setan, jin, roh, makhluk halus dan sejenisnya, sejak dahulu kala eksistensi mereka selalu memicu suatu perdebatan. Begitu juga dengan Rama, seorang mahasiswa yang awalnya tak begitu percaya akan adanya keberadaan mereka, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan, bahwa ternyata eksistensi “Mereka” benar adanya.
Semua itu bermula dari pertemuannya dengan Adellia. Seorang wanita misterius yang menyimpan segudang rahasia di balik figurnya. Tanpa disadari Rama, benih-benih cinta telah timbul pada pandangan yang pertama. Sebuah rasa yang muncul untuk pertama kali dalam hidupnya.
Wanita demi wanita muncul mewarnai hidup Rama, bersamaan dengan setumpuk masalah yang mereka emban. Di sisi lain, bangkitnya indra keenam Rama seakan menuntunnya kepada sebuah perjalanan panjang untuk mencari jati dirinya.
Akankah Rama berhasil menemukan jati dirinya?
INDEKS
SEASON 1 : SIXTH SENSE
1. Sebuah Awal
2. Mimpi yang Aneh
3. Kesurupan Massal
4. Warna Merah
5. Hilang Kesadaran
6. Salah Tingkah
7. Wanita yang Berdiri di Sudut Kelas
8. Sebuah Awal
9. Pelet
10. Konfrontasi
11. Menjalani Kehidupan Kampus
12. Menikmati Momen yang Langka
13. Pilihan
14. Genderuwo
15. Film India
16. Teman Baru
17. Tengah Malam
18. Memori yang Indah
19. Cubitan Manja
20. Dominasi
21. Bukan Siapa-Siapa
22. Perasaan Kacau
23. Melissa
24. Maaf
25. Playboy
26. Tapi Bohong
27. Mobil yang Bergoyang
28. Truth or Dare
29. Tertawa Terbahak-bahak
30. Pembuktian
31. Pengakuan
32. Mimpi Buruk
33. Menikmati
34. Penyesalan
35. Kopi Darat
36. Terjatuh
37. Pulang
38. Makhluk yang Bersimbah Darah
39. Bungkusan Hitam
40. Pengalaman Putra
41. Firasat Buruk
42. Pulang ke Kost
43. Terkejut
44. Ancaman
45. Cerita Dibalik Rara
46. Kurang Tahan Lama
47. Hadiah
48. Rencana
49. Eksperimen
50. Titipan Eyang
51. Kecil
52. Penangkapan
53. Merek Baju
54. Drama
55. Pesan Singkat
56. Nadia
57. Hujan
58. Pesugihan
59. Hilang
60. Kolam
61. Kerjasama
62. Perang
63. Pengorbanan
64. Kisah Putra
65. Jatuhu
66. Awakening
67. Kabar Buruk
68. Raga Sukma
69. Perpisahan <END>
AWAKENING SEASON 2 : AMURTI
Link : https://kask.us/iOTnR
Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita
Terimakasih

Diubah oleh watcheatnsleep 04-04-2023 00:03
madezero dan 86 lainnya memberi reputasi
85
126.7K
1.3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
watcheatnsleep
#4
Chapter 4 Warna Merah
Aku melihat tatapan mata Adel mulai berubah menjadi tajam. Dia bahkan tidak tampak seserius ini saat berselisih dengan Arif barusan. Semakin aku mengenalnya, aku merasa figurnya semakin misterius.
"Serius ini kesurupan massal?" tanyaku dengan heran.
Adellia mengangguk dan berkata, "Katanya sih kampus kita emang angker Ram, terutama di bagian aulanya. Tahun lalu juga kabarnya ada kejadian yang sama, cuma bedanya tahun lalu kesurupan massalnya menjelang malam."
“Tau dari mana, Del?” tanyaku penasaran.
Adellia menatapku dengan senyuman misterius. “Dari temen Ram.”
Aku tak mengerti apa arti dari senyumannya itu. Tapi aku merasa aneh, karena aku tak melihat dia memiliki teman akrab selama ospek ini.
"Waduh, kalo gitu mending kita ngikutin yang lain aja yuk, Del," ajakku.
"Ayuk Ram, tapi yang lagi pada keluar juga bakal kesurupan Ram," ucap Adellia.
Aku kaget mendengar ucapannya yang bagaikan cenayang. Anehnya, sesaat setelah Adel selesai berbicara, aku melihat beberapa dari peserta ospek mulai pingsan. Beberapa orang lainnya juga mulai berteriak histeris sembari ingin menyerang peserta lainnya, sampai-sampai banyak orang yang berusaha untuk menahan dan memegangi tubuh mereka. Ada juga yang hanya menatap para peserta lainnya sambil tertawa cekikikan.
Aku bergidik melihat tingkah mereka yang kesurupan, karena ini adalah pertama kalinya dalam hidupku melihat fenomena semacam itu. Aku pun bergidik ngeri, sebab apa yang dikatakan Adel ternyata benar-benar terjadi.
Hingga secara spontan aku bertanya, "Kok lo bisa tau, Del?"
"Jangan-jangan lo bisa .…"
"Iya Ram, gw bisa ngelihat mereka," potong Adel dengan raut wajah datarnya.
Aku terkejut dan tak menyangka ternyata Adellia adalah seorang indigo. "Berarti kemarin, waktu gw ngelihat lo bicara sendiri itu .…"
"Waktu itu aku lagi ngobrol sama temen gaib, emang kamu gak bisa liat Ram?" tanya Adel dengan wajah yang terkesan bingung dan penasaran.
"Gua gak bisa liat yang begituan Del," jawabku sembari mengernyitkan dahi.
Adel tampak semakin bingung. "Hmmm, tapi kok ada sinar di pertengahan alis kamu, ya? bukannya itu tanda dari mata ketiga kamu yang udah kebuka?"
Aku semakin "Sinar gimana maksudnya, Del? Serius, aku gak paham."
Adellia tak membalas ucapanku, dia hanya diam menatapku dengan seksama. Aku menjadi makin bingung dan tak mengerti apa yang dimaksud dari omongan Adellia. Melihat situasi sekitar yang semakin kacau juga membuatku bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seseorang. "Woi Ram!”
Aku menoleh dan menyadari teriakan itu ternyata berasal dari Steven. “Ngapain bengong doang di sono? Sini ikut bareng gua."
Aku merasa lebih lega akan kehadiran Steven. Tanpa banyak berpikir, aku pun mengajak Adel menjauh dari lokasi itu bersama Steven. Untungnya timing kemunculan Steven sangat tepat dengan situasi yang canggung itu.
Sesaat setelah kami sampai digazebo kampus, Stevenpun mulai bertanya, "Dari mana aja lo Ram, kok gak keliatan dari pembukaan ospek tadi?"
"Tadi gua sama Adel dihukum karena telat," jawabku.
Tawa Steven seketika pecah. "Hahaha, dihukum ngapain aja tuh?”
"Disuruh bersihin ruangan panitia ospek," jawabku dengan kesal karena mengingat tingkah dari panitia yang bernama Arif itu.
“Lo juga aneh bener, bisa kesiangan waktu ospek gini. Padahal biasanya kan lo yang paling cepet bangun paginya,” ucap Steven.
Aku menghela nafas karena frustasi. “Ya mau gimana, namanya juga lagi apes.”
Dengan memasang wajah tengilnya Steven berkata, "Walau dihukum, lo tetep senengkan, karena bisa berduaan bareng Adel."
Aku lantas menendang bokongnya. "Emang kampret lo!"
Adel hanya duduk diam dan tersenyum melihat tingkah kami berdua. Hingga beberapa saat kemudian, panitia mengumumkan bahwa peserta ospek bisa pulang lebih cepat dan kegiatan ospek terpaksa harus dilanjutkan esok hari.
Setelah mendengar pengumuman, kami bertiga langsung memutuskan untuk pulang bersama. Selama di perjalanan, kami hanya mengobrol santai mengenai hal-hal umum dan kehidupan kami dulu sewaktu SMA.
“Waktu SMA, lo jurusan apa dulunya, Del?” tanya Steven penasaran.
“Jurusan IPA, kalau kalian gimana?” tanya Adel balik.
“Kita berdua sih jurusan IPS,” jawab Steven. “Soalnya gua males belajar, Del. Temen-temennya juga jauh lebih asik disana, haha.
“Tapi, kok lo jadi ngambil jurusan manajemen Del? Kenapa gak ambil jurusan lain?” tambah Steven.
“Hmmm, karena penasaran aja sih sebenarnya. Pengen nyobain tantangan yang baru tepatnya,” balas Adel. “Kalau kalian kenapa ngambil jurusan ini?”
“Gua sih sebenarnya cuma ngikut Rama aja Del. Soalnya gua juga ga tau pengen ambil jurusan apaan habis lulus SMA,” jawab Steven.
“Kalo lo, Ram?” tanya Adel lagi
“Hmmm, kalo gua sih karena mikirnya ilmu manajemen bisa dipake di seluruh bidang kehidupan Del. Entah itu buat di kehidupan sehari-hari atau perencanaan ke depannya yang lebih kompleks,” jawabku panjang.
“Formal amat kek pidato gubernur,” ejek Steven.
“Formal pala lu peang,” balasku.
Sembari melanjutkan percakapan dijalan, Perkataan dari Adel saat terjadi kesurupan massal di kampus masih terngiang-ngiang dikepalaku. Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudnya dengan sinar dan mata ketiga.
Aku juga menjadi was-was karena setauku orang yang memiliki kemampuan indigo biasanya merahasiakan kemampuan mereka. Aku berpikir, apakah Adellia keceplosan karena dia berpikir kalau aku memiliki kemampuan yang sama dengannya. Tapi yang pasti untuk saat ini aku berpikir untuk merahasiakannya dari orang lain termasuk Steven.
Sebelum masuk ke kos kami masing-masing, tiba-tiba Adellia berkata, “Besok kita berangkat bareng lagi ya Ram.”
“Boleh, Del. Sorry banget buat tadi pagi,” balasku merasa bersalah.
“Santai aja Ram, tapi besok jangan sampe ngebo lagi ya. Kalo telat lagi, entar aku dobrak pintu kamarnya, haha,” ujarnya sembari tersenyum manis lalu pergi masuk ke dalam kos.
Tanpa sadar, aku tak kuasa menahan senyumku saat mendengar ucapan darinya.
“Ehemm … ehemm …, kayaknya ada yang makin deket aja nih,” ejek Steven.
Aku pun tersadar bahwa Steven sedang memandangiku sejak tadi. Refleks aku menjadi salah tingkah.
“Kayaknya dia beneran naksir sama lo deh Ram,” celetuk Steven tiba-tiba.
“Jangan sotoy deh, mana mungkin dia suka sama gua.” balasku tak percaya.
Steven bergerak merangkul leherku. “Yaelah, bisa-bisanya lo ga percaya sama gua.”
Sembari menengadah ke langit, dengan percaya dirinya dia berkata, “Percaya sama julukan gua, sang dewa cinta.”
“Yang ngasih julukan paling mantan-mantan lo yang udah ga keitung jumlahnya,” sindirku.
Namun, seorang Steven takkan merasa tersindir apabila membahas mantan-mantannya. Dia malah makin bersemangat untuk pamer dan unjuk gigi.
“Hmmm, 30% voting dari mantan dan 70% dari para penggemar rahasia gua,” ucapnya dengan muka tembok.
“Serah lo dah, lama-lama gua makin gila kalo ngeladenin lo!” balasku sambil menggeleng-gelengkan kepala lalu pergi masuk ke dalam kos.
“Eh, dengerin gua dulu, Ram.”
Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring di kasur dan termenung sejenak. Aku berpikir, sepertinya didalam hidupku baru kali ini aku merasakan interaksi yang sangat dekat dengan seorang wanita selain ibuku sendiri. Tetapi sebelum berpikir yang aneh-aneh dan berharap lebih, baiknya aku mengubur pikiran itu dalam-dalam. Aku tak mau berekspektasi lebih, karena aku tau, jika ekspektasi tidak sesuai, sudah pasti rasa kecewanya akan terasa lebih sakit.
Berhubung kami pulang cepat dan tidak diberikan tugas di ospek hari ini, aku bisa bebas beraktivitas hari ini. Terbesit di otakku, akan mata ketiga yang diucapkan oleh Adellia tadi pagi. Aku pun memutuskan untuk mencarinya dengan berselancar di internet.
Dari informasi yang terdapat di beberapa artikel, dijelaskan bahwa mata ketiga disebut juga sebagai mata batin. Salah satu fungsinya bisa digunakan untuk melihat makhluk-makhluk tak kasat mata alias hantu. Katanya, mereka yang memiliki mata ketiga ini biasanya mendapatkannya sejak lahir atau dari hasil latihan spiritual. Aku merasa diriku bukanlah salah satu orang yang termasuk di dalam kedua kategori itu.
Aku berpikir kenapa Adellia mengatakan mata ketigaku sudah terbuka? Padahal aku tak bisa melihat yang namanya hantu. Sebelumnya aku juga tidak mempunyai pengalaman mengenai hal-hal ghaib. Bisa dibilang Adellia adalah orang pertama yang mengatakan hal semacam itu kepadaku.
Aku jadi mulai berandai-andai dan berpikir bahwa pastinya akan sangat mengerikan jika seandainya aku bisa melihat wujud hantu. Membayangkannya saja sudah membuatku bulu kudukku merinding. Tak mau terlarut dalam imajinasiku, akupun mencari Steven ke kamarnya untuk mengajaknya bermain game.
“Woi, lagi ngapain lo?” panggilku dari balik pintu kamarnya.
“Lagi chatting-an doang, sayang,” balasnya dari dalam kamar. “Bentar gua bukain pintunya.”
“Ada apa, baby?” tanya Steven setelah membuka pintu kamarnya.
“Main PES yok, lagi bosen banget, nih,” ajakku tanpa merespon panggilan anehnya.
*PES = Pro Evolution Soccer, Game sepakbola.*
“Bentar gua hidupin laptop dulu kalo gitu,” jawabnya.
Selagi menunggu proses booting laptopnya tiba-tiba Steven bertanya, “BTW, lo beneran naksir sama si Adel, ya?”
Aku berusaha mengontrol ekspresiku agar tampak datar lalu membalas ucapannya. “Kenapa lo nanya kayak gitu?”
Steven memandangku dengan senyuman mengejek. “Lo ga bisa bohong depan gua, Ram. Buka-bukaan aja deh sama gua.”
Aku berusaha tetap kekeh membantah ucapan dari Steven. “Sotoy banget lo. Emang tau dari mana kalo gua suka sama Adel?”
“Yaelah, kita udah temenan berapa lama coba. Jelas-jelas baru kali ini gua ngeliat lo mandangin cewe sampe segitunya,” jawab Steven.
Aku jadi berpikir, apa sikapku terlalu kentara saat bersama Adellia. “Bahas yang lain napa, bosen gua denger lo bahas itu mulu,” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan
“Gua cuma mau ingetin, jangan sampe dia diembat orang lain duluan.” Steven menggelengkan kepalanya pelan seakan memberi wejangan.
“Terserah lo dah.” Aku malas dan menyerah untuk menanggapinya tentang Adellia.
Selanjutnya, kami pun bermain game dan berbincang-bincang sampai bosan. Hingga tak terasa, malam telah tiba, karena merasa lelah, aku kembali ke kamarku dan segera bergegas tidur agar tidak telat dan terkena hukuman lagi besoknya.
Aku mulai memejamkan kedua mataku, hingga kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang. Tak tahu sudah berapa lama aku tertidur, hingga saat aku tersadar, apa yang ada di pandanganku sama seperti di mimpiku kemarin. Dimana aku sedang berdiri di atas udara dan melihat pantai dan laut yang luas dari atas.
Sejenak aku baru menyadari, ternyata tubuhku berbeda dari yang kemarin, sebab aku tidak bisa mengendalikannya dan hanya bisa bergerak mengikuti insting saja. Aku merasa seperti seorang penonton yang hanya bisa memperhatikan tanpa bisa memegang kendali.
Sama seperti kemarin, ombak seperti tsunami kemarin muncul kembali. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang hidup, bergerak di balik ombak itu. Sesuai perkiraanku, dengan perlahan sesuatu muncul dari balik ombak itu.
Aku melihat makhluk seperti ular yang bersisik merah mengenakan mahkota emas yang bersinar di kepalanya. Aku tidak bisa melihat keseluruhan tubuhnya karena setengah tubuhnya masih di tutupi oleh ombak. Kepalanya yang besar mungkin bisa menelan satu ekor kerbau dengan sekali lahap. Melihatnya dari kejauhan saja membuatku bergidik ngeri.
Beberapa saat kemudian, makhluk itu mulai bergerak mendekat kearahku dengan sangat cepat. Spontan, aku bereaksi sesuai instingku untuk menjauh dari sesuatu yang berbahaya. Tubuhku yang tidak bisa kukendalikan, bergerak melarikan diri dan menjauh secepat mungkin dari makhluk itu. Sialnya, kecepatan makhluk itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan kecepatanku yang sedang melayang di udara.
Saat makhluk itu sudah berjarak sangat dekat denganku, secara tak sadar aku memperhatikan bola matanya yang berwarna emas. Selanjutnya, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Pandanganku berubah menjadi gelap. Aku terbangun dan merasakan keringat dingin yang telah membasahi sekujur tubuhku. Mimpi itu masih sangat terasa nyata dan terekam jelas di ingatanku.
Kubuka layar handphone-ku dan menyadari jam telah menunjuk ke angka tiga. Tak mau melakukan kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya, akupun memasang alarm dan menenangkan diriku. Di benakku, aku hanya mencoba mengalihkan pikiranku dari mimpi mengerikan tadi. Aku hanya berharap agar tidak melihat mimpi yang sama lagi.
"Ring ... Ring ... Ring .…"
Suara alarm yang berbunyi keras berhasil membuatku terbangun dari tidur lelapku. Seketika aku langsung bangkit dari kasurku dan bergegas ke kamar mandi. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya.
Setelah selesai bersiap-siap, tak lupa aku menghampiri kamar Steven. Aku mengetuk-ngetuk pintunya berkali-kali sambil memanggil namanya, tetapi dia tak juga menjawab juga. Dengan terpaksa aku harus membangunkannya dengan cara khusus.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu berteriak keras. “WOI DEWA CINTA, BANGUN LO!!!”
Sesaat kemudian, muncul suara jeritan panik dari balik kamar. "Arghhhh.”
“Lo berangkat duluan aja Ram," teriaknya setelah selesai melampiaskan kepanikannya.
Aku cuma bisa menggelengkan kepalaku sembari tertawa kecil, karena kali ini aku merasa situasi yang kami alami terbalik. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas menuju persimpangan gang, tempat dimana Adel biasa menunggu.
Dari kejauhan aku langsung bisa mengenalinya. Aku melihat Adel sedang berdiri sendirian didekat persimpangan. Menunggu di tempat yang sama seperti di hari sebelumnya. Tak mau membuatnya menunggu lama, aku pun langsung bergegas berjalan mendekatinya.
"Udah lama nunggunya, Del?" tanyaku.
"Nggak Ram, aku juga baru sampai kok." jawabnya dengan senyum manis yang membuatku tertegun sesaat.
“Halo … kok bengong, Ram.” Adellia melambai-lambaikan tangannya di depan mataku.
"Eh … yaudah kalo gitu, berangkat yuk Del," ucapku dengan terbata-bata.
Alih-alih menjawab ucapanku, tiba-tiba Adel mengatakan sesuatu yang berhasil membuat bulu kudukku merinding.
"Ram, itu di samping kiri kamu ada si merah yang lagi ngikutin.”
Bersambung ...
"Serius ini kesurupan massal?" tanyaku dengan heran.
Adellia mengangguk dan berkata, "Katanya sih kampus kita emang angker Ram, terutama di bagian aulanya. Tahun lalu juga kabarnya ada kejadian yang sama, cuma bedanya tahun lalu kesurupan massalnya menjelang malam."
“Tau dari mana, Del?” tanyaku penasaran.
Adellia menatapku dengan senyuman misterius. “Dari temen Ram.”
Aku tak mengerti apa arti dari senyumannya itu. Tapi aku merasa aneh, karena aku tak melihat dia memiliki teman akrab selama ospek ini.
"Waduh, kalo gitu mending kita ngikutin yang lain aja yuk, Del," ajakku.
"Ayuk Ram, tapi yang lagi pada keluar juga bakal kesurupan Ram," ucap Adellia.
Aku kaget mendengar ucapannya yang bagaikan cenayang. Anehnya, sesaat setelah Adel selesai berbicara, aku melihat beberapa dari peserta ospek mulai pingsan. Beberapa orang lainnya juga mulai berteriak histeris sembari ingin menyerang peserta lainnya, sampai-sampai banyak orang yang berusaha untuk menahan dan memegangi tubuh mereka. Ada juga yang hanya menatap para peserta lainnya sambil tertawa cekikikan.
Aku bergidik melihat tingkah mereka yang kesurupan, karena ini adalah pertama kalinya dalam hidupku melihat fenomena semacam itu. Aku pun bergidik ngeri, sebab apa yang dikatakan Adel ternyata benar-benar terjadi.
Hingga secara spontan aku bertanya, "Kok lo bisa tau, Del?"
"Jangan-jangan lo bisa .…"
"Iya Ram, gw bisa ngelihat mereka," potong Adel dengan raut wajah datarnya.
Aku terkejut dan tak menyangka ternyata Adellia adalah seorang indigo. "Berarti kemarin, waktu gw ngelihat lo bicara sendiri itu .…"
"Waktu itu aku lagi ngobrol sama temen gaib, emang kamu gak bisa liat Ram?" tanya Adel dengan wajah yang terkesan bingung dan penasaran.
"Gua gak bisa liat yang begituan Del," jawabku sembari mengernyitkan dahi.
Adel tampak semakin bingung. "Hmmm, tapi kok ada sinar di pertengahan alis kamu, ya? bukannya itu tanda dari mata ketiga kamu yang udah kebuka?"
Aku semakin "Sinar gimana maksudnya, Del? Serius, aku gak paham."
Adellia tak membalas ucapanku, dia hanya diam menatapku dengan seksama. Aku menjadi makin bingung dan tak mengerti apa yang dimaksud dari omongan Adellia. Melihat situasi sekitar yang semakin kacau juga membuatku bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seseorang. "Woi Ram!”
Aku menoleh dan menyadari teriakan itu ternyata berasal dari Steven. “Ngapain bengong doang di sono? Sini ikut bareng gua."
Aku merasa lebih lega akan kehadiran Steven. Tanpa banyak berpikir, aku pun mengajak Adel menjauh dari lokasi itu bersama Steven. Untungnya timing kemunculan Steven sangat tepat dengan situasi yang canggung itu.
Sesaat setelah kami sampai digazebo kampus, Stevenpun mulai bertanya, "Dari mana aja lo Ram, kok gak keliatan dari pembukaan ospek tadi?"
"Tadi gua sama Adel dihukum karena telat," jawabku.
Tawa Steven seketika pecah. "Hahaha, dihukum ngapain aja tuh?”
"Disuruh bersihin ruangan panitia ospek," jawabku dengan kesal karena mengingat tingkah dari panitia yang bernama Arif itu.
“Lo juga aneh bener, bisa kesiangan waktu ospek gini. Padahal biasanya kan lo yang paling cepet bangun paginya,” ucap Steven.
Aku menghela nafas karena frustasi. “Ya mau gimana, namanya juga lagi apes.”
Dengan memasang wajah tengilnya Steven berkata, "Walau dihukum, lo tetep senengkan, karena bisa berduaan bareng Adel."
Aku lantas menendang bokongnya. "Emang kampret lo!"
Adel hanya duduk diam dan tersenyum melihat tingkah kami berdua. Hingga beberapa saat kemudian, panitia mengumumkan bahwa peserta ospek bisa pulang lebih cepat dan kegiatan ospek terpaksa harus dilanjutkan esok hari.
Setelah mendengar pengumuman, kami bertiga langsung memutuskan untuk pulang bersama. Selama di perjalanan, kami hanya mengobrol santai mengenai hal-hal umum dan kehidupan kami dulu sewaktu SMA.
“Waktu SMA, lo jurusan apa dulunya, Del?” tanya Steven penasaran.
“Jurusan IPA, kalau kalian gimana?” tanya Adel balik.
“Kita berdua sih jurusan IPS,” jawab Steven. “Soalnya gua males belajar, Del. Temen-temennya juga jauh lebih asik disana, haha.
“Tapi, kok lo jadi ngambil jurusan manajemen Del? Kenapa gak ambil jurusan lain?” tambah Steven.
“Hmmm, karena penasaran aja sih sebenarnya. Pengen nyobain tantangan yang baru tepatnya,” balas Adel. “Kalau kalian kenapa ngambil jurusan ini?”
“Gua sih sebenarnya cuma ngikut Rama aja Del. Soalnya gua juga ga tau pengen ambil jurusan apaan habis lulus SMA,” jawab Steven.
“Kalo lo, Ram?” tanya Adel lagi
“Hmmm, kalo gua sih karena mikirnya ilmu manajemen bisa dipake di seluruh bidang kehidupan Del. Entah itu buat di kehidupan sehari-hari atau perencanaan ke depannya yang lebih kompleks,” jawabku panjang.
“Formal amat kek pidato gubernur,” ejek Steven.
“Formal pala lu peang,” balasku.
Sembari melanjutkan percakapan dijalan, Perkataan dari Adel saat terjadi kesurupan massal di kampus masih terngiang-ngiang dikepalaku. Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudnya dengan sinar dan mata ketiga.
Aku juga menjadi was-was karena setauku orang yang memiliki kemampuan indigo biasanya merahasiakan kemampuan mereka. Aku berpikir, apakah Adellia keceplosan karena dia berpikir kalau aku memiliki kemampuan yang sama dengannya. Tapi yang pasti untuk saat ini aku berpikir untuk merahasiakannya dari orang lain termasuk Steven.
Sebelum masuk ke kos kami masing-masing, tiba-tiba Adellia berkata, “Besok kita berangkat bareng lagi ya Ram.”
“Boleh, Del. Sorry banget buat tadi pagi,” balasku merasa bersalah.
“Santai aja Ram, tapi besok jangan sampe ngebo lagi ya. Kalo telat lagi, entar aku dobrak pintu kamarnya, haha,” ujarnya sembari tersenyum manis lalu pergi masuk ke dalam kos.
Tanpa sadar, aku tak kuasa menahan senyumku saat mendengar ucapan darinya.
“Ehemm … ehemm …, kayaknya ada yang makin deket aja nih,” ejek Steven.
Aku pun tersadar bahwa Steven sedang memandangiku sejak tadi. Refleks aku menjadi salah tingkah.
“Kayaknya dia beneran naksir sama lo deh Ram,” celetuk Steven tiba-tiba.
“Jangan sotoy deh, mana mungkin dia suka sama gua.” balasku tak percaya.
Steven bergerak merangkul leherku. “Yaelah, bisa-bisanya lo ga percaya sama gua.”
Sembari menengadah ke langit, dengan percaya dirinya dia berkata, “Percaya sama julukan gua, sang dewa cinta.”
“Yang ngasih julukan paling mantan-mantan lo yang udah ga keitung jumlahnya,” sindirku.
Namun, seorang Steven takkan merasa tersindir apabila membahas mantan-mantannya. Dia malah makin bersemangat untuk pamer dan unjuk gigi.
“Hmmm, 30% voting dari mantan dan 70% dari para penggemar rahasia gua,” ucapnya dengan muka tembok.
“Serah lo dah, lama-lama gua makin gila kalo ngeladenin lo!” balasku sambil menggeleng-gelengkan kepala lalu pergi masuk ke dalam kos.
“Eh, dengerin gua dulu, Ram.”
<><><>
Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring di kasur dan termenung sejenak. Aku berpikir, sepertinya didalam hidupku baru kali ini aku merasakan interaksi yang sangat dekat dengan seorang wanita selain ibuku sendiri. Tetapi sebelum berpikir yang aneh-aneh dan berharap lebih, baiknya aku mengubur pikiran itu dalam-dalam. Aku tak mau berekspektasi lebih, karena aku tau, jika ekspektasi tidak sesuai, sudah pasti rasa kecewanya akan terasa lebih sakit.
Berhubung kami pulang cepat dan tidak diberikan tugas di ospek hari ini, aku bisa bebas beraktivitas hari ini. Terbesit di otakku, akan mata ketiga yang diucapkan oleh Adellia tadi pagi. Aku pun memutuskan untuk mencarinya dengan berselancar di internet.
Dari informasi yang terdapat di beberapa artikel, dijelaskan bahwa mata ketiga disebut juga sebagai mata batin. Salah satu fungsinya bisa digunakan untuk melihat makhluk-makhluk tak kasat mata alias hantu. Katanya, mereka yang memiliki mata ketiga ini biasanya mendapatkannya sejak lahir atau dari hasil latihan spiritual. Aku merasa diriku bukanlah salah satu orang yang termasuk di dalam kedua kategori itu.
Aku berpikir kenapa Adellia mengatakan mata ketigaku sudah terbuka? Padahal aku tak bisa melihat yang namanya hantu. Sebelumnya aku juga tidak mempunyai pengalaman mengenai hal-hal ghaib. Bisa dibilang Adellia adalah orang pertama yang mengatakan hal semacam itu kepadaku.
Aku jadi mulai berandai-andai dan berpikir bahwa pastinya akan sangat mengerikan jika seandainya aku bisa melihat wujud hantu. Membayangkannya saja sudah membuatku bulu kudukku merinding. Tak mau terlarut dalam imajinasiku, akupun mencari Steven ke kamarnya untuk mengajaknya bermain game.
“Woi, lagi ngapain lo?” panggilku dari balik pintu kamarnya.
“Lagi chatting-an doang, sayang,” balasnya dari dalam kamar. “Bentar gua bukain pintunya.”
“Ada apa, baby?” tanya Steven setelah membuka pintu kamarnya.
“Main PES yok, lagi bosen banget, nih,” ajakku tanpa merespon panggilan anehnya.
*PES = Pro Evolution Soccer, Game sepakbola.*
“Bentar gua hidupin laptop dulu kalo gitu,” jawabnya.
Selagi menunggu proses booting laptopnya tiba-tiba Steven bertanya, “BTW, lo beneran naksir sama si Adel, ya?”
Aku berusaha mengontrol ekspresiku agar tampak datar lalu membalas ucapannya. “Kenapa lo nanya kayak gitu?”
Steven memandangku dengan senyuman mengejek. “Lo ga bisa bohong depan gua, Ram. Buka-bukaan aja deh sama gua.”
Aku berusaha tetap kekeh membantah ucapan dari Steven. “Sotoy banget lo. Emang tau dari mana kalo gua suka sama Adel?”
“Yaelah, kita udah temenan berapa lama coba. Jelas-jelas baru kali ini gua ngeliat lo mandangin cewe sampe segitunya,” jawab Steven.
Aku jadi berpikir, apa sikapku terlalu kentara saat bersama Adellia. “Bahas yang lain napa, bosen gua denger lo bahas itu mulu,” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan
“Gua cuma mau ingetin, jangan sampe dia diembat orang lain duluan.” Steven menggelengkan kepalanya pelan seakan memberi wejangan.
“Terserah lo dah.” Aku malas dan menyerah untuk menanggapinya tentang Adellia.
Selanjutnya, kami pun bermain game dan berbincang-bincang sampai bosan. Hingga tak terasa, malam telah tiba, karena merasa lelah, aku kembali ke kamarku dan segera bergegas tidur agar tidak telat dan terkena hukuman lagi besoknya.
Aku mulai memejamkan kedua mataku, hingga kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang. Tak tahu sudah berapa lama aku tertidur, hingga saat aku tersadar, apa yang ada di pandanganku sama seperti di mimpiku kemarin. Dimana aku sedang berdiri di atas udara dan melihat pantai dan laut yang luas dari atas.
Sejenak aku baru menyadari, ternyata tubuhku berbeda dari yang kemarin, sebab aku tidak bisa mengendalikannya dan hanya bisa bergerak mengikuti insting saja. Aku merasa seperti seorang penonton yang hanya bisa memperhatikan tanpa bisa memegang kendali.
Sama seperti kemarin, ombak seperti tsunami kemarin muncul kembali. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang hidup, bergerak di balik ombak itu. Sesuai perkiraanku, dengan perlahan sesuatu muncul dari balik ombak itu.
Aku melihat makhluk seperti ular yang bersisik merah mengenakan mahkota emas yang bersinar di kepalanya. Aku tidak bisa melihat keseluruhan tubuhnya karena setengah tubuhnya masih di tutupi oleh ombak. Kepalanya yang besar mungkin bisa menelan satu ekor kerbau dengan sekali lahap. Melihatnya dari kejauhan saja membuatku bergidik ngeri.
Beberapa saat kemudian, makhluk itu mulai bergerak mendekat kearahku dengan sangat cepat. Spontan, aku bereaksi sesuai instingku untuk menjauh dari sesuatu yang berbahaya. Tubuhku yang tidak bisa kukendalikan, bergerak melarikan diri dan menjauh secepat mungkin dari makhluk itu. Sialnya, kecepatan makhluk itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan kecepatanku yang sedang melayang di udara.
Saat makhluk itu sudah berjarak sangat dekat denganku, secara tak sadar aku memperhatikan bola matanya yang berwarna emas. Selanjutnya, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Pandanganku berubah menjadi gelap. Aku terbangun dan merasakan keringat dingin yang telah membasahi sekujur tubuhku. Mimpi itu masih sangat terasa nyata dan terekam jelas di ingatanku.
Kubuka layar handphone-ku dan menyadari jam telah menunjuk ke angka tiga. Tak mau melakukan kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya, akupun memasang alarm dan menenangkan diriku. Di benakku, aku hanya mencoba mengalihkan pikiranku dari mimpi mengerikan tadi. Aku hanya berharap agar tidak melihat mimpi yang sama lagi.
<><><>
"Ring ... Ring ... Ring .…"
Suara alarm yang berbunyi keras berhasil membuatku terbangun dari tidur lelapku. Seketika aku langsung bangkit dari kasurku dan bergegas ke kamar mandi. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti hari sebelumnya.
Setelah selesai bersiap-siap, tak lupa aku menghampiri kamar Steven. Aku mengetuk-ngetuk pintunya berkali-kali sambil memanggil namanya, tetapi dia tak juga menjawab juga. Dengan terpaksa aku harus membangunkannya dengan cara khusus.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu berteriak keras. “WOI DEWA CINTA, BANGUN LO!!!”
Sesaat kemudian, muncul suara jeritan panik dari balik kamar. "Arghhhh.”
“Lo berangkat duluan aja Ram," teriaknya setelah selesai melampiaskan kepanikannya.
Aku cuma bisa menggelengkan kepalaku sembari tertawa kecil, karena kali ini aku merasa situasi yang kami alami terbalik. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas menuju persimpangan gang, tempat dimana Adel biasa menunggu.
Dari kejauhan aku langsung bisa mengenalinya. Aku melihat Adel sedang berdiri sendirian didekat persimpangan. Menunggu di tempat yang sama seperti di hari sebelumnya. Tak mau membuatnya menunggu lama, aku pun langsung bergegas berjalan mendekatinya.
"Udah lama nunggunya, Del?" tanyaku.
"Nggak Ram, aku juga baru sampai kok." jawabnya dengan senyum manis yang membuatku tertegun sesaat.
“Halo … kok bengong, Ram.” Adellia melambai-lambaikan tangannya di depan mataku.
"Eh … yaudah kalo gitu, berangkat yuk Del," ucapku dengan terbata-bata.
Alih-alih menjawab ucapanku, tiba-tiba Adel mengatakan sesuatu yang berhasil membuat bulu kudukku merinding.
"Ram, itu di samping kiri kamu ada si merah yang lagi ngikutin.”
Bersambung ...
Diubah oleh watcheatnsleep 24-03-2023 07:40
iwakcetol dan 49 lainnya memberi reputasi
50
Tutup