- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#520
Jilid 16 [Part 365]
Spoiler for :
KEMUDIAN tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mula-mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri, Wirasaba dan Rara Wilis.
Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri. Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai dirinya.
Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar,
Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya.
Lawa IJo dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu.
Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali tak bersalah.
Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam? Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras,
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat. Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya,
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata,
Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya. Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir.
Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar,
LAWA IJO yang lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata,
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata,
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu.
Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang berwarna merah menyala.
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan yang mengerikan.
Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu. Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.
Nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh. Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya yang mendidih. “Matilah segera Lawa Ijo,”kata hatinya.
Quote:
“Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan di hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila. Karena itu kalian harus mati dengan cara yang paling menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku tidak mau dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami ikat di belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit. Besok sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat kalian yang sudah terkelupas seperti pisang.”
Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri. Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai dirinya.
Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar,
Quote:
“Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?”
Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
Quote:
“Apakah permintaamu?” jawab Pasingsingan.
“Pertama…” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya.
“Nyawa Dalang Mantingan.”
“Hem…” Pasingsingan menggeram sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamat-lamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia sudah tidak terkejut.
“Kedua…” Lawa Ijo meneruskan,
“Jangan bunuh gadis nakal itu.”
Pasingsingan menarik nafas.
“Kenapa…?” Ia bertanya.
Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.
“Guru…” desis Lawa Ijo,
“Dapatkah aku melihat senjata itu?”
“Pertama…” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya.
“Nyawa Dalang Mantingan.”
“Hem…” Pasingsingan menggeram sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamat-lamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia sudah tidak terkejut.
“Kedua…” Lawa Ijo meneruskan,
“Jangan bunuh gadis nakal itu.”
Pasingsingan menarik nafas.
“Kenapa…?” Ia bertanya.
Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.
“Guru…” desis Lawa Ijo,
“Dapatkah aku melihat senjata itu?”
Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya.
Lawa IJo dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu.
Quote:
“Luar biasa,” desisnya.
“Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini,” katanya pula.
“Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini,” katanya pula.
Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali tak bersalah.
Quote:
“Widuri, kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil.
Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam? Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras,
Quote:
“Widuri, kemarilah.”
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat. Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya,
Quote:
“Guru, panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta jangan ganggu dia.”
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata,
Quote:
“Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu.” Widuri masih belum bergerak.
Sedang Rara Wilis menjadi cemas. Katanya,
“Jangan, Widuri.”
“Hem…” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di dadanya,
“Sebelum aku mati..”, mintanya.
Sedang Rara Wilis menjadi cemas. Katanya,
“Jangan, Widuri.”
“Hem…” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di dadanya,
“Sebelum aku mati..”, mintanya.
Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya. Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir.
Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.
Quote:
“Guru…” tiba-tiba Lawa Ijo berkata,
“Silahkan guru meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”
“Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?" tanya Pasingsingan.
“Gadis itu. Aku sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya, mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak itu,” jawab Lawa Ijo.
“Silahkan guru meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”
“Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?" tanya Pasingsingan.
“Gadis itu. Aku sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya, mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak itu,” jawab Lawa Ijo.
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar,
Quote:
“Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.”
LAWA IJO yang lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata,
Quote:
“Widuri.”
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata,
Quote:
“Aku adalah manusia seperti kalian, meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan menambah dosa.”
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu.
Quote:
“Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah aku kenal,” desis Lawa Ijo.
“Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu.”
“Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu.”
Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang berwarna merah menyala.
Quote:
“Lawa Ijo…!” Pasingsingan berkata lantang.
“Apakah yang kau berikan itu?”
“Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.
“Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan.
“Akik Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”
“Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.
“Apakah yang kau berikan itu?”
“Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.
“Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan.
“Akik Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”
“Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan yang mengerikan.
Quote:
“Biarlah akik itu diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya.”
Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu. Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.
Quote:
“Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.” Terdengar suara Lawa Ijo gemetar.
“Mudah-mudahan aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu.” Lawa Ijo berhenti.
“Mudah-mudahan aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu.” Lawa Ijo berhenti.
Nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh. Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.
Quote:
“Widuri…” bisiknya.
“Bukankah namamu Widuri?”
Widuri mengangguk.
“Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke sungai.”
Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian berbisik kembali perlahan-lahan.
“Tetapi ternyata aku salah sangka.”
Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka matanya, lalu meneruskan,
“Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”
“Bukankah namamu Widuri?”
Widuri mengangguk.
“Aku telah membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke sungai.”
Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian berbisik kembali perlahan-lahan.
“Tetapi ternyata aku salah sangka.”
Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka matanya, lalu meneruskan,
“Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya yang mendidih. “Matilah segera Lawa Ijo,”kata hatinya.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas