- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#519
Jilid 16 [Part 364]
Spoiler for :
YANG kemudian terasa, betapa udara yang hangat mengalir perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya jadi panas.
Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.
Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya.
Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas.
Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi lawannya.
Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat meloncat lagi.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat trisulanya menanti saat-saat terakhir yang mengerikan.
Widuri yang meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi tegang dan dadanya bergolak hebat. Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa.
Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha. Berusaha sampai kemungkinan terakhir. Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu.
Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan.
Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata yang luar biasa.
Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam pada saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang kebingungan. Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan Tangan-tangannya yang Adil telah membebaskannya.
Karena itu, ketika ia melihat kesempatan terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari pandai besi.
Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya.
Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang ranting-ranting yang kering berpatahan. Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang remang-remang.
WADAS GUNUNG juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik yang Cumiakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat yang menentukan.
Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek itu banyak mempunyai arti baginya.
Wadas Gunung melihat seleret sinar yang menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung Wadas Gunung.
Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak akan bangun kembali. Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi.
Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihindarinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu. Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya.
Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula.
Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang menggelisahkan. Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling. Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih dapat membuka matanya.
Pasingsingan kemudian tegak berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di tempat masing-masing itu sama sekali tak diperhitungkan.
Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.
Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya.
Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas.
Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi lawannya.
Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat meloncat lagi.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat trisulanya menanti saat-saat terakhir yang mengerikan.
Widuri yang meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi tegang dan dadanya bergolak hebat. Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa.
Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha. Berusaha sampai kemungkinan terakhir. Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu.
Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan.
Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata yang luar biasa.
Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam pada saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang kebingungan. Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan Tangan-tangannya yang Adil telah membebaskannya.
Karena itu, ketika ia melihat kesempatan terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari pandai besi.
Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya.
Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang ranting-ranting yang kering berpatahan. Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang remang-remang.
WADAS GUNUNG juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik yang Cumiakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat yang menentukan.
Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek itu banyak mempunyai arti baginya.
Wadas Gunung melihat seleret sinar yang menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung Wadas Gunung.
Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak akan bangun kembali. Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi.
Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihindarinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu. Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya.
Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula.
Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang menggelisahkan. Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling. Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
Quote:
“Lawa Ijo…” desis Pasingsingan itu. Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali Pasingsingan memanggilnya,
“Lawa Ijo….”
“Hem…” Lawa Ijo berusaha untuk menjawab.
“Lawa Ijo….”
“Hem…” Lawa Ijo berusaha untuk menjawab.
Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih dapat membuka matanya.
Pasingsingan kemudian tegak berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di tempat masing-masing itu sama sekali tak diperhitungkan.
Quote:
“Aku tidak menyangka…” Hantu bertopeng itu menggeram.
“Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar ia Cumiik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.”
“Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar ia Cumiik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.”
uken276 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas