- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#511
Jilid 15 [Part 361]
Spoiler for :
MANTINGAN menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan,
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya.
Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya.
Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang.
Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat,
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di belakangnya,
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian gurunya.
Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata,
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya – Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka. –
JAKA SOKA tersenyum, jawabnya,
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi.
Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata,
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya,
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya,
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu.
Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya.
Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka.
Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu.
Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram.
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata,
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.
Quote:
“Wadas Gunung. Siapakah dia?”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
Wirasaba menggeleng.
“Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata,
“Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju.
“Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” pikirnya.
Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
“Kebakaran,” desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya,
“Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
Wirasaba menggeleng.
“Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata,
“Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju.
“Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” pikirnya.
Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
“Kebakaran,” desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya,
“Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya.
Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.
Quote:
“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan risaukan siapa aku.”
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan risaukan siapa aku.”
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya.
Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang.
Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat,
Quote:
“Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.”
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di belakangnya,
Quote:
“Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian gurunya.
Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata,
Quote:
“Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?”
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya – Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka. –
JAKA SOKA tersenyum, jawabnya,
Quote:
“Bukan Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya iapun tetap menanti.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi.
Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata,
Quote:
“Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya,
“Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya,
“Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya,
Quote:
“Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya,
Quote:
“He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa pula.
Terdengar Lawa Ijo menyahut,
“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa pula.
Terdengar Lawa Ijo menyahut,
“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu.
Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya.
Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka.
Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu.
Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram.
Quote:
“Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata,
Quote:
“Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini.”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini.”
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.
Bersambung…
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup