- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#59
Dan semua berakhir...
“Ana...”
Aku berpaling, berbalik mengikuti arah datangnya suara. Jantungku berdegup lebih cepat ketika pertama kali mendengar suara itu.
Abrar turun dari boncengan seorang ojol, setelah dia membayar, dia berjalan mendekatiku yang masih berdiri mematung memandanginya.
“Hai… aku liat kamu, jadi aku berhenti…” ujarnya ketika sudah berdiri tepat di depanku.
Aku masih terdiam, menenangkan diriku. Menenangkan perasaanku. Saat ini aku bisa melihatnya lebih jelas, dan sangat jelas bahwa penampilannya banyak sekali berubah.
“Tangan kamu kenapa?” tanyanya melihat ke arah tangan kiriku yang di gips. Mungkin dia baru menyadari kalau tanganku di gips atau mungkin dia sudah melihatnya kemarin hanya saja terlupakan karena terlalu fokus dengan keterkejutannya bertemu denganku.
“Jatuh dari motor,” sahutku.
“Kamu naik motor?” tanyanya dari nada bicaranya jelas terdengar kalau dia terkejut karena selama aku besama dengannya tak pernah sekali pun dia mengijinkanku mengendarai sepeda motor.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku lagi tanpa menjawab pertanyaannya. Dia melihat ke ponselnya dan menyodorkan layarnya padaku, yang menampilkan sebuah peta.
“Kalau jalan ini, ya jalan ini harusnya,” sahutku sambil memperhatikan peta itu, alamatnya mengarah ke kostanku.
“Kamu mau ketemu Fandra?” tebakku
Wajah Abrar seperti kaget tapi kemudian dia mengangguk, “Iya, aku mau ketemu Bang Fandra.”
Aku menarik nafas, menenangkan diriku sebelum berkata, “Aku sekost sama dia, ayo aku antar.”
Sepanjang jalan yang tidak sampai 100 meter dari ujung jalan hingga kostanku, tidak ada sepatah kata pun yang terucap dariku atau pun Abrar. Kami seperti dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Berjalan pun kami tidak bersisian, aku di depan dan dia mengikutiku di belakang.
Aku menaiki tangga menuju lantai dua dan berjalan di koridor diikuti oleh Abrar, hingga mendekat ke arah Fandra dan Hanggara yang masih duduk lesehan ngobrol.
Yang pertama menyadari kehadiranku adalah Hanggara, sekilas dia tampak terkejut aku datang bersama dengan Abrar, dan begitu juga dengan Fandra yang kemudian langsung berdiri.
“Dia mau ketemu sama kamu,” ujarku pada Fandra yang masih diam memandangku dan Abrar silih berganti.
Aku mengambil gelas yang berisi minumanku dan kemudian beranjak masuk ke kamarku sendiri.
Aku menegak soda gembira yang masih tersisa setengah, rasa dingin es dan sodanya sudah tidak sekuat tadi, aku meletakkan gelas dengan tangan gemetar di atas lemari kecilku, kemudian duduk di lantai sambil membuka coklat yang kubeli tadi. Hanggara berdiri di ambang pintu sambil memandangiku.
“Mau?” aku menyodorkan sebatang coklat yang belum kubuka kepadanya. Dia menggeleng sambil duduk bersandar di pintu yang dia biarkan terbuka.
“Kamu pulang aja,” ujarku lagi padanya
“ntaran,” sahutnya tanpa menoleh padaku.
Aku meraih ponselku dan memutar lagu yang ada di playlistku. Cukup lama aku atau pun Hanggara berdiam diri seperti ini. Sampai akhirnya Hanggara berdiri dan berkata padaku.
“Kamu mau jalan keluar ngga?” tanyanya padaku
“Kemana?”
“Water blow.”
“Water blow? Water park?”
“Bukan water park, ayo ikut aja.”
Tanpa berpikir dua kali aku langsung menuruti saja ajakan Hanggara.
Melewati kamar Fandra yang terbuka lebar aku sama sekali tidak menoleh ke dalam kamar, tidak ingin mereka melihatku lewat, bergegas aku mempercepat langkah.
“Vio!Tunggu!” seruan Fandra mau tidak mau membuatku menghentikan langkahku begitu pula dengan Hanggara. Hanggara yang berada di depanku melangkah melewati ku berjalan ke arah Fandra yang juga berjalan bergegas mendekatiku. Kemudian kulihat Abrar muncul dari dalam kamar Fandra.
“Vio, Abrar mau bicara sama kamu,” ujar Fandra padaku.
Aku menatap tajam ke matanya dan kemudian berpaling dan berjalan mendekat ke arah Abrar yang masih berdiri mematung.
“Aku mau ngomong sama kamu kalau itu memang keinginan kamu sendiri, tapi kalau itu hanya karena paksaan dari Fandra atau tunangan kamu, aku ngga mau. Karena seperti yang kamu bilang sama mereka, kita sudah ngga ada hubungan apapun. Aku akan mengiyakan dan tidak akan mengatakan apa pun yang menyulitkan kamu,” kataku menatap tajam matanya.
Mata yang kini menatapku sendu.
“Aku tahu, kita memang ngga perlu bicara lagi,” sahutnya pelan, “Maaf...”
Hatiku hancur sehancur-hancurnya mendengar kata terakhir yang diucapkannya.
“Thanks,” aku berucap lirih sebelum membuang pandanganku dan berbalik pergi menjauh dari hadapannya yang kini benar-benar telah menjadi masa lalu dalam hidupku.
***

Aku duduk memandang hampiran lautan biru di depanku. Angin yang bertiup kencang mempermainkan rambut yang kubiarkan tergerai bebas. Selepas mata memandang ke depan hanya ada lautan dengan warnanya yang biru tua memastikan bahwa perairan ini tidak dangkal.
Sementara itu di sampingku, deburan ombak besar yang menghantam karang menimbulkan suara yang menggelegar dan menyemburkan buih-buihnya ke udara. Indah sekaligus menakutkan.
Semenjak datang ke tempat ini beberapa menit yang lalu, aku hanya duduk terdiam. Aku merasa sangat nyaman dan tenang.
Hanggara yang duduk di sebelahku pun hanya terdiam tanpa berkata apapun padaku. Membiarkan diriku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Aku menarik nafas panjang, merasakan aroma laut menusuk hidungku dan kemudian menghembuskannya perlahan.
Aku berdiri dan menghampiri pagar pembatas yang membatasi tempat aku berdiri saat ini dengan hamparan laut di depanku.
“Indah banget!” seruku.
Aku menghirup sekali lagi dengan dalam aroma laut ini. Aku membalikkan badan dan mendapati Hanggara masih terduduk di tempatnya tadi dan memandangku.
Aku memberikannya sebuah senyuman sebelum berkata padanya, “makasi ya udah ajak aku ke sini.”
“Iya, sama-sama.” Dia berdiri dan menghampiriku. “Duduk di sana aja yuk, di sini anginnya kenceng banget,” ajaknya.
Dia mengajakku keluar dari semenanjung itu dan beralih ke sebuah teluk kecil yang memiliki pantai berpasir putih dengan air laut yang jauh lebih tenang. Kami duduk bersisian di atas pasir.
“Di sini beda banget sama yang di sana ya?” ujarku.
“Permukaan dan bentuk daratannya yang ngga sama," sahut Hanggara
Aku hanya manggut-manggut saja.
“Vio, aku boleh minta sesuatu sama kamu?” tanyanya kemudian
“Minta apa?” tanyaku sedikit heran.
“Jangan sedih lagi,” ujarnya membuatku kehilangan kata-kata.
Aku hanya tersenyum getir.
“Permintaan yang sulit,” ujarku setelah kami terdiam sesaat.
“Maksudku, jangan berlarut-larut sedihnya. Kamu sudah terlalu lama menahannya, kan?! Pasti sangat sulit buat kamu, kalau ternyata endingnya harus seperti ini.”
Aku menghela nafas perlahan.
“Dia itu....bukan sekedar pacar buat aku, dia itu bukanlah seseorang yang aku inginkan, tapi seseorang yang aku butuhkan dalam hidup aku. Mungkin salahku karena terlalu bergantung, terlalu berharap padanya, dan ngga pernah terbayangkan kalau kenyataan bisa saja tidak seperti yang aku harapkan. Aku ngga pernah mempertimbangkan segala perbedaan di antara aku dan dia yang ternyata membuatnya meragukan hubungan kami. Aku terlalu percaya diri dan ngga pernah bertanya tentang apa yang dia pikirkan. Aku terlalu percaya bahwa apa yang aku inginkan adalah apa yang dia inginkan juga.”
Aku tersenyum getir. Menyadari kebodohan dan betapa naifnya diriku.
“Dia itu....segalanya untukku. Aku ngga pernah memiliki figur seorang lelaki dalam hidupku, dan aku menemukan itu dalam dirinya, menemukan sebuah rasa yang tidak pernah diberikan padaku,” ujarku lagi menumpahkan apa yang pernah kurasakan dan kuharapkan dari kehadiran Abrar dalam hidupku.
“Kehilangan dia seperti kehilangan sebagian hidupku.”
Aku berpaling melihat ke Hanggara yang sedang memandangku. Aku tersenyum padanya. Kemudian kembali berpaling menatap hamparan laut di depanku
“Kamu benar aku sudah menahannya terlalu lama. Dan aku juga kecewa karena endingnya harus seperti ini. Tapi aku bisa apa lagi,” ujarku, “aku memang kecewa tapi setidaknya aku sudah menyiapkan diriku untuk ending yang menyakitkan seperti ini.”
Aku menoleh Hanggara yang masih memandangku. Mataku bertemu tatap dengan matanya.
Aku tersenyum, dan aku ingin dia melihat bukan hanya wajahku yang tersenyum, aku ingin dia pun melihat senyum di mataku.
“Sama seperti dulu...aku percaya semua akan bisa aku lewati dan waktu yang akan menghilangkan kesedihan ini."
***

“Ana...”
Aku berpaling, berbalik mengikuti arah datangnya suara. Jantungku berdegup lebih cepat ketika pertama kali mendengar suara itu.
Abrar turun dari boncengan seorang ojol, setelah dia membayar, dia berjalan mendekatiku yang masih berdiri mematung memandanginya.
“Hai… aku liat kamu, jadi aku berhenti…” ujarnya ketika sudah berdiri tepat di depanku.
Aku masih terdiam, menenangkan diriku. Menenangkan perasaanku. Saat ini aku bisa melihatnya lebih jelas, dan sangat jelas bahwa penampilannya banyak sekali berubah.
“Tangan kamu kenapa?” tanyanya melihat ke arah tangan kiriku yang di gips. Mungkin dia baru menyadari kalau tanganku di gips atau mungkin dia sudah melihatnya kemarin hanya saja terlupakan karena terlalu fokus dengan keterkejutannya bertemu denganku.
“Jatuh dari motor,” sahutku.
“Kamu naik motor?” tanyanya dari nada bicaranya jelas terdengar kalau dia terkejut karena selama aku besama dengannya tak pernah sekali pun dia mengijinkanku mengendarai sepeda motor.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku lagi tanpa menjawab pertanyaannya. Dia melihat ke ponselnya dan menyodorkan layarnya padaku, yang menampilkan sebuah peta.
“Kalau jalan ini, ya jalan ini harusnya,” sahutku sambil memperhatikan peta itu, alamatnya mengarah ke kostanku.
“Kamu mau ketemu Fandra?” tebakku
Wajah Abrar seperti kaget tapi kemudian dia mengangguk, “Iya, aku mau ketemu Bang Fandra.”
Aku menarik nafas, menenangkan diriku sebelum berkata, “Aku sekost sama dia, ayo aku antar.”
Sepanjang jalan yang tidak sampai 100 meter dari ujung jalan hingga kostanku, tidak ada sepatah kata pun yang terucap dariku atau pun Abrar. Kami seperti dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Berjalan pun kami tidak bersisian, aku di depan dan dia mengikutiku di belakang.
Aku menaiki tangga menuju lantai dua dan berjalan di koridor diikuti oleh Abrar, hingga mendekat ke arah Fandra dan Hanggara yang masih duduk lesehan ngobrol.
Yang pertama menyadari kehadiranku adalah Hanggara, sekilas dia tampak terkejut aku datang bersama dengan Abrar, dan begitu juga dengan Fandra yang kemudian langsung berdiri.
“Dia mau ketemu sama kamu,” ujarku pada Fandra yang masih diam memandangku dan Abrar silih berganti.
Aku mengambil gelas yang berisi minumanku dan kemudian beranjak masuk ke kamarku sendiri.
Aku menegak soda gembira yang masih tersisa setengah, rasa dingin es dan sodanya sudah tidak sekuat tadi, aku meletakkan gelas dengan tangan gemetar di atas lemari kecilku, kemudian duduk di lantai sambil membuka coklat yang kubeli tadi. Hanggara berdiri di ambang pintu sambil memandangiku.
“Mau?” aku menyodorkan sebatang coklat yang belum kubuka kepadanya. Dia menggeleng sambil duduk bersandar di pintu yang dia biarkan terbuka.
“Kamu pulang aja,” ujarku lagi padanya
“ntaran,” sahutnya tanpa menoleh padaku.
Aku meraih ponselku dan memutar lagu yang ada di playlistku. Cukup lama aku atau pun Hanggara berdiam diri seperti ini. Sampai akhirnya Hanggara berdiri dan berkata padaku.
“Kamu mau jalan keluar ngga?” tanyanya padaku
“Kemana?”
“Water blow.”
“Water blow? Water park?”
“Bukan water park, ayo ikut aja.”
Tanpa berpikir dua kali aku langsung menuruti saja ajakan Hanggara.
Melewati kamar Fandra yang terbuka lebar aku sama sekali tidak menoleh ke dalam kamar, tidak ingin mereka melihatku lewat, bergegas aku mempercepat langkah.
“Vio!Tunggu!” seruan Fandra mau tidak mau membuatku menghentikan langkahku begitu pula dengan Hanggara. Hanggara yang berada di depanku melangkah melewati ku berjalan ke arah Fandra yang juga berjalan bergegas mendekatiku. Kemudian kulihat Abrar muncul dari dalam kamar Fandra.
“Vio, Abrar mau bicara sama kamu,” ujar Fandra padaku.
Aku menatap tajam ke matanya dan kemudian berpaling dan berjalan mendekat ke arah Abrar yang masih berdiri mematung.
“Aku mau ngomong sama kamu kalau itu memang keinginan kamu sendiri, tapi kalau itu hanya karena paksaan dari Fandra atau tunangan kamu, aku ngga mau. Karena seperti yang kamu bilang sama mereka, kita sudah ngga ada hubungan apapun. Aku akan mengiyakan dan tidak akan mengatakan apa pun yang menyulitkan kamu,” kataku menatap tajam matanya.
Mata yang kini menatapku sendu.
“Aku tahu, kita memang ngga perlu bicara lagi,” sahutnya pelan, “Maaf...”
Hatiku hancur sehancur-hancurnya mendengar kata terakhir yang diucapkannya.
“Thanks,” aku berucap lirih sebelum membuang pandanganku dan berbalik pergi menjauh dari hadapannya yang kini benar-benar telah menjadi masa lalu dalam hidupku.
***

Aku duduk memandang hampiran lautan biru di depanku. Angin yang bertiup kencang mempermainkan rambut yang kubiarkan tergerai bebas. Selepas mata memandang ke depan hanya ada lautan dengan warnanya yang biru tua memastikan bahwa perairan ini tidak dangkal.
Sementara itu di sampingku, deburan ombak besar yang menghantam karang menimbulkan suara yang menggelegar dan menyemburkan buih-buihnya ke udara. Indah sekaligus menakutkan.
Semenjak datang ke tempat ini beberapa menit yang lalu, aku hanya duduk terdiam. Aku merasa sangat nyaman dan tenang.
Hanggara yang duduk di sebelahku pun hanya terdiam tanpa berkata apapun padaku. Membiarkan diriku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Aku menarik nafas panjang, merasakan aroma laut menusuk hidungku dan kemudian menghembuskannya perlahan.
Aku berdiri dan menghampiri pagar pembatas yang membatasi tempat aku berdiri saat ini dengan hamparan laut di depanku.
“Indah banget!” seruku.
Aku menghirup sekali lagi dengan dalam aroma laut ini. Aku membalikkan badan dan mendapati Hanggara masih terduduk di tempatnya tadi dan memandangku.
Aku memberikannya sebuah senyuman sebelum berkata padanya, “makasi ya udah ajak aku ke sini.”
“Iya, sama-sama.” Dia berdiri dan menghampiriku. “Duduk di sana aja yuk, di sini anginnya kenceng banget,” ajaknya.
Dia mengajakku keluar dari semenanjung itu dan beralih ke sebuah teluk kecil yang memiliki pantai berpasir putih dengan air laut yang jauh lebih tenang. Kami duduk bersisian di atas pasir.
“Di sini beda banget sama yang di sana ya?” ujarku.
“Permukaan dan bentuk daratannya yang ngga sama," sahut Hanggara
Aku hanya manggut-manggut saja.
“Vio, aku boleh minta sesuatu sama kamu?” tanyanya kemudian
“Minta apa?” tanyaku sedikit heran.
“Jangan sedih lagi,” ujarnya membuatku kehilangan kata-kata.
Aku hanya tersenyum getir.
“Permintaan yang sulit,” ujarku setelah kami terdiam sesaat.
“Maksudku, jangan berlarut-larut sedihnya. Kamu sudah terlalu lama menahannya, kan?! Pasti sangat sulit buat kamu, kalau ternyata endingnya harus seperti ini.”
Aku menghela nafas perlahan.
“Dia itu....bukan sekedar pacar buat aku, dia itu bukanlah seseorang yang aku inginkan, tapi seseorang yang aku butuhkan dalam hidup aku. Mungkin salahku karena terlalu bergantung, terlalu berharap padanya, dan ngga pernah terbayangkan kalau kenyataan bisa saja tidak seperti yang aku harapkan. Aku ngga pernah mempertimbangkan segala perbedaan di antara aku dan dia yang ternyata membuatnya meragukan hubungan kami. Aku terlalu percaya diri dan ngga pernah bertanya tentang apa yang dia pikirkan. Aku terlalu percaya bahwa apa yang aku inginkan adalah apa yang dia inginkan juga.”
Aku tersenyum getir. Menyadari kebodohan dan betapa naifnya diriku.
“Dia itu....segalanya untukku. Aku ngga pernah memiliki figur seorang lelaki dalam hidupku, dan aku menemukan itu dalam dirinya, menemukan sebuah rasa yang tidak pernah diberikan padaku,” ujarku lagi menumpahkan apa yang pernah kurasakan dan kuharapkan dari kehadiran Abrar dalam hidupku.
“Kehilangan dia seperti kehilangan sebagian hidupku.”
Aku berpaling melihat ke Hanggara yang sedang memandangku. Aku tersenyum padanya. Kemudian kembali berpaling menatap hamparan laut di depanku
“Kamu benar aku sudah menahannya terlalu lama. Dan aku juga kecewa karena endingnya harus seperti ini. Tapi aku bisa apa lagi,” ujarku, “aku memang kecewa tapi setidaknya aku sudah menyiapkan diriku untuk ending yang menyakitkan seperti ini.”
Aku menoleh Hanggara yang masih memandangku. Mataku bertemu tatap dengan matanya.
Aku tersenyum, dan aku ingin dia melihat bukan hanya wajahku yang tersenyum, aku ingin dia pun melihat senyum di mataku.
“Sama seperti dulu...aku percaya semua akan bisa aku lewati dan waktu yang akan menghilangkan kesedihan ini."
***

Diubah oleh drupadi5 09-09-2020 21:53
pintokowindardi dan 3 lainnya memberi reputasi
4