- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#508
Jilid 15 [Part 359]
Spoiler for :
SAWUNG SARITI menjawab,
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya?
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri.
Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya.
Keris.
Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya.
Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram,
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya,
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata,
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab,
Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan mencoba menyergapnya.
Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka.
Quote:
“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain. Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
Quote:
“Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya?
Quote:
Namun ia menjawab,
“Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung.
“Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata,
“Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Galunggung.
“Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”
“Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung.
“Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata,
“Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Galunggung.
“Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri.
Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya.
Keris.
Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya.
Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram,
Quote:
“Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
Quote:
“Benar-benar kau sedang sekarat.”
Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya,
Quote:
“Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.”
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata,
Quote:
“Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti,
“Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.
WULUNGAN menjawab,
“Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.”
“Hem…” geram Sawung Sariti.
“Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi.
“Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
“Tidak,” jawab Wulungan.
“Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti.
“Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.
“Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti,
“Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.
WULUNGAN menjawab,
“Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.”
“Hem…” geram Sawung Sariti.
“Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi.
“Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
“Tidak,” jawab Wulungan.
“Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti.
“Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.
“Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
Quote:
“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata,
“Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”
“Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”
Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab,
Quote:
“Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya,
“Kepalamu memang harus dipenggal.”
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya,
“Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.”
Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata,
“Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi Galunggung menggeram.
“Apa jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya dibelakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu.
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya,
“Kepalamu memang harus dipenggal.”
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya,
“Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.”
Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata,
“Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi Galunggung menggeram.
“Apa jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya dibelakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu.
Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan mencoba menyergapnya.
Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka.
Quote:
“Persetan dengan anak itu,” geramnya.
“Dan persetan dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.
“Dan persetan dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas