- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#507
Jilid 15 [Part 358]
Spoiler for :
SAWUNG SARITI menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab,
Galunggung pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.
Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak,
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya.
Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri,
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya,
“Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh,
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras.
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan,
Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, “Mati kau pengawas gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata,
Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya,
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata,
Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman.
Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram,
Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,
“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,
Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata,
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
Quote:
“Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.
Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak,
Quote:
“Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya.
Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri,
Quote:
“Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?”
Mata Lembu Sora bertambah menyala,
“Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung,
tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak,
“Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”
Mata Lembu Sora bertambah menyala,
“Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung,
tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak,
“Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
Quote:
“Lembu Sora…” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,
“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya,
“Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh,
Quote:
“Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras.
Quote:
“Nah, Sawung Sariti…” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan,
“Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
“Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan,
Quote:
“Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Ke Banyubiru?” ulangnya.
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Ke Banyubiru?” ulangnya.
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora.
Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, “Mati kau pengawas gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata,
Quote:
“Panggillah kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab,
“Baiklah Eyang.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab,
“Baiklah Eyang.”
Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya,
Quote:
“Kau lihat Kakang Arya?” Wulungan menggelengkan kepala.
“Tidak Angger.”
“Tidak Angger.”
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata,
Quote:
“Tak akan dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya,
“Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula,
“Dari mana anak itu mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya,
“Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula,
“Dari mana anak itu mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora.
Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman.
Quote:
“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.
“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora.
“Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan.
“Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri.
“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora.
“Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan.
“Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri.
Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram,
Quote:
“Jahanam.”
Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak,
“He baik kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung.
“Benar angger,” jawabnya.
“Aku telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.
Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak,
“He baik kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung.
“Benar angger,” jawabnya.
“Aku telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,
“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
Quote:
“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti.
“Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”
“Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,
Quote:
“Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.”
Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata,
Quote:
“Ikuti aku.”
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
Quote:
“Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar.
“Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar.
“Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas