- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#504
Jilid 15 [Part 357]
Spoiler for :
LEMBU SORA mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya.
“Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan.
Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram,
desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.
Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.
Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata,
Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.
BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya,
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi,
Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa.
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut.
Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula.
Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram,
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,”pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri,
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab,
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi,
“Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.”
Quote:
“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram.
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?”
Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya,
“He, apa kerjanya di sana?”
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?”
Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya,
“He, apa kerjanya di sana?”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan.
Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram,
Quote:
“Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya.
“Belum.”
“Agak terlambat,” katanya.
“Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya,
“Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.
“He…!” Arya hampir berteriak.
“Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya.
“Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Akupun pasti,” sahut pengawas itu,
“Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora.
“Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan…” tiba-tiba Lembu Sora berteriak,
“panggil mereka!”
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit.
“Baik Ki Ageng,” jawabnya.
Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya.
“Belum.”
“Agak terlambat,” katanya.
“Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya,
“Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.
“He…!” Arya hampir berteriak.
“Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya.
“Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Akupun pasti,” sahut pengawas itu,
“Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora.
“Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan…” tiba-tiba Lembu Sora berteriak,
“panggil mereka!”
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit.
“Baik Ki Ageng,” jawabnya.
Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?”
desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.
Quote:
“Arya…” panggil Mahesa Jenar,
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!”
Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, “Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.
Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata,
Quote:
“Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat.
Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.
BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya,
Quote:
“Ada apa Tuan-tuan?”
“Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa.
Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan.
“Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.
“Baik Adi,” jawab Lembu Sora.
“Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar,
“Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.”
“Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa.
Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan.
“Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.
“Baik Adi,” jawab Lembu Sora.
“Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar,
“Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.”
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi,
Quote:
“Aku ambil seekor.”
Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa.
Quote:
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar,
“Kami sedang berlatih berpacu kuda.”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar,
“Kami sedang berlatih berpacu kuda.”
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut.
Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula.
Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram,
Quote:
“Apa kerjamu Sawung Sariti?”
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,”pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
Quote:
“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan.
“Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.
“Terlambat,” geram Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora.
“Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya, Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.
“Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.
“Terlambat,” geram Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora.
“Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya, Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri,
Quote:
“Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?”
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab,
Quote:
“Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi,
“Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi,
“Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi,
Quote:
“Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab,
“Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab,
“Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas