.
.
Jadi sebelum melanjutkan, saya harap agan-sista mengintip dari kedua cerita tersebut terlebih dahulu.
Pak Aan segera menarik lari tangan kawan-kawannya yang masih mematung terkesiap ketika hal itu terjadi.
"Kita lari dulu ke depan, apapun yang terjadi kita ke depan dulu aja!"
Teriaknya sambil menyeret mereka.
Setibanya di gedung depan, mereka berhenti. Terlihat keringat membasahi tubuh, juga tarikan nafas yang tersengal.
"Itu apa tadi pak?"
Tanya Bang Herul.
"Sinden, budak kerajaan setan."
Jelasnya singkat.
"Jadi bingkisan itu punya mereka?"
Lanjut Kang Iwan.
"Yang saya tahu, kalo ada sinden artinya pabrik ini diguna-gunai, atau yang empunya emang nyugih."
Mendengar jawaban pak Aan, Bang Herul & Kang Iwan bertukar pandang.
Pikiran mereka sama.
'tumbal?'
Udara malam sedikit lebih tenang sekarang. Hawanya tidak lagi membuat sesak. Mereka berjalan menuju pos satpam.
Lain tujuan dengan Kang Iwan, ia pamit pulang.
"Saya pulang aja, takut kalo disini terus."
Pamitnya yang kemudian mengambil motor yang di parkir di dekat pos.
"Rul, bukain sono gerbangnya."
Ujar pak Aan.
"Siap."
Balasnya yang langsung menuju gerbang.
'drrt...drr..dtt'
"Lama amat bang?"
Protes Kang Iwan.
"Macet kang, tunggu ya."
Bang Herul masih berusaha menarik pintu gerbang itu.
"Macet? Gak pernah pintu gerbang macet, Rul. Ngarang kamu."
Kata pak Aan yang segera menghampiri untuk membantunya.
Pintu gerbang itu nyatanya memang berat. Ada sesuatu yang menahan agar roda ini tidak bergulir ke arah belakang.
"Rul, coba cek."
Perintah pak Aan.
Bang herul segera membungkuk mencari tahu. Ia mengarahkan senternya kesana-sini, barangkali ada batu atau apapun yang mengganjal.
Alih-alih batu yang ia temukan malah sepotong lengan manusia yang masih bergerak, namun jari telunjuknya terpotong hilang.
Ia kaget hingga menjatuhkan dirinya ke belakang dengan cepat.
"BWANGKE!"
Umpatnya.
"Kenapa rul?"
Pak Aan heran.
"Ada tangan orang yang kelindes."
Jawabnya cepat.
"Jarinya ilang satu ya?"
Kang Iwan memastikan.
"Iya kang."
Jawab Bang Herul yang berusaha bangkit.
"Tangan saya itu."
Suara kang Iwan kini datar.
Sadar dengan apa yang ada di belakang mereka.
Pak Aan serta Bang Herul kini yang bertukar pandang.
Mereka diam & saling menelan ludah.
"P..pak?"
Bang Herul memanggilnya dengan gemetar.
"Tenang rul, jangan takut, jangan noleh juga. Biar saya yang tanya."
Pak Aan memberanikan diri.
"Dimana Iwan?!"
Ia bertanya tanpa menoleh dengan nada sedikit berteriak.
'brak!'
Motor jatuh begitu saja. Mereka pun menoleh ke belakang. Sosok yang menyerupai kang Iwan kini lenyap.
"Kita balik ke belakang, cepetan!"
Pak Aan berlari mendahului.
"Tunggu pak!"
Bang Herul mengekor.
Saat mereka tiba di tempat pertama, Kang Iwan sedang berjongkok membelakangi mereka.
Pak Aan berhenti berlari, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar Bang Herul berjalan pelan.
Mereka mencoba menghampiri Kang Iwan yang terlihat sedang berjongkok & melakukan sesuatu.
Saat sudah dekat,
Rupanya Kang Iwan sedang mengunyah kembang-kembang yang tadi dilemparkan pak Aan untuk mengusir para sinden.
Mata Kang Iwan tertutup, namun ia dapat mengambil kembang yang berserakan di bawah kakinya dengan lancar, wajahnya seperti beringas kelaparan, ia memakan semua kembang itu terburu seolah ia dikejar sesuatu.
"Istighfar kang."
Ujar pak Aan.
Kang Iwan menoleh cepat, ia memutar wajahnya ke bawah dengan pelan. Meski matanya tertutup, namun raut mukanya seperti memperhatikan pak Aan.
Lalu menoleh kembali untuk mengunyah lagi.
"Ka..kamu si...siapa?"
Bang Herul memberanikan diri untuk bertanya.
kang Iwan seketika berhenti.
"HA..HAHAHAHAHA
GRRR"
ia tertawa lalu menggeram.
"Pegangin rul!"
Perintah Pak Aan yang disambut dengan Bang Herul mencengkram tubuh Kang Iwan.
Pak Aan menutup mata Kang Iwan dengan telapak tangan kanannya, lalu membaca lafalan ayat suci yang sama.
Dan diikuti oleh Kang Iwan, ia mengejek lafalan pak Aan dengan memotong ayatnya lalu mengulang.
Sadar akan hal itu,
Pak Aan berhenti sejenak, lalu hanya membaca kalimat dari ayat terakhir yang tak bisa Kang Iwan lafalkan secara berulang.
Kang Iwan yang kini diam, sedetik kemudian menggeram dengan kesal.
Melihat gelagat itu, Bang Herul segera mengikuti apa yang pak Aan lakukan.
Berdua mereka melafalkan kalimat terakhir sedikit lebih keras terus menerus.
Hingga kang Iwan melemas, tubuhnya tak lagi menegang, lalu ia muntah darah bercampur kembang.
"Haaa...hah...haaa..."
Kang Iwan yang kini sadar, hanya dapat mengambil nafas dengan perlahan.
Baru saja mereka menghela nafas lega, angin bertiup kencang, lalu petir menggelar bersahutan dengan cepat.
"bodoh!"
Bentakan itu menggelegar, ketiganya pun mendengar. Sosok yang mengucapkan itu kini terlihat.
Ia berdiri di belakang mess, tubuhnya yang berbulu lebat besar menjulang. Tinggi bangunan mess pun hanya setinggi bahu dari makhluk itu. Matanya merah menyala, wajahnya marah.
Hanya beberapa detik makhluk itu menampakkan diri lalu berbalik melangkah pergi.
Herannya langkah kakinya tak terdengar, senyap seketika.
Mereka yang menyaksikan kejadian itu langsung berlari ke depan, kini pak Aan memastikan bahwa yang ia seret benar-benar kang Iwan asli.
Setibanya di depan pintu gerbang, dimana motor kang Iwan yang seharusnya tergeletak, kini motor itu ada di tempat parkir samping pos.
Berdiri pula seseorang menggunakan jubah putih disana. Itu adalah wajah dari semua yang mereka kenal.
Tanpa mereka perdulikan pintu gerbang yang masih tertutup rapat, orang itu berdiri tersenyum tenang sambil memegang tangan kirinya yang putus & berdarah-darah.
"Terima kasih."