detyryAvatar border
TS
detyry
Kenangan Mentaya

sumber gambar

Aku menyandarkan kepala pada bahu wanita paruh baya yang wajahnya mulai menampakkan gurat-gurat halus saat tersenyum.

"Ceritakanlah, bagaimana kalian bertemu, Bu," pintaku manja.

Kemudian tangannya membelai rambutku yang terurai, membuat jiwa terbuai kenangan masa kecil dulu. Di mana untaian kisah masa lalu seringkali mengantarku menjemput mimpi, memutar kembali setiap kejadian seperti film seri di alam lelap. Begitu tampak nyata, meski semua hanya ilusi.

"Kami bertemu di daerahnya. Masa itu, ibu dan keluarga besar bertempat tinggal di sana. Sebagai imigran. Dia yang saat itu pulang dari berlayar mencari ikan, kerap memperhatikan secara diam-diam. Ibu tahu itu, mata kami seringkali beradu." Beliau mulai bercerita.

"Lalu, kalian saling menyapa?"

"Tidak. Hanya mata dan getar dalam sanubari yang saling bertemu sapa. Ibu hafal pukul berapa dia pulang berlayar dari Mentaya. Saat itu pula ibu di sana, meski cucian yang telah selesai hampir mengering sebagian."

Aku tersenyum simpul, membayangkan kejadian yang sama sekali tidak pernah kualami. Namun, tergambar jelas pada ruang khayal.

"Dia pasti sangat tampan dan ... gagah." Senyumku menggoda wanita yang tangannya tak pernah lelah membelai pucuk kepala ini.

"Ya, tentu saja. Dadanya yang bidang tampak jelas ketika berdiri di atas perahu hingga menghilang di ujung pandang. Pun ketika kembali, ibu sudah bisa mengenali meski dari jarak ribuan depa."

"Ceritakanlah, Bu. Bagaimana kisah kalian." Aku selalu antusias meski ini bukan pintaku yang pertama. Selalu saja kunanti saat pipinya mulai ranum karena tersipu kala sampai pada cerita mereka memadu kasih. Aku bisa merasakan hatinya berbunga saat itu.

"Dia memberikan sebagian ikan tangkapannya untuk ibu bawa pulang."

"Ibu menerimanya?"

"Ya, tentu saja. Ikan itu ibu masak selezat mungkin dan menyuguhkan ketika dia memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah."

Aku masih mendengarkan, sesekali menggeser posisi kepalaku yang sudah berpindah ke pangkuan ibu. Mengamati raut muka matang yang serius bercerita.

"Lalu?" tanyaku.

"Dia menikmatinya. Sejak saat itu, ikan dan masakan menjadi alasan kami bertemu."

Wanita yang masih terlihat jelas jejak ayunya ini menerawang, seakan memandang putaran suatu kisah yang hanya dia yang dapat melihatnya. Bibir ibu perlahan bergerak melengkung cekung, membuat garis-garis halus di sekitarnya terlihat jelas.

"Dia menyatakan perasaannya di perkenalan kami yang sudah cukup lama. Ibu tak lantas menerima. Banyak kendala yang menjadi dinding pemisah untuk kami merajut mimpi."

"Apa? Apa kakek dan nenek tidak merestui?" Aku bangkit dari pangkuan ibu.

"Ada hal yang menjadikan mereka tidak merestui. Kami berbeda etnis. Bagi kami itu hal yang tabu, meski pada kenyataannya kami saling cinta."

"Lalu?"

"Setinggi-tingginya adat yang kami junjung, perasaan yang datang dari Sang Pencipta ini membuncah melebihi segalanya. Toh, kami sama-sama ciptaan-Nya yang tak kuasa melawan rasa. Hingga kemudian dia nekat membawa ibu menemui pemimpin kampung untuk menikahkan kami."

Aku yang tegang mendengarkan kisah mereka masih semangat menunggu ibu melanjutkannya.

"Orang tua kami akhirnya merestui setelah pemimpin kampung menemui mereka."

"Yeeaaay," teriakku girang mendengar kisah mereka yang akhirnya bisa bersatu.

"Tentu saja kami hidup bahagia. Pantai Mentaya menjadi saksi perjalanan cinta. Ayahmu sering mengajak ibu menikmati senja di sana. Banyak tempat hiburan yang menjajakan hidangan lezat. Seperti Ikan jelawat, soto juga keripik ikan dan gorengan. Atau sekadar kopi. Ikan jelawat bakar menjadi menu favorit kami. Saat-saat itu begitu bahagia, hari-hari kami lalui penuh cinta. Sebelum akhirnya ...."

Raut wajah wanita yang kukagumi ini seketika berubah. Matanya yang sendu tampak berkaca-kaca. bibirnya merapat, seolah menahan sesuatu nun jauh di dalam sana yang seakan mau meledak.

"Tunggu dulu, Bu. Aku akan buatkan teh hangat untuk Ibu. Sebentar aku kembali."

Lima menit kemudian aku kembali menghampiri ibu yang sudah beranjak dari ranjang tempat kami semula. Dengan membawa secangkir teh hangat yang kuberi sedikit perasan lemon dan daun mint.

"Ini Bu, silakan." Kemudian aku duduk di sebelah ibu yang sedang meneguk minuman buatanku. Dia menghela napas. Dalam dan perlahan. Hingga air mukanya tak setegang tadi. Tangannya meletakkan kembali cangkir pada meja di sebelah kami.

Matanya kembali menerawang menatap jauh dari pandangan, mungkin ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Lama wanita berbusana biru muda itu terdiam, hingga kemudian melanjutkan cerita yang tadi sempat tertunda.

"Malam itu, kami sedang di perjalanan pulang. Banyak orang membawa obor berbondong-bondong hendak pergi ke rumah seorang warga pribumi. Mereka bilang, hendak menuntut balas atas kematian beberapa orang warganya." Ibu bercerita dengan mata berkaca-kaca.

"Lalu?" tanyaku.

"Mereka membakar rumah salah satu warga pribumi yang diyakini sebagai otak dari penyerangan warga imigran." Ibu melanjutkan cerita, butiran bening perlahan menetes melalui pipinya.

"Sudah, Bu. Sudah. Tidak perlu dilanjutkan lagi," selaku. Seperti kisah-kisah sebelumnya, aku memotong cerita di saat ibu belum sempat menyelesaikannya. Jujur, aku tak pernah sanggup membiarkan wanita yang kusayangi hancur hatinya ketika mengingat kenangan pahit masa lalu.

"Tidak, Nak. Kali ini ibu harus melanjutkan. Kau harus tahu kisah sebenarnya. Sebab yang membuatmu tak berkesempatan mengenal ayah." Wanita ini bersikeras ingin menuntaskan kisah.

"Baiklah, Bu." Aku beringsut ke samping beliau, hingga kami sangat dekat. Sewaktu-waktu nanti jika wanita yang kukasihi menangis, tangan ini akan segera memeluknya.

"Kondisi memegang teguh adat masing-masing etnis dan mempertahankan keutuhan golongan menjadi pemicu terjadinya konflik berkepanjangan. Mereka saling menyerang satu sama lain. Mayat-mayat bergelimpangan sering kami temui setiap harinya. Banyak dari mereka yang tidak bersalah menjadi korban. Bahkan mereka ditemukan sudah tanpa kepala." Kisahnya membuka kembali luka lama.

Sejenak ibu tersedu, bayangan masa lalu yang sangat menyakitkan kembali menghinggapinya. Aku memeluk wanita tegar di sampingku. Cukup lama, sampai beliau bisa tenang kembali.

"Lalu, bagaimana dengan ayah, Bu? Apakah ayah juga menjadi korban?" tanyaku semakin penasaran. Tak terasa dalam dadaku sudah berkecamuk berbagai macam rasa yang entah tertuju pada siapa.

Wanita di sampingku kembali menghela napas. Sebelum kemudian beliau melanjutkan cerita.

"Tidak, Nak. Kami baik-baik saja."

"Lalu di mana ayah, Bu? Mengapa sekarang dia tak bersama kita?"

Tatapan mata teduh itu berembun, namun tegas tertuju padaku.

"Setelah peristiwa menyakitkan itu, kami warga imigran diusir oleh pribumi. Ayah dan ibu pergi ke kampung halaman kakekmu di Madura. Namun, alih-alih kami terbebas dari konflik mengerikan, warga Madura justru menentang hubungan kami karena ayahmu dari etnis yang berbeda."

Penjelasan yang membuat kecamuk di dada semakin menjadi, sungguh tidak adil dunia. Mereka mengatasnamakan etnis dan saling mengintimidasi. Hingga akhirnya banyak orang seperti kami menjadi korban.

"Ibu ikut bersama ayahmu pulang kembali ke kampung halamannya, Sampit. Saat itu ibu tengah mengandungmu, Sayang. Sudah cukup besar."

Tanpa terasa pipi ini sudah lembab oleh butiran-butiran yang jatuh dari kantung mata.

"Sesampainya di sana, warga pribumi tak menerima ibu. Ibu kembali di usir dari kampung ayahmu. Hingga akhirnya ada seorang kerabat yang mengungsikan ibu ke Banjar. Sedangkan ayahmu tetap tinggal, sampai suasana betul-betul kondusif."

"Itu sudah belasan tahun yang lalu, Bu. Saat ini aku sudah delapan belas tahun. Lalu mana ayah? Kenapa ayah tidak juga datang menemui kita?"

Raut wajah wanita setengah baya itu kembali lagi murung, beberapa saat. Kemudian tersenyum.

"Entahlah, tapi ada satu keyakinan ibu. Di mana pun dia berada, akan selalu ada kita dalam hatinya. Itu janji ayahmu saat terakhir kali kami bertemu di sungai Mentaya," lanjutnya mengakhiri cerita.

Dia tampak berbeda kali ini, ada binar cerah terlihat di iris cokelatnya. Menampakkan harapan yang tak pernah padam. Harapan akan kebersamaan keluarga yang selalu didambakannya. Syukurlah, paling tidak kenangan 2001 silam tak lagi membelenggu jiwanya. Inginku hanya satu, bisa melihat wanita yang memperjuangkan hidupku bahagia. Semoga saja Tuhan mendengar do'aku untuk mempersatukan kami kembali. Meski tidak saat ini, semoga di kehidupan kekal nanti.

- Selesai -



Blora, 14 Juli 2020

Terinspirasi dari konflik Sampit 2001
Diubah oleh detyry 26-12-2020 13:08
dchantique
bekticahyopurno
inginmenghilang
inginmenghilang dan 22 lainnya memberi reputasi
23
2.4K
135
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
detyryAvatar border
TS
detyry
#39
Tamu-Tamu
Gadis kecil itu termenung, duduk menyendiri di batu besar pinggir sungai. Dengan wajah pucat, mata sembap dan lingkaran hitam di sekitar. Rambut sebahu yang diurai bergerak membelai wajah searah tiupan angin. Kaos putih dan celana pendek selutut yang dia kenakan tampak sedikit kumal. Pandangannya jauh menerawang. Kosong.

Tersebutlah Widi. Usia sepuluh tahun. Sepulang sekolah, dia biasa bermain dengan teman-teman sebaya. Layaknya anak-anak pada umumnya, Widi pun bermain dengan gembira.

Tanpa ada yang tahu, di hati terdalam menyimpan beban. Widi kecil seharusnya tak layak mengalami kenyataan pahit seperti yang saat ini sedang ia hadapi.

Sore menjelang, langkahnya tampak gontai menyusuri jalan pulang. Teringat akan kejadian yang menjadi sebuah alasan kenapa dia dijauhi oleh teman-teman.

"Dari mana saja kamu, Widi?!" Seorang wanita usia tiga puluh tahun menyambut di depan pintu dengan berkacak pinggang.

"Bukan urusan Mama!" Widi berlalu tanpa mengacuhkan wanita yang ia panggil mama.

"Hey! Mama sedang bicara!" tegas wanita itu seraya menarik tangan Widi, "sejak kapan kamu berani kurang ajar?!"

"Widi malu, Ma ... teman-teman gak ada yang mau main sama aku lagi. Ini semua gara-gara Mama!!"

Dia berlalu, masuk ke kamar sambil terisak dan membanting pintu.

Blam!!

Seperti biasa, dia membenamkan wajahnya di bantal biru muda, membiarkan bulir demi bulir saling berlomba membasahi sarungnya. Lama ... hingga tak terasa dia telah terlelap membawa beribu luka.

Suara berisik dari ruang tamu membangunkannya. Selalu saja begitu hampir setiap malam, tamu-tamu datang silih berganti hingga pagi hampir menjelang. Kali ini ada dua laki-laki dan satu wanita. Entah itu laki-laki keberapa, sedang wanitanya adalah teman mama.

Widi kecil tahu apa yang terjadi, namun tidak cukup nyali untuk membicarakan rasa sakitnya. Dia memilih untuk diam, memendam seribu luka yang entah sejak kapan digoreskan oleh sang mama.

Dulu ia selalu bertanya, "Di mana papa, Ma?" Dan jawaban sama yang selalu ia dapat. "Papamu sudah mati, Widi. Jadi stop menanyakan tentang papa."

Ia tahu, mamanya sedang berbohong. Karena sampai detik ini mama tak pernah membawanya ziarah ke makam papa.

Sejak saat itu Widi enggan bertanya lagi tentang pria yang sangat dia rindukan. Meski sebenarnya hati selalu menyimpan tanya.

Suara kokok ayam jantan layaknya sahabat yang setia membangunkan. Dia selalu menikmati pagi, karena saat bangun akan lenyap semua beban atau paling tidak menghilang sebagian.

Jam dinding menunjukkan pukul 05.30, dia bergegas mandi dan berangkat sekolah. Saat melalui ruang tamu, lantainya terlihat kotor dan tampak kulit kacang berserakan, bau alkohol menyengat dari botol kosong yang bagian tutupnya masih terbuka, di sebelah setumpuk kertas berwarna merah dan biru tersusun rapi. Sedang mama, tampak terlelap di sofa.

Pemandangan yang sudah tidak asing lagi. Beberapa kali dia mengutuki nasib, kenapa harus dilahirkan oleh orang yang disebut mama. Namun, nurani berkata jika sangat mencintainya.

Dia menghentikan langkah, memandang wajah mama yang begitu lelah dengan rasa iba. tampak guratan kepedihan pada air mukanya. Kakinya melangkah menuju kamar, meraih sebuah selimut tebal dan ditutupkan pada tubuh mama, kemudian memandang setumpuk uang di meja, tetapi enggan untuk mengambilnya. Dia berlalu begitu saja dan melangkah ke luar.

Deraian air mata mengiringi perjalanan menuju sekolah. Dengan segera, dia menghapus titik-titik air yang masih tersisa ketika melihat pintu gerbang baru saja dibuka. Selalu begitu, datang ke sekolah paling awal dan pulang paling akhir.

"Widiii!" sapa Dara dari belakang seraya mempercepat jalannya mengimbangi Widi. Teman sekelas yang saat ini menjadi teman satu-satunya. Setelah kejadian beberapa hari lalu di rumah, teman-temannya kompak menjauhi, mereka bilang tidak mau berteman dengan anak seorang PSK.

Siang itu sepulang sekolah, Widi beserta beberapa orang temannya sedang menuju rumah untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka sepakat untuk mengerjakan di rumahnya. Sesampainya di rumah, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang sama sekali tidak layak diperlihatkan di depan anak sekolah dasar, bahkan di muka umum.

Sungguh perbuatan biadab layaknya seekor binatang yang mengikuti insting hewannya.

Tanpa dikomando, teman-teman Widi berbalik arah, sedang ia ditinggalkan dengan perasaan tak karuan. Antara malu, marah, sakit dan kecewa. Sejak saat itu ia sering menyendiri.

"Widi! Assalamu'alaikum." Dara mengulang sapa seraya menepuk pundak Widi.

"W-Wa'alaikumussalam." Widi tergagap, terkejut menjawab salam.

"Sudah sarapan belum?"

Widi menundukkan wajah, dengan lirih dia menjawab, "Belum." Sudah biasa baginya, berangkat ke sekolah tanpa sarapan, karena memang tidak ada makanan.

"Sama, aku juga. Ke kantin yuk?" Dara selalu sarapan setiap pagi. Namun, demi melihat perut sahabatnya terisi, dia terpaksa berbohong.

"Mmm ... gak deh, Ra. Kamu aja." Sebetulnya Widi sangat lapar, karena dari semalam dia tidak makan dan memilih tidur lebih awal, akan tetapi tak sepeser pun uang yang dia bawa.


"Udah, aku yang traktir. Ayah kasih uang jajan tambahan hari ini, katanya lagi ada rezeki lebih." Dara tersenyum. Ayah tak pernah memberinya lebih, dia selalu mengumpulkan sisa uang jajan, dengan harapan bisa untuk membeli sepeda baru, akan tetapi dia tahu, bahwa Widi lebih membutuhkan.

Dengan ragu Widi mengangguk. Dan mengikuti langkah Dara menuju kantin.

"Mmm, Ra ... kata Pak Soleh guru agama kemarin kita gak boleh makan makanan haram ya?"

Dara melirik sahabatnya, "Iya, ayahku juga pernah bilang kalau makanan kita harus halal dan baik, soalnya makanan yang kita makan bisa berpengaruh sama akhlak kita."

"Oh ... gitu, kalau belinya pakai uang haram, gimana?" Alis Widi bertaut, tampak kekhawatiran di wajahnya.

"Aku gak tahu, nanti tanya ayahku dulu, ya. Emang kenapa?"

"Mama sering bilang, kalau setiap malam dia bekerja untuk mendapatkan uang. Tapi aku gak tahu kerjaan mamaku halal atau enggak, yang aku tahu harusnya mama gak boleh terima tamu laki-laki, apalagi malem-malem."

Dara menghentikan langkah. Alisnya bertaut dengan mata tajam menatap Widi, "Jadi ... kamu takut kalau uang yang dikasih mama kamu itu, uang haram?"

Widi menganggukkan kepala dan menunduk.

"Hari ini aku yang traktir, deh. Kamu boleh jajan apa aja yang kamu suka," ucap Dara sambil merangkul sahabatnya. Dara adalah anak pengusaha katering yang cukup terkenal. Ayah dan ibunya mempunyai beberapa cabang usaha yang tersebar di beberapa kota. Dengan gemblengan kedua orangtuanya, dia tumbuh sebagai pribadi yang religius dan hangat bersahabat.


Setibanya di kantin mereka duduk di kursi sudut ruangan, kantin bu Diah cukup luas. bisa menampung puluhan anak sekali jajan. Beberapa diantara mereka memilih menghabiskan makanan di taman. Sekolah Widi cukup besar, SD favorit di kota Karawang.

Setelah memesan makanan yang mereka inginkan dan air mineral, Dara membawanya ke meja tempat mereka duduk.

"Eh, Ra ... aku pengen deh jadi kayak kamu, cantik, soleha, punya orang tua yang baik. Tidak seperti aku ... mama selalu sibuk sendiri. Aku udah gak punya papa, sekarang temen-temen pada menjauh," lirih Widi sambil memotong siomay di piringnya.

Dara menghentikan aksi makannya, memandang sahabatnya dengan penuh iba. "Mmm ... sabar ya, Wi. Kata ayah, takdir manusia itu sudah ditentukan oleh Allah, dan kita semua akan mendapat ujian dari-Nya. Ayahku juga bilang, kalau kita ikhlas dan sabar maka surga balasannya." Dara meyakinkan Widi, kemudian melahap telur dengan sambal kacang.

Sesaat Widi terdiam, seperti memikirkan sesuatu kemudian kembali menikmati sarapan.


Setelah keduanya menyelesaikan sarapan, mereka kembali menuju kelas.

Di perjalanan menuju kelas, mereka bertemu dengan teman-teman yang sedang berkasak-kusuk sambil memandang ke arah mereka.

"Ra, kenapa kamu masih mau jadi temenku? Kamu gak takut dijauhin sama mereka?" Widi menunjuk sekumpulan siswa dengan dagunya.

"Insyaa Allah gak, Wi. Terserah aku dong mau temenan sama siapa aja. Ibuku bilang, kita gak boleh pilih-pilih temen. Semua itu temen kita."

"Mmm ... Ra, kalau Ayah sama Ibu kamu kenal sama mamaku, kamu masih dibolehin gak main sama aku?"

Sesaat Dara terdiam, memang ayah-ibunya tidak mengetahui latar belakang sahabatnya. Dia khawatir, mereka pun melarangnya untuk berteman dengan Widi seperti orangtua teman-temannya. "Ih, Widi! Kamu kan baik, kenapa aku gak di bolehin main sama kamu?"

Raut wajah Widi tampak kembali ceria. "Ya, aku takut kalau kamu gak dibolehin main sama aku, aku gak punya temen lagi, dong."

Dara sangat berempati terhadap Widi. Perasaannya begitu halus hingga bisa merasakan beban yang dirasa Widi.

"Eh, Wi, kapan-kapan main ya ke rumahku. Nanti aku kenalin sama ayah ibu," ajak Dara.

"Mmm ... gak papa, Ra?"

"Tenang aja, mereka baik, kok."

"Makasih ya, Ra."

"Iya ... sama-sama, Widi. Makasih terus dari tadi. He he."

"Yang ini beda, makasih udah mau jadi sahabatku."

"Okey, aku akan jadi sahabatmu terus, selamanya." Dara merangkul pundak Widi.

Widi menatap Dara dengan mata berkaca-kaca. Yah, dia sangat bersyukur dipertemukan oleh Allah sahabat yang baik, mau membimbingnya menuju kepada kebaikan. Di saat teman-teman yang lain menjauhinya, Dara tetap tinggal untuk merangkul dan membimbingnya memutus mata rantai nista yang diperbuat oleh sang mama.

Azamnya, Widi ingin belajar agama dengan rajin dan menjadi anak sholiha supaya bisa menolong mamanya meninggalkan perbuatan dosa.


Terima kasih

Belajar Bersama Bisa


Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat kecil.
Diubah oleh detyry 08-09-2020 13:42
trifatoyah
rainydwi
gustiarny
gustiarny dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.