- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#496
Jilid 15 [Part 351]
Spoiler for :
DALAM pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara mereka yang berjalan dijalan Allah, melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.
Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar. Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka. Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik. Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka. Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.
Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin pusaran.
Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara yang bertentangan arah.
Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap.
Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur dilangit yang saling sambar menyambar. Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil bergumam,
Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar.
Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti.
Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan.
Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya,
NAGAPASA menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak bertangan hantu.
Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya. Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan. Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak menyenangkan.
Kemudian terdengar ia berkata,
Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja.
Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar. Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka. Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik. Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka. Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.
Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin pusaran.
Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara yang bertentangan arah.
Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap.
Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur dilangit yang saling sambar menyambar. Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil bergumam,
Quote:
“Tikus yang sombong.”
Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar.
Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti.
Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan.
Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya,
Quote:
“Alangkah dahsyatnya Tuan.”
NAGAPASA menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak bertangan hantu.
Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu.
Quote:
“Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya. Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan. Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak menyenangkan.
Kemudian terdengar ia berkata,
Quote:
“Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”
Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
Quote:
“He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Laskar Banyubiru.”
“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah.
“Namamu dan jabatanmu?”
“Kebo Kanigara,” jawabnya.
“Laskar biasa.”
Nagapasa menggeram.
Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.
“Sudahkah kau mengenal aku?” tanya Nagapasa.
“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara.
“Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Laskar Banyubiru.”
“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah.
“Namamu dan jabatanmu?”
“Kebo Kanigara,” jawabnya.
“Laskar biasa.”
Nagapasa menggeram.
Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.
“Sudahkah kau mengenal aku?” tanya Nagapasa.
“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara.
“Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?”
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.
Quote:
“Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut.
“Kalau demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?”
“Ya,” jawab Kanigara pula.
“Nagapasa berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
“Kalau demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?”
“Ya,” jawab Kanigara pula.
“Nagapasa berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
Quote:
“Kalau demikian…” Nagapasa berkata pula,
“Apa maksudmu mengikuti aku?”
“He…” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu,
“Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya,
“Kau akan melawan aku?”
“Apa aku harus memilih lawan” sahut Kanigara.
“Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa.
“Lihat betapa orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.
“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab Kanigara.
Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.
“Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.
“Orang ini agaknya orang gila,” pikir Nagapasa.
“Apa maksudmu mengikuti aku?”
“He…” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu,
“Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya,
“Kau akan melawan aku?”
“Apa aku harus memilih lawan” sahut Kanigara.
“Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa.
“Lihat betapa orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.
“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab Kanigara.
Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.
“Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.
“Orang ini agaknya orang gila,” pikir Nagapasa.
Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas