suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper



Sumber: gambar di sini

Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.

Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.

Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.

"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"

"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.

Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.

"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.

Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.

"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.

Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.

"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.

"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.

Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.

Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.

"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.

Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.

“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.

“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.

“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.

“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”

Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.

Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.

“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”

Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.

“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.

“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.

“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.

“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.

“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”

“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.

“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”

“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”

“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.

“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.

“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.

“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”

“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”

“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”

“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.

“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.

“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.

“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”

“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”

Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.

“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”

Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.

“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.

Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.

Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.

“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.

“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.

Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.

“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.

“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”

Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.

“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.

Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.

“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.

“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.

“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.

“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.

Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.

“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.

Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.

“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.

“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.

Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”

“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.

Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”

“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.

“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.

Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”

Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 02:33
lianasari993
firdainayah
novianalinda
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
13.8K
634
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#227
Ketika Miss J Bertemu Jodoh
Kesempurnaan hanya milik Allah Semata


Sumber: Klik

14 Juni 2019

Shadaqallahulladziim.” Kututup Al quran terjemah dua bahasa, kenang-kenangan dari salah satu mantan rekan mengajarku. Bu Afrin memberikan Al quran dalam bahasa Inggris dan Indonesia itu pada saat aku memutuskan untuk resign.

Empat tahun sudah aku meninggalkan SD Pelangi, tempatku mengabdikan diri, berbagi ilmu kepada anak-anak didik, meninggalkan rekan-rekan kerja yang masih berjuang mencerdaskan anak-anak bangsa di sana.

Di sini pun, di tempat yang berbeda kulanjutkan perjuangan, mengabdi pada suami dan menjaga sang buah hati. Ya, setelah menikah dan punya anak, aku memutuskan pindah ikut suami. Di sini pun, aku masih tetap berbagi ilmu, tetapi pada tingkatan yang berbeda, yaitu jenjang SMA.

Aku bertemu dengan mereka pada tahun 2005, pertama kalinya aku mulai terjun ke dunia mengajar. Inilah sepenggal kisah dan secuil kenangan dengan mantan rekan-rekanku di sekolah tempatku mengajar dahulu.
***
Namanya Afrin. Dia berumur 45 tahun. Dia bekerja sebagai staf pengajar di sebuah sekolah dasar swasta, SD Pelangi namanya. Sudah 4 tahun lamanya dia mengajar di sana sebagai wali kelas IV. Di usianya yang sekarang, dia belum juga menikah. Dia orangnya sangat tertutup, senang menyendiri. Dia sangat perfeksionis, idealis, dan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Jika ada kebijakan sekolah atau hasil rapat bersama yang tak sesuai dengan kehendak hatinya, dia sering marah-marah dan menunjukkan muka masam. Dia ingin selalu menang sendiri, semua yang dia mau harus dituruti.

Di kelas, dalam menghadapi anak-anak didiknya dia terkenal sebagai guru killer. Banyak murid yang bermasalah dengannya pindah sekolah karena takut. Maklum, dia adalah adik kandung ketua yayasan di sekolah tersebut. Guru-guru memanggilnya dengan sebutan Miss J alias Miss Jutek.

Seperti siang ini, ketika rapat awal tahun ajaran baru telah usai, tampangnya terlihat tidak bersahabat. Ternyata dia tidak setuju dengan pengaturan jadwal mengajar yang menurutnya tidak sesuai dengan keinginan dan kata hatinya. Dia terlihat duduk di kursi pojok ruang guru sambil memperlihatkan wajah marahnya.

“Apa-apaan, nih, jadwal pelajaran? Seenaknya aja dibuat seperti ini. Pokoknya saya minta jadwalnya diatur ulang!”

Aku, sebagai guru bahasa Inggris di sekolah ini yang kebetulan lewat hanya bisa menghela napas, sementara guru-guru yang lain masih terlihat sibuk di ruang kepala sekolah.

“Eh, Bu Aulia, masa saya nggak ada liburnya? Sementara guru-guru yang lain punya waktu libur masing-masing satu hari. Pokoknya saya juga minta hak saya, ingin punya waktu libur!”

Mau tidak mau, walau dengan sedikit rasa enggan, aku pun menanggapi, dengan wajah dibuat terlihat seramah mungkin.

“Ibu coba bicarakan lagi saja dengan kepala sekolah. Siapa tahu bisa diatur ulang." Aku berusaha "terpaksa" antusias, dengan mengambil lembar jadwal pelajaran di tangannya, lalu mulai menelusuri kolom-kolom berisi nama-nama guru, lengkap dengan waktu mengajar masing-masing.

"Tapi, kalau dilihat-lihat, Ibu, kan, jumlah jam mengajarnya paling banyak di antara semua guru. 35 jam, mungkin wajar kalau nggak ada liburnya. Ibu tenang saja, Ibu nggak bakal sendirian, kok. Pak kepala sekolah, TU dan petugas perpustakaan pun standby setiap hari di sekolah. Jadi, jangan khawatir, Ibu bakalan banyak teman di sekolah, hehehe.” Aku berusaha menghiburnya dan mencoba mencairkan ketegangan yang tengah dia rasakan saat ini.

“Enak saja Ibu ngomong! Kalau mau ada libur yang adil dong, bila perlu semua juga jangan ada liburnya. Nah, Ibu sendiri enak banget guru bidang studi mengajar 24 jam cuma 3 hari di sekolah ini. Pokoknya guru-guru yang ngajar di kelas 4, 5, 6 jangan dulu pulang, kita atur ulang jadwal lagi!”

Ya ampun, Miss J, aku, kan, 3 hari ngajar di sekolah lain, full juga, kan? rutukku dalam hati.

Aku hanya bisa menghela napas tanpa mampu menjawab sepatah kata pun dan lebih memilih keluar dari ruang guru menuju ke kantin meninggalkan Miss J yang sedang panas hatinya. Percuma bicara pun, yang ada malah kena omelannya. Barusan pun aku sudah sedikit kena semprotnya, hehehe, nasib ..., nasib.
***
Esoknya, di SD Pelangi digegerkan dengan berita bahwa Pak Dharma, guru agama diberi Surat Peringatan oleh ketua yayasan dan Surat Tugas Mengajarnya ditangguhkan. Padahal ketika rapat tahun ajaran baru kemarin tidak ada kabar apa-apa. Hanya memang Pak Dharma tidak tampak hadir.

Tiba-tiba Bu Afrin menghampiri guru-guru yang tengah kasak-kusuk membicarakan mengenai Pak Dharma.

“Salah sendiri, datang ke sekolah terlambat, sering ceramah keluar kota jadi anak-anak banyak ditinggalkan, sering dititipkan ke guru lain. Jangan kaget, saya yang melaporkan semuanya ke pihak yayasan. Jadi, tolong diingat, ya, guru-guru yang terhormat, kalau mau tetap di sini jangan macam-macam karena saya adalah CCTV dan wakil dari pihak yayasan.”

Ia kemudian berlalu menuju ke ruang kelas IV tanpa rasa bersalah dan beban sedikit pun. Guru-guru dibuat terbengong-bengong dengan ucapan Bu Afrin tadi. Sedetik kemudian terdengar suara sebuah benda dilemparkan, disusul dengan bentakan Bu Afrin kepada salah satu muridnya dari ruang kelas IV. Aku bergidik ngeri mendengarnya. Kok dia jauh banget, ya, dari sifat kebanyakan wanita yang lemah lembut?

“Enak banget, ya, si Miss J itu, kayak dia sempurna aja. Padahal dia juga sering datang terlambat, tapi nggak ada yang berani menegur. Kalau saja dia bukan adik kandung ketua yayasan sudah saya laporkan biar dikasih SP juga!” seru Pak David , guru olahraga yang terkenal paling keras dan berani protes itu.

Bu Wita, guru kelas 1 menambahkan. “Iya, saya juga sudah malas melihat dia yang sok berkuasa itu. Pantesan, ya, dia belum menikah juga. Laki-laki pun takut kali melihat perempuan super galak kayak gitu. Tapi, kita memang benar-benar tak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa, yang ada kalau protes, kita yang malah disalahkan sama yayasan, apalagi aku, sebagai guru berstatus PNS, bagai buah simalakama. Kalau sampai dilaporkan ke dinas aku punya masalah, bisa gawat.”

Bu Gina, guru kelas 2 pun ikut bersuara, “Iya betul Bu, Miss J itu paling pintar memutarbalikkan fakta. Yang ada kita tentunya bakal dikeluarkan dari sekolah ini. Guru PNS saja nggak berdaya, apalagi kita-kita ini yang masih berstatus honorer, nggak ada taringnya. Contohnya saja, nasib pak Dharma. Padahal beliau guru senior, mengajarnya bagus, berpengaruh di lingkungan sekolah ini, makanya setiap tahun muridnya selalu banyak, eh malah ditendang, nggak berharga banget di mata pihak sekolah dan yayasan. Jangan-jangan setelah tidak ada pak Dharma di sekolah ini akan berkurang muridnya. Saya sangat menyayangkan, kepsek sendiri, walaupun laki-laki bagaikan boneka seolah takut dengan yayasan, menutup mata dan telinga dengan segala hal yang terjadi. Mudah-mudahan saja Miss J segera menikah, karena biasanya orang akan berubah ke arah yang lebih baik bila sudah mendapatkan pendamping hidup. Untuk sekarang, sih, kita cukup bersabar dan banyak-banyak mengelus dada aja ya, rekan-rekan seperjuangan, cari aman, deh.”

“Aamiin.” Semua guru menjawab do’a tersebut dengan kompak. Dalam benak masing-masing, mereka berharap akan ada keajaiban yang dapat mengubah segalanya menjadi lebih baik.

"Udahan, ah, bubar, bubar. Bisa gawat nasib kita kalau ketangkap kamera CCTV lagi ghibahin Miss J."

Kami semua kompak celingukan. Sementara Pak David, malah tertawa melihat raut wajah kami yang panik. Sejurus kemudian, kami serempak memasang wajah kesal pada guru olahraga itu, karena menyadari telah dikerjai olehnya.

Dengan santai, Pak David malah cengengesan sembari mengelus-elus lengannya yang baru saja terkena cubitan Bu Wita. Aku geleng-geleng kepala sambil tertawa menyaksikannya. Walau frontal, tapi Pak David itu termasuk guru yang terkenal jail dan humoris.
***
Pak Dharma resmi dikeluarkan dari SD Pelangi. Hal ini langsung disampaikan oleh ketua yayasan, Pak Farid, kakak kandung Bu Afrin. Semua guru terlihat menghela napas berat sambil menunjukkan wajah yang kecewa. Jelas kecewa, berarti hilang sudah seorang guru yang memiliki potensi bagus dan selalu punya ide-ide cemerlang untuk kemajuan sekolah terutama di bidang agama Islam.

Hanya Bu Afrin yang terlihat senyum penuh kemenangan, dan sebagai pengganti Pak Dharma tak lain adalah keponakannya sendiri bernama Indra. Semua guru tertunduk lesu. Dalam benakku sempat terlintas pikiran bahwa lama-kelamaan satu-persatu dari kami akan digeser kedudukannya, diganti dengan saudara-saudara dari pihak yayasan. Tentu saja dengan cara yang dilakukan Bu Afrin untuk menyingkirkan Pak Dharma, yaitu dengan mencari-cari kesalahan kami, dikasih SP, dan kemudian dipecat. Semoga saja tidak.
***
Pada suatu pagi yang cerah, Bu Afrin tampak sedang mencari seseorang. Pandangan matanya berkeliling ke sekitar lapangan sekolah.

Kemudian, dia memanggil Bu Nadia, guru kelas 3 yang kebetulan lewat hendak masuk ke kelasnya.

“Hey, Bu Nadia, lihat Bu Aulia, nggak?”

“Sepertinya belum datang, Bu.”

“Oh, ya sudah terima kasih.”

Bu Nadia terheran-heran dibuatnya karena tidak seperti biasanya Bu Afrin tampak manis seperti itu. Biasanya kalau ada guru yang belum datang, dia bisa langung marah-marah dan melaporkannya ke kepala sekolah atau ke yayasan, dan guru yang dilaporkannya tesebut biasanya langsung kena teguran. Miss J pun termasuk sosok yang jarang sekali mengucapkan terima kasih. Apa Bu Nadia tidak salah mendengar, ya? Barusan Bu Afrin mengucapkan terima kasih padanya, dan kalau tidak salah lihat, raut wajahnya pun tampak berseri-seri. ada apa gerangan dengan Miss J?

Ketika bel istirahat berbunyi, guru-guru tampak sedang bersantai sambil berbincang-bincang di ruang guru. Tiba-tiba saja, Bu Afrin yang biasanya tidak pernah bergabung tampak membawa bungkusan besar masuk menuju ruang guru. Guru-guru yang tadinya akan membubarkan diri karena malas dengan Miss J itu, malah dicegah olehnya.

“Hey pada mau kemana? Santai saja, kan masih istirahat. Oh iya, ..., kebetulan, nih, saya membawa kue bolu buatan saya sendiri. Silakan dimakan, jangan sungkan-sungkan, ya, dihabiskan, lho kuenya, tapi jangan sama dusnya, hehehe. Saya permisi, pamit, mau ke ruang kepsek dulu.”

Guru-guru saling pandang, merasa aneh dengan perubahan sikap Bu Afrin yang drastis itu.

Hari ini aku baru tiba di sekolah, karena masuk ke kelas setelah jam istirahat usai dan kebetulan aku ada keperluan mengantar Ibu yang sedang sakit berobat ke dokter. Biasanya walaupun mengajar setelah jam istirahat, aku selalu datang pagi-pagi, karena begitulah aturan di sekolah ini.

Baru saja turun dari sepeda motorku, tiba-tiba Bu Nadia menyapa. “Bu Aulia tadi dicari-cari Miss J, tuh.”

“Aduh, saya salah apa, ya? Perasaan, saya nggak punya salah. Apa jangan-jangan karena saya hari ini baru datang jam segini ya, Bu, jadi dilaporkan dan mau kena teguran?” Hatiku dag dig dug tak karuan, pikiranku melayang ke mana-mana, menebak-nebak kemungkinan buruk yang akan terjadi padaku.

“Ngvak tahu Bu." Bu Nadia mengangkat bahu. "Eh, tapi tenang aja, Miss J sekarang berubah, kok, jadi baik. Tuh dia bawa kue bolu di meja ruang guru. Cepetan ke sana, nanti keburu habis sama Pak David, hahaha.” Bu Nadia tergelak, sementara aku masih tegang, harap-harap cemas dan masih kepikiran tentang Miss J yang katanya mencariku.

“Tetap saja Bu, saya deg-degan takut dikasih SP, tapi saya merasa nggak salah, karena tidak meninggalkan kelas. Saya masuk setelah jam istirahat.”

Sekali lagi Bu Nadia mengangkat bahu. a
Aku melangkah masuk menuju ke ruang guru dengan hati berdebar dan pikiran tak karuan, diikuti Bu Nadia di belakangku.

“Tumben jam segini baru datang, hati-hati lho, nanti kena SP,” sapa Ahmad, pembina Pramuka di sekolah ini, membuatku mengurungkan niat untuk mengambil kue bolu yang dihidangkan di atas piring ceper berukuran besar. Seleraku tiba-tiba saja hilang, padahal, jujur, aku saat ini sedang lapar, butuh sesuatu untuk mengganjal isi perut.

“Kok nggak jadi ngambil? Ini buatan Miss J , lho, lumayan enak. Buruan makan, sebelum kehabisan, nanti nyesel lho, gak bisa lagi nyobain kalau udah nggak jadi guru lagi disini,” ledek Pak David. Bayang wajah Miss J yang tengah mencak-mencak berkelebatan di pelupuk mata. Aku semakin tak berselera untuk menyentuh kue bolunya.
***
“Bu Aulia, sini!” Terdengar suara Bu Afrin memanggilku yang hendak menuju kelas V.

Seketika saja, sekujur badanku terasa membeku, perasaanku tak menentu, sekelilingku seolah tak bergerak, waktu pun seperti terhenti sejenak.

Jangan-jangan karena aku kemarin baru datang ke sekolah pas jam istirahat, mungkin akan ada SP dari yayasan. Dengan malas aku berjalan gontai berbalik ke arah Bu Afrin, berusaha tersenyum, namun dia pasti melihat dengan jelas tampangku saat ini, sebuah senyuman yang dipaksakan, mungkin tepatnya disebut meringis.

“Nggak usah takut-takut gitu Bu, saya cuma mau minta tolong download lagu Eternal Flame dong, yang versinya Atomic Kitten, terus sekalian teksnya juga tolong diketik, ya, Bu, lengkap dengan terjemahannya, soalnya saya, kan, nggak jago bahasa Inggris. Jadi, kalau ada terjemahannya, saya jadi paham gitu liriknya. Ditunggu besok bisa, kan? Saya lagi suka banget sama lagu itu. Maaf, lho, saya nyuruh-nyuruh, habisnya kalau soal download-mendownload saya itu gaptek. Terima kasih, ya, sebelumnya.”

Leganya hati ini, karena ternyata semua kekawatiranku tidak terjadi. “Siap Bu, besok saya bawa.”

Kucubit pipiku, terasa sakit, berarti aku tidak sedang bermimpi. Dalam hati aku merasa heran dan bertanya-tanya, kok Miss J ramah banget, ya, hari ini? Tergambar jelas raut wajah bahagia, senyum yang berseri-seri, dan tatapan lembut tulus saat dia mengakhiri kalimat panjang lebarnya dengan ucapan terima kasih sambil menggengam kedua jemariku. Tumben. Aku menghela napas lega sambil berjalan dengan langkah ringan menuju ke ruang kelas V dan mulai mengajar dengan penuh semangat.
***
Ketika waktu istirahat tiba, di ruang guru tampak Bu Aida guru kelas V, Bu Helvy petugas perpustakaan, Pak Kelvin guru kelas VI, dan Pak Fazril petugas TU sedang berbincang-bincang mengenai perubahan 360 derajat dari Bu Afrin yang tadinya jutek menjadi lebih friendly.

“Eh, kalian merasa sangat heran, nggak dengan perubahan drastisnya si Miss J? Malahan dia sempat meminta dicarikan lagu Eternal Flame segala sama Bu Aulia, padahal, Bu Aulia sempat berpikir kalau dia bakal kena teguran kemarin. Jangan-jangan dia sudah menemukan tambatan hati dan akan segera menikah.” Bu Aida mulai buka suara.

“Wah masa sih? Pria malang mana nih yang kecantol sama dia?” Kening Bu Helvy berkerut, mencoba menebak hal yang telah membuat sikap Miss J itu berubah.

“Syukur, deh, kalau benar dia akan segera menikah, alhamdulillah ikut senang. Akhir-akhir ini, terasa oleh kita, kan, di sekolah ini jadi aman, jarang ada yang marah-marah apalagi sampai menegur hanya karena kesalahan sedikit, setidaknya hal ini bisa membawa perubahan yang positif.” Pak Kelvin menimpali.

“Iya benar, dan alhamdulillah dia jadi sering membawa makanan dari rumahnya, kenyang deh. Ini perut berasa makin melar,” ujar Pak Fazril sambil menepuk-nepuk perutnya yang tampak semakin membuncit itu.

Perbincangan mereka terhenti karena terdengar bunyi bel tanda masuk, masing-masing pun kembali melaksanakan tugasnya dan berkutat dengan pekerjaan mereka.
***
Esoknya ketika kegiatan pembelajaran usai dan waktu pulang tiba, guru-guru dikumpulkan di ruang kepala sekolah karena ada rapat mendadak, katanya sih Bu Afrin akan mengumumkan sesuatu. Duh ..., ada apa, ya? Jangan-jangan ada salah satu guru yang akan dikeluarkan lagi seperti pak Dharma, pikirku.

Setelah semua berkumpul di ruang kepala sekolah, Bu Afrin memulai pembicaraan dengan wajah berseri-seri sambil sesekali menatap ke arah kepala sekolah, dan beliau pun ikut tersenyum.

Guru-guru dibuat menjadi harap-harap cemas dan perasaan mereka pun campur aduk, termasuk diriku. Gelisah, berusaha menerka apa yang akan terjadi atau menimpa salah satu dari kami.

“Guru-guru yang terhormat, maaf saya telah mengganggu waktu pulang Anda semua, saya tahu Anda semua pasti bertanya-tanya mengapa hari ini saya kumpulkan di sini.” Bu Afrin berhenti sejenak kemudian melanjutkan bicaranya, “sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas sikap saya yang kurang menyenangkan dan kurang berkenan selama saya mengajar disini sehingga membuat suasana di sekolah ini tidak nyaman. Insya Allah mulai dari sekarang dan selamanya saya akan mengubah sikap saya menjadi lebih baik lagi sehingga kita bisa saling bekerja sama membangun sekolah ini ke arah kemajuan, dan saya akan berusaha menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Jadi, rekan-rekan saja tercinta, mari kita sama-sama menjadikan mengajar sebagai sarana menuju pintu akhirat. Oh ya, ..., mengenai Pak Dharma, saya sudah memohon maaf dan beliau sudah dipanggil kembali oleh pihak yayasan untuk mengajar lagi disini dan SK-nya sudah saya pegang. Alhamdulillah beliau mau bergabung kembali bersama kita. Mulai besok beliau akan mengajar lagi.”

Semua guru yang mendengarnya mengucapkan hamdallah bersama-sama dengan wajah yang berseri-seri, aku pun merasa lega.

Kemudian terdengar Bu Afrin bersuara kembali. “Satu hal lagi yang akan saya sampaikan pada pertemuan hari ini rekan-rekan guru tercinta, alhamdulillah saya sudah menemukan seseorang yang Insya Allah akan menjadi imam saya. Rencananya kami akan menikah bulan depan.”

Alhamdulillah Bu, selamat ya, tapi kapan dong Ibu mengenalkan calon suaminya ke sini?” tanyaku to the point, sementara teman-teman guruku serempak melebarkan pandangan ke arahku. Mungkin mereka khawatir, pertanyaanku barusan, akan membuat Miss J tersinggung dan marah. Aku menundukkan wajah menyadari ucapanku tsdi, yang mungkin akan membuat situasi pertemuan siang ini menjadi buruk.

Saat kulirik ke arah Bu Afrin, dia tengah tersenyum simpul dan menoleh ke arah pria yang duduk di sampingnya, dan pria yang ada di sebelahnya pun tersenyum penuh arti. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Beliau ada disini, kok, hadir di rapat ini. Kenalkan, bapak kepala sekolah kita inilah calon suami saya.”

Aku dan semua guru yang hadir di ruangan itu dibuat kaget dengan ucapan Bu Afrin. Namun, semua merasa lega dan mengucapkan syukur. Semoga SD Pelangi akan lebih maju dengan adanya pernikahan ini, karena pihak yayasan dan kepala sekolah akan menjadi semakin erat hubungannya. Aku dan rekan-rekan pun satu-persatu mengucapkan selamat kepada Bu Afrin dan Pak Widodo, kepala sekolah yang memang di usianya hampir kepala empat itu belum menikah juga. Mereka pasangan yang serasi. Terjawab sudah misteri perubahan sikap Bu Afrin dan yang paling membuat kami merasa lega, selamanya tidak akan ada lagi Miss Jutek di sekolah ini.
***
Baca cerpen lainnya: Klik

#BelajarBersamaBisa
Diubah oleh suciasdhan 08-09-2020 07:00
rainydwi
trifatoyah
embunsuci
embunsuci dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.