- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#493
Jilid 15 [Part 349]
Spoiler for :
Setelah memandangi pertempuran itu sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia menghindar untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali. Demikianlah, kedua orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk pikuk pertempuran.
Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju. Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya.
Ia dapat berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf.
Inilah yang mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya.
Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara. Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri.
Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih.
Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman. Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan. Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh.
Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri kesakitan.
DI pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan bekepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat Titis Anganten menjadi lumat.
Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi seperti perempuan.
Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut.
Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng Pandan Alas,
Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten.
Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat Candi Gedong Sanga.
Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian, kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya.
Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.
Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam satu loncatan ia menerkam lawannya.
Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang keras.
Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya.
Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya. Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan.
Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju. Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya.
Ia dapat berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf.
Inilah yang mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya.
Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara. Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri.
Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih.
Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman. Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan. Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh.
Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri kesakitan.
DI pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan bekepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat Titis Anganten menjadi lumat.
Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi seperti perempuan.
Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut.
Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng Pandan Alas,
Quote:
“Apakah aku aneh?”
Pasingsingan menggeram, jawabnya,
“Kenapa kau hadir juga di sini?”
“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan Alas.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram.
“Jangan banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”
“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.
Pasingsingan menggeram, jawabnya,
“Kenapa kau hadir juga di sini?”
“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan Alas.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram.
“Jangan banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”
“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.
Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten.
Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat Candi Gedong Sanga.
Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian, kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya.
Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.
Quote:
“Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.
“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan.
“Aku sedang berbangga.”
“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Jangan mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi kesulitan mereka.
Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?”
Pasingsingan menjadi marah.
“Lihat, sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.
“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.
“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan.
“Aku sedang berbangga.”
“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Jangan mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi kesulitan mereka.
Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?”
Pasingsingan menjadi marah.
“Lihat, sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.
“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.
Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam satu loncatan ia menerkam lawannya.
Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang keras.
Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya.
Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya. Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas