- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#487
Jilid 15 [Part 343]
Spoiler for :
Quote:
"SIAPAKAH kalian?” tanya salah seorang daripada para pengawal itu.
“Dari Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.
“Dari Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.
Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus mengatakan dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali,
Quote:
“Siapa?”
Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut,
“Kami adalah utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak bermaksud jahat?”
Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab,
“Kau dapat bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu mengenai daerahnya.”
“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.
“Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.
“Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut,
“Kami adalah utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah pesan itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak bermaksud jahat?”
Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab,
“Kau dapat bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu mengenai daerahnya.”
“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.
“Kami hanya bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.
“Tombak ini justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Para pengawal itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang sakti, berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya bulan, maka percayalah mereka bahwa tombak itulah yang bernama Kyai Bancak sebagai pertanda kebesaran Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia mendesak,
Quote:
“Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini. Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar utusan Angger Arya Salaka.”
Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera salah seorang di antara mereka berkata,
Quote:
“Bawalah orang-orang ini menghadap Ki Ageng.”
Kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Jangan berbuat hal-hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku akan taat kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke Banyubiru.”
Kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Jangan berbuat hal-hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku akan taat kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke Banyubiru.”
Kemudian dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak, Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa langsung ke Pangrantunan. Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok yang sedang, tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu berada. Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya seseorang langsung menyampaikan berita tentang kehadiran tiga orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Quote:
“Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng.
“Belum kami ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.
“Hanya seorang, yang dua orang sama sekali tidak,” jawab pengawal itu.
Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya,
“Apakah aku yang menerimanya?”
“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.
“Belum kami ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.
“Hanya seorang, yang dua orang sama sekali tidak,” jawab pengawal itu.
Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya,
“Apakah aku yang menerimanya?”
“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.
Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan melihat Arya, merekapun menjadi terkejut. Dengan serta merta Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya,
Quote:
“Kau Arya.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengangguk hormat.
“Ya, Eyang,” jawab Arya.
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengangguk hormat.
“Ya, Eyang,” jawab Arya.
Dengan pertanyaan yang melingkar-lingkar di dalam rongga dada, orang tua itu mempersilahkan tamunya bertiga untuk duduk di atas tikar, di bawah cahaya obor yang samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu bergolak.
Quote:
“Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata kakeknya perlahan-lahan.
“Apakah kau mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-orang dari golongan hitam itu selesai?”
“Apakah kau mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan orang-orang dari golongan hitam itu selesai?”
ARYA Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.
Quote:
“Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya Arya.
Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan kewajiban kami.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata,
“Dapatkah aku ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“aku tidak tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan kewajiban kami.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata,
“Dapatkah aku ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun kesegaran dan kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan bahwa Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan penuh dengan pengalaman hidup. Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat mengerti maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh persoalan-persoalan ia bertanya,
Quote:
“Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya ia minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas, karena ia merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata. Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya ia menganggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh diluar pondok itu.
Quote:
“Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.
Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata,
“Ki Ageng, laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk- angguk ia berkata,
“Di manakah Lembu Sora dan Sawung Sariti?”
“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata,
“Ki Ageng, laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk- angguk ia berkata,
“Di manakah Lembu Sora dan Sawung Sariti?”
“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Sebelum orang itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka yang bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa perasaan mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka. Kedua orang itu terkejut sekali ketika mereka melihat Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di dalam ruangan itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana bertanya,
Quote:
“Bagaimana dengan laskarmu?”
Lembu Sora menggeram.
“Terpaksa aku tarik kemari,” jawabnya.
“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar,
“Ada apa anak itu kesini?”
“Duduklah.”Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan.
“Biarlah kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
Namun mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.
“Aku sedang bertanya kepadanya. “
Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya.
Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya, namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.
Lembu Sora menggeram.
“Terpaksa aku tarik kemari,” jawabnya.
“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar,
“Ada apa anak itu kesini?”
“Duduklah.”Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan.
“Biarlah kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
Namun mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.
“Aku sedang bertanya kepadanya. “
Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya.
Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya, namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.
Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya. Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki Lembu Sora berkata,
Quote:
“Jangan ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak perlu bertanya lagi. Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat didalam hati, pasti akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan golongan hitam?”
Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa kelam warna itu. Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju pendek sangat sederhana.
Quote:
“Hmm….” Terdengar ia menggeram. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara berkata dengan sarehnya.
“Ki Ageng Lembu Sora. Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami. Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati. Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng, jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah ? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh hinaan. Katanya,
“Sebuah dongeng yang bagus.”
“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara.
“Sebuah dongeng yang bagus.”
“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya.
“Menuntut balas ? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa ? Kalian benar-benar dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah buat golongan hitam itu.”
“Ki Ageng Lembu Sora. Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami. Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati. Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng, jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak. Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia berhati indah ? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan penuh hinaan. Katanya,
“Sebuah dongeng yang bagus.”
“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara.
“Sebuah dongeng yang bagus.”
“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya.
“Menuntut balas ? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa ? Kalian benar-benar dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah buat golongan hitam itu.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas