Jika boleh saya katakan, cerita ke-14: Bayawak terlalu banyak menyita energi saat menulisnya😫.
Alhasil, sebelum saya dapat memetakan arc Ki Kala dengan sempurna, saya akan sedikit beralih pada cerita mengenai tempat Bang Herul dulu, sebuah pabrik tekstil besar di kawasan CM.
Setelah kejadian di mess tempo hari, Bang Herul memutuskan untuk tidak lagi menginap disana.
Meski lelah, ia akan selalu pulang ke rumahnya yang berjarak 90 menit dari tempat ia bekerja.
Mungkin hanya kebetulan, setelah penampakan itu, gangguan demi gangguan terjadi lebih sering.
Dari mulai staf produksi wanita yang mengaku mendengar suara siulan dari arah belakang gedung.
Mesin mati secara tiba-tiba, lalu hidup lagi & mengeluarkan bau amis yang samar.
Keran air yang tiba-tiba terbuka, namun tidak ada siapapun disana.
Lalu terakhir Kang Iwan seorang office boy menemukan bungkusan aneh yang letaknya seperti ditanam di belakang gedung.
Bungkusan itu berisi kendi dengan potongan jari manusia didalamnya, lilitan kain putih berisi tanah merah, menyan didalam plastik kecil, dan kembang 7 rupa.
Sontak kang Iwan segera melaporkan temuannya tersebut pada pak Pras.
"Ini udah ke ranah mistis pak, kita perlu orang pintar."
Kata Kang Iwan.
"Saya gak percaya tahayul, mungkin itu ada orang iseng aja. Kamu gak usah ribet. Tinggal buang kan beres. Sudah sana."
Jawaban pak Pras membuatnya tidak puas.
Kang Iwan takut jika suatu saat, musibah datang ke tempat ini.
Dengan lesu ia keluar dari ruangan atasannya, sambil menggenggam bungkusan yang ia temukan berniat untuk membuangnya begitu saja.
Saat tiba di luar gedung dekat pembuangan sampah ia bertemu dengan Bang Herul & menceritakan semuanya.
"Malam nanti kenapa kita gak coba cari tahu aja, wan?"
Usul Bang Herul.
"Apa gak bahaya Bang?"
Kang Iwan ragu.
"Asal yakin terus jangan putus baca ayat suci. Pasti aman. Kalo kita biarin kayak gini terus bisa-bisa lebih bahaya lagi. Kita musnahin sekalian."
Bang Herul meyakinkannya.
"Berdua aja nih tapi?"
Rupanya Kang Iwan mulai terbujuk.
"Nggak lah, ajak pak Aan sekalian. Saya yakin dia pasti bisa bantu."
Jawabnya.
"Okelah, jam 11 ya kalo gitu."
Sanggup kang Iwan yang lalu menyerahkan bingkisan itu & pergi.
~oOo~
Mataharipun terbenam, mengakhiri hari ini dengan tenang. Sayangnya hal itu tidak berlaku pada Kang Iwan, sejujurnya ia takut, namun rasa penasaran & tekadnya menguatkan ia malam itu.
Setibanya di pabrik, terlihat Bang Herul & Pak Aan sedang bercengkrama seperti biasa di pos satpam.
"Jadi nih wan?"
Tanya pak Aan.
"Kalo gak jadi saya gak mungkin kesini pak. Ini tempat saya nyari duit satu-satunya, kalo kenapa-kenapa, saya juga nanti yang kelabakan."
Keluh Kang Iwan padanya.
"Malah curhat, yaudah ayo ke belakang. Ke tempat kamu tadi nemu itu, Wan."
Ajak Bang Herul.
"Yaudah ayo, saya tunjukin."
Balasnya sambil memimpin jalan.
Tempat bingkisan itu ditemukan berada diantara jalan setapak yang menghubungkan antara gedung utama dengan mess satpam.
Meskipun jalan setapak itu dibeton, namun pinggirnya masihlah tanah merah. Di tanah merah itulah ditanami rumput.
"Disini pak."
Tunjuk kang Iwan pada tanah yang terlihat digali.
"Terus gimana nih?"
Tanya Bang Herul.
"Bakar aja dulu menyannya. Nanti yang punya pasti muncul biasanya. Jangan takut kalian."
Pak Aan menjawab dengan duduk bersila & membuka bingkisan itu.
Bang Herul & Kang Iwan mengikuti apa yang pak Aan lakukan. Mereka duduk bersila mengelilingi tanah yang tergali.
"Pak pernah ngelmu ya?"
Pertanyaan kang Iwan memecah keheningan.
"Ngga juga, saya cuma yakin sama Tuhan. Manusia itu lebih mulia dibanding makhluk lain. Makanya gak usah takut."
Jawab pak Aan.
"Lah? Berarti kita ini cuma modal nekat aja nih?"
Bang Herul mengkonfirmasi.
"Kan situ Bang, yang punya ide."
Sahut kang Iwan.
"Udah udah, menyannya udah dibakar. Kalian baca-baca ayat suci, siap-siap aja."
Pak Aan memberi perintah.
Suasana hening menyelimuti mereka seketika. Suara angin yang berhembus semakin terdengar seolah berbisik.
Masing-masing hanya fokus pada ayat suci yang bisa mereka lafalkan.
5 menit
10 menit
15 menit berlalu
Tidak ada apapun yang terjadi.
"Jangan berhenti!"
Sergah pak Aan saat melihat gelagat kang Iwan.
Kang Iwan yang baru saja hendak berdiri mengurungkan niatnya dan kembali duduk bersila.
'qoyyum...
...naum...
...fahum...'
Suara tambahan tiba-tiba terdengar diantara mereka, bukan satu melainkan banyak suara, dan suara-suara itu seperti mengikuti lantunan ayat suci yang sedari tadi mereka baca.
Dalam keadaan panik, kang Iwan malah mempercepat bacaan ayat sucinya & membuat ia malah tak bisa menyelesaikan lafalannya sendiri.
Hal sama juga terjadi pada Bang Herul.
Pak Aan menepuk bahu mereka berdua tanpa menghentikan bibirnya yang sedari tadi masih membaca ayat suci tanpa putus.
Ia seperti memberi perintah agar mereka tenang & fokus.
Lalu tiba-tiba mata pak Aan melotot kaget menatap lurus ke arah mess yang berada belakang Bang Herul & Kang Iwan.
"A..ada ya.. yang d..da... datang ya pak?"
Kang Iwan terbata ketakutan saat melihat ekspresi pak Aan dihadapannya.
Pak Aan hanya memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk didepan bibirnya.
Melihat gelagat itu, Bang Herul malah fokus dengan bacaannya, serta kini ia dapat menyelesaikan lafalannya dengan baik.
Saat Bang Herul dapat menyelesaikan lafalan itu berkali-kali, wajahnya berubah tegas, keberanian tampaknya terkumpul di dadanya.
Namun pak Aan menggeleng kepala, seolah melarang agar Bang Herul tidak melakukan apa yang ia maksudkan.
Namun sayangnya tekad Bang Herul sudah bulat. Ia seperti menyimpan dendam pada apapun yang ada di belakangnya kini.
Tanpa sedikitpun mengehentikan lafalannya, Bang Herul menoleh ke belakang.
Terlihat beberapa wanita sedang duduk memakai kebaya berwarna kuning, merah & hitam berjejer menyamping. Rambut mereka disanggul dengan rapi. Selendangnya menari tertiup angin. Mulut mereka seperti mengikuti lantunan ayat suci.
Namun apabila didengar lebih seksama, lantunan yang mereka baca tidak sampai tuntas. Mereka akan memotong di pertengahan ayat & kembali keawal untuk mengulang hal yang sama.
Yang membuat siapapun bergidik ngeri adalah mata mereka hanya terlihat berwarna putih seutuhnya. Mata itu menyala kontras dengan gelapnya malam di sekitar.
Masing-masing dari mereka juga membawa kendi dengan ukuran yang sama.
Anehnya kendi-kendi itu mereka pegang seperti menimang bayi.
Melihat pemandangan itu Bang Herul mulai ketakutan, seiring dengan kacaunya lantunan ayat suci miliknya, wajah wanita-wanita itu berubah menyeramkan.
Mereka memperlihatkan luka di berbagai tempat. Dahi, leher, pipi, bahu, dari luka-luka itu mengalir darah dengan bau amis yang busuk menusuk hidung.
Melihat semuanya mulai tidak terkendali, pak Aan dengan cepat melemparkan bingkisan kembang 7 rupa ke arah mereka.
Kembang-kembang itu berhamburan tertiup angin & jatuh berserakan di tempat dimana wanita-wanita itu duduk. Setiap kembang yang jatuh, satu wanita menghilang. Hingga kesemuanya lenyap dari pandangan tanpa meninggalkan apapun.