- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#482
Jilid 15 [Part 340]
Spoiler for :
"DEMIKIANLAH akhirnya pertempuran tak dapat dihindari. Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian, riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu."
"Wulungan dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan, namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu."
"Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa orang itu sama sekali tidak kebal dari senjata."
"Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itupun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya."
“Gila, gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka."
"Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik. Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita, namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak, maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup."
"Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku ini."
"Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang. Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan."
"Setiap Bugel Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran itupun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri mereka masing-masing."
"Orang dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran."
"Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar. Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula. "
"DEMIKIANLAH pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia."
"Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana. Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun, Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu."
Jaladri mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya. Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan,
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab,
Ketika Penjawi berhenti berceritera, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang. Sesaat kemudian Penjawi meneruskan,
Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru.
Berkali-kali terngiang di telinga mereka,
"Wulungan dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan, namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu."
"Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa orang itu sama sekali tidak kebal dari senjata."
"Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itupun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya."
“Gila, gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka."
"Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik. Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita, namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak, maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup."
"Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku ini."
"Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang. Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan."
"Setiap Bugel Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran itupun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri mereka masing-masing."
"Orang dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran."
"Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar. Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula. "
"DEMIKIANLAH pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia."
"Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana. Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun, Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu."
Jaladri mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya. Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan,
Quote:
“Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab,
Quote:
“Aku tidak mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya. Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi.
“Gila….” desis Wanamerta.
“Ya…”Penjawi meneruskan,
“Karena itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi.
“Gila….” desis Wanamerta.
“Ya…”Penjawi meneruskan,
“Karena itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”
Ketika Penjawi berhenti berceritera, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang. Sesaat kemudian Penjawi meneruskan,
Quote:
“Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itupun tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada. Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin banyak."
"Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
"Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru.
Berkali-kali terngiang di telinga mereka,
Quote:
“Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambah-tambah.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas