- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#481
Jilid 15 [Part 339]
Spoiler for :
JALADRI diam sejenak. Kemudian meneruskan ceriteranya,
Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut. Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,
JALADRI meneruskan ceriteranya,
Quote:
“Melihat perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima kasih kepadanya. Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-masing.”
Quote:
“Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.
Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa.
“Kiai…” jawab Jaladri,
“Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak sabar.
“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….”
Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa.
“Kiai…” jawab Jaladri,
“Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak sabar.
“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….”
Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut. Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,
Quote:
“Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, Apa kerjamu di sini Jaladri?”
"Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata, Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai.Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, Kau biarkan anakmu sendiri? Tak ada pilihan lain jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas. Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu? jawab orang asing itu. Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya."
"Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata, Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai.Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, Kau biarkan anakmu sendiri? Tak ada pilihan lain jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas. Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu? jawab orang asing itu. Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya."
Quote:
"Belum cukup, jawab orang asing itu. Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan- jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan, -Soalnya terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-kesalahannya."
"Kalau begitu… orang asing itu menjawab, biarlah aku ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu."
"Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. Kau… terdengar suaranya dalam. Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat."
"Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, Terimakasih, terima kasih."
"Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka. -Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu.- Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris. Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah perubahan di wajahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian. Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat. Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu, kelompok demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan."
"Kalau begitu… orang asing itu menjawab, biarlah aku ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu."
"Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. Kau… terdengar suaranya dalam. Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat."
"Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, Terimakasih, terima kasih."
"Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka. -Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu.- Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris. Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah perubahan di wajahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian. Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat. Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu, kelompok demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan."
JALADRI meneruskan ceriteranya,
Quote:
“Akhirnya Ki Ageng itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata, Kalau kau terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki.- Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok mereka. Aku bagaimana?”
"Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata- katanya, Kaupun harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk dalam kelompok kecilmu. Aku menundukkan kepalaku, karena malu. Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh tokoh golongan hitam. Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu kedalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa."
"Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata- katanya, Kaupun harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk dalam kelompok kecilmu. Aku menundukkan kepalaku, karena malu. Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh tokoh golongan hitam. Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu kedalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa."
Quote:
“Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.
“Ya,” sahut Jaladri.
“Ya,” sahut Jaladri.
Quote:
“Melihat mereka berdua Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya, Wulungan, lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu. Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga. Orang itu mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang sama, bahkan berhari-hari.- Wulungan mengangguk sambil menjawab, -Baik Ki Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku. Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu. Bagus jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku Ki Ageng itu berkata, Jaladri. Aku harus melayani musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak, tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan musuhmu pagi tadi. Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa Wulungan agak bimbang menerima titipan itu. Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, Jangan curigai aku. Aku tak akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di dalam kerjasama antara kita dan laskarmu. Wulungan tersenyum. Jawabnya, Aku mempercayaimu. Aku kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti pimpinan mereka. Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji, ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita. Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar perang, atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran. Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku berjalan orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui apakah mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini, namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan, kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa. Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku, -Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan hancur, namun besok di atasnya akan dapat kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah putra-putra terbaik dari tanah ini. Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk tanahnya. Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri. Orang-orang hitam itu berloncatan sambil Cumiik-cumik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada saat yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak- anak Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran diudara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata mereka menjadi gulungan perisai yang sangat rapat."
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas