- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#480
Jilid 15 [Part 338]
Spoiler for :
RARA WILIS berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil.
Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di Banyubiru. Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan yang mereka perlukan.
Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu. Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah perdikan Banyubiru. Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu.
Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman. Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.
Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum yang hangat.
Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua orang itu.
Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal.
Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan Wirasaba. Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat. Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit.
PENJAWI segera mulai ceritanya,
Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.
Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di Banyubiru. Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan yang mereka perlukan.
Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu. Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah perdikan Banyubiru. Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu.
Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman. Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.
Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum yang hangat.
Quote:
“Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.
“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,” sambung Wanamerta.
“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,” sambung Wanamerta.
Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua orang itu.
Quote:
“Perjalanan yang menyenangkan.”
Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan. Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil menyebut,
“Cemasnya yang tak terduga-duga.” Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.
“Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,” jawab Penjawi.
“Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu banyak tertinggal.”
Jaladri tertawa, sambungnya,
“Urutan yang bijaksana,”
Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan. Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil menyebut,
“Cemasnya yang tak terduga-duga.” Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.
“Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,” jawab Penjawi.
“Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu banyak tertinggal.”
Jaladri tertawa, sambungnya,
“Urutan yang bijaksana,”
Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal.
Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan Wirasaba. Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat. Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Quote:
“Nah…” kata Arya Salaka kemudian,
“Mulailah dengan kisah cemasmu.”
Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata,
“Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada kalian.”
“Mulailah dengan kisah cemasmu.”
Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata,
“Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada kalian.”
Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit.
PENJAWI segera mulai ceritanya,
Quote:
“Lusa aku dan Adi Jaladri berangkat ke Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di Sumber Panas. Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi Jaladri agak lebih sulit.”
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya,
“Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata,
“Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.”
Jaladri berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah yang mengerikan.”
“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri.
“Dengan mata yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam raga ini.”
“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu?" bertanya Sendang Papat tidak sabar.
“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri.
“Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula – Kenalkah kau kepadaku?”
“Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri,
“Bukan karena aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”
“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
“Apakah kau dibiarkan pergi?”
Jaladri tertawa.
“Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di belakangku. -Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak. Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat menyelamatkan aku.”
“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.
“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng.
“Jangan teka-teki.”
“He…” jawab Jaladri,
“Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya,
“Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata,
“Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.”
Jaladri berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah yang mengerikan.”
“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri.
“Dengan mata yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam raga ini.”
“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu?" bertanya Sendang Papat tidak sabar.
“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri.
“Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula – Kenalkah kau kepadaku?”
“Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri,
“Bukan karena aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”
“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
“Apakah kau dibiarkan pergi?”
Jaladri tertawa.
“Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di belakangku. -Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak. Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat menyelamatkan aku.”
“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.
“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng.
“Jangan teka-teki.”
“He…” jawab Jaladri,
“Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.
Quote:
“Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian.
Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan,
“Bugel Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. -Jangan ganggu aku- ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring. -Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu.- Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Demikianlah akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain."
"Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu.”
Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan,
“Bugel Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. -Jangan ganggu aku- ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring. -Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu.- Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Demikianlah akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain."
"Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas