- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#478
Jilid 15 [Part 336]
Spoiler for :
WANAMERTA kembali melanjutkan kata-katanya,
Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.
Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta. Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan, “Sontani. Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”
Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya. Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.
Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang bergolak di dada suaminya.
Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.
Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata,
Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu. Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota.
Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora…? Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak.
Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata,
Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan,
Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya masih gelisah.
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.
Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata. Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat tangannya pula. Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir.
Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran. Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk.
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun menjawab,
Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan. Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.
Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya.
Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya. Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri.
Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata,
Quote:
“Kau agaknya telah terjerumus ke dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda serupa itu.”
Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.
Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta. Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan, “Sontani. Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”
Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya. Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.
Quote:
“Kiai…” katanya kemudian,
“Aku akan pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum mati.”
Wanamerta menggeleng. Jawabnya,
“Percayalah Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata,
“Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”
“Aku akan pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum mati.”
Wanamerta menggeleng. Jawabnya,
“Percayalah Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata,
“Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”
Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang bergolak di dada suaminya.
Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.
Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata,
Quote:
“Kiai, laskar di perbatasan bergerak mendekati kota.”
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu ia bertanya,
“Semua…?”
“Tidak Kiai,” jawab orang itu.
“Hanya sebagian.”
“Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu ia bertanya,
“Semua…?”
“Tidak Kiai,” jawab orang itu.
“Hanya sebagian.”
“Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.
Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu. Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota.
Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora…? Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak.
Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata,
Quote:
“Gardu kedua telah kosong.”
“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu.
“Kenapa?”
“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.
TIBA-TIBA salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata,
“Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan Arya Salaka.”
“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu."
"Pimpinan gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.”
“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu.
“Kenapa?”
“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.
TIBA-TIBA salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata,
“Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan Arya Salaka.”
“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu."
"Pimpinan gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.”
Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan,
Quote:
“Aku menjadi jaminan bagi kalian. Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”
Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya masih gelisah.
Quote:
“Baiklah…” katanya,
“Mudah-mudahan katamu benar.”
“Mudah-mudahan katamu benar.”
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.
Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Demikianlah ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata. Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat tangannya pula. Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir.
Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran. Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk.
Quote:
“Tuan…” kata pengawal itu dengan hormatnya,
“Aku menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Haruskah aku pergi ke Pamingit?”
Pengawal itu menjadi heran, jawabnya,
“Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
“Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.
“Aku menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Haruskah aku pergi ke Pamingit?”
Pengawal itu menjadi heran, jawabnya,
“Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
“Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
Quote:
“Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”
“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.
“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun menjawab,
Quote:
“Ya, Tuan.” Suaranya gemetar.
Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan. Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.
Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya.
Quote:
“Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.”
Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya. Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri.
Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata,
Quote:
“Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke Pamingit?”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas