- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#472
Jilid 13 [Part 331]
Spoiler for :
KATA-KATA pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju selangkah.
Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya berkata,
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi. Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya,
“Gila. Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.”
Namun kepada Lembu Sora ia menjawab,
Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti guruh,
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia melangkah selangkah maju. Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng Lembu Sora,
Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu.
Dalam keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan,
Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia berteriak keras-keras,
Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama sekali tidak mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian,
Quote:
“Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.
“Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.
“Bohong,” bantah Arya.
Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu.
“Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari, bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.
“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya.
Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di kerongkongan.
“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora,
“Apa sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”
“Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di kerongkongannya.
“Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.
“Bohong,” bantah Arya.
Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu.
“Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari, bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.
“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya.
Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di kerongkongan.
“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora,
“Apa sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua kalinya pagi tadi.”
“Bohong!” sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di kerongkongannya.
Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya berkata,
Quote:
“Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan terkutuk sampai seribu keturunan.”
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi. Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,
Quote:
“Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun orang itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang- orang golongan hitam menduduki Pamingit. Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya,
“Gila. Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.”
Namun kepada Lembu Sora ia menjawab,
Quote:
“Kau terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini dengan pasukannya.”
“Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam tubuh golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya. Katanya,
“Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”
“Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam tubuh golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya. Katanya,
“Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”
Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti guruh,
Quote:
“Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini, kenapa demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia melangkah selangkah maju. Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng Lembu Sora,
Quote:
“Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada- ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas tanah Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat pasukan dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan perselisihan yang ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan senang hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa Pening? Siapa? Mahesa Jenar kah itu…?”
“Diam…!” bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus, sambungnya,
“Kau takut melihat kenyataan itu.”
“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora,
“Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”
“HUH,” Mahesa Jenar menyahut,
“Katakan kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”
“Diam…!” bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus, sambungnya,
“Kau takut melihat kenyataan itu.”
“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora,
“Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”
“HUH,” Mahesa Jenar menyahut,
“Katakan kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng Lembu Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”
Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu.
Dalam keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan,
Quote:
“Ketahuilah Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda. Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih dan Uling Kuning? Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu sendiri.”
Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
Quote:
“Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang golongan hitam mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil ke depan melawan mereka. Itukah yang kau tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia berteriak keras-keras,
Quote:
“Cukup. Cukup…! Kebohongan yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk menumpas kalian di sini sekarang juga. Baru aku akan tenang kembali ke Pamingit untuk memusnahkan orang-orang dari golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama sekali tidak mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian,
Quote:
“Lembu Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu di sini, maka aku kira keadaan tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”
“Apa yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?” bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut,
“Empat orang ini adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan kota.”
“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora dengan sombongnya.
“Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”
“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.
“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar suara ribut.
“Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras.
“Laskar diperbatasan mulai bergerak?” Seseorang berlari-lari datang kepadanya.
Dengan hormatnya ia berkata,
“Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”
“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.
“Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Mereka mencoba untuk memasuki halaman.”
“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.
“Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.
“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening.
“Bunuh mereka yang memaksa.”
“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan.
“Kau jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau katakan. Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai kedaulatanmu.”
“Apa yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?” bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut,
“Empat orang ini adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan kota.”
“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora dengan sombongnya.
“Berarti atau tidak berarti, namun itu telah mengurangi waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”
“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.
“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya.
Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar suara ribut.
“Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras.
“Laskar diperbatasan mulai bergerak?” Seseorang berlari-lari datang kepadanya.
Dengan hormatnya ia berkata,
“Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”
“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.
“Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Mereka mencoba untuk memasuki halaman.”
“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.
“Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.
“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening.
“Bunuh mereka yang memaksa.”
“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan.
“Kau jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang kau katakan. Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai kedaulatanmu.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas