- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2372
The Proof_Part 1
Ara nggak menjawab telepon gue sama sekali. Rumahnya pun kosong dan sepi. Kayak nggak ada orang di dalamnya. Gue sebenernya bisa aja masuk ke dalam rumahnya Ara walaupun nggak ada orang.
Gue tau dimana mereka simpen kunci cadangan just in case pada lupa bawa kunci. Tapi ya nggak begitu ceritanya. Mungkin bisa begitu kalau misalnya gue udah menetap di sini, saat nanti gue sudah resmi meminang Ara. Haha. Hanya berpikir kalau gue akan meminang seorang perempuan untuk menjadi pendamping hidup gue aja, rasanya cukup membuat adrenaline gue meningkat. Soalnya, ini untuk pertama dan terakhir…
And… There’s no turnin' back.
Tanpa terasa, satu jam sudah berlalu. Ara masih juga tak kunjung kembali. Dia pun tak kunjung merespon satu pun chat gue, entah kenapa. Gue bingung, dia kemana… Gue nggak tau kenapa, hati gue pun mendadak jadi kalut menunggu begini. Hati gue yang beberapa waktu lalu mantap untuk segera meminang Ara mendadak menjadi bimbang nggak karuan.
Gue terpikir momen dimana gue pernah menunggu Lira di depan kostan dia. Dan di waktu bersamaan gue berbohong ke Emi kalau saat itu gue akan menembak Lira. Ya, itu kesalahan gue. Gue punya niatan meninggalkan Emi dengan diam-diam punya hubungan di belakang dengan Lira. Hingga akhirnya gue meninggalkan Emi sepenuhnya saat itu. Meninggalkan Emi hanya untuk sadar kalau Emi sangat berarti di hidup gue.
Kini, gue kembali menunggu cewek lain di depan rumah mereka. Tapi kali ini, gue nggak perlu berbohong sama Emi kalau saat ini gue ada di rumah Ara. Gue nggak perlu susah payah mencari alasan untuk nggak menemui Emi karena saat ini, gue udah nggak sama Emi lagi. Bukan karena gue sudah meninggalkan Emi seperti kejadian saat gue menunggu Lira dulu. Tetapi kali ini gue menunggu Ara karena Emi sudah meninggalkan gue. Dan saat ini, gue sangat sadar kalau Emi memang sangat berarti di hidup gue.
Tapi gue kayaknya nggak bisa mengejar dia kembali.
Memang nggak mudah untuk melupakan dia begitu aja. Walaupun Ara bisa mendistraksi pikiran gue sesaat untuk melupakan Emi ketika gue sedang bersamanya. Tetapi Emi nggak semudah itu untuk lepas dari pikiran gue sepenuhnya. Terlalu banyak memori yang kami tuliskan bersama.
Gue memang cowok bodoh yang menyianyiakan dia selama beberapa tahun ini karena mungkin gue terlalu mengganggap remeh dia. Gue terlalu percaya diri kalau gue dan Emi nggak akan pernah berpisah. Kalau cinta kami segitu kuatnya hingga kayaknya nggak akan ada yang bisa memisahkan kami. Buktinya kami yang seharusnya sudah saling mengenal sejak beberapa tahun sebelumnya, terus menerus dipertemukan kembali? Apa itu bukan bukti kalau Tuhan punya alasan untuk kami terus bersama?
Sebentar… Tetapi apa gerangan rahasia Tuhan lainnya ketika melihat kondisi kami saat ini? Apa Tuhan juga punya alasan untuk ini? Alasan atas perpisahan yang terjadi antara gue dan Emi diakibatkan oleh keluarga gue, bukan karena keinginan kita berdua. Apa alasan untuk semua yang terjadi saat ini?
Kalau gue kembali berpikir ke belakang atas semua yang pernah terjadi, gue memang orang yang jahat dan tidak tahu bagaimana untuk bersyukur. Mengapa demikian? Karena gue baru menyadari kalau ternyata Emi nggak pernah membuat gue menunggu seperti ini. Dia nggak pernah membuat kode-kode nggak jelas untuk gue pecahkan. Dia nggak pernah membuat gue menunggu kepastian dari dia. Dia nggak pernah membuat gue kebingungan sendiri. Karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu memberikan jawaban atas apapun segala permasalahan gue. Dia adalah bukti dari pernyataan ‘tempat untuk pulang’. Emi adalah tempat gue pulang, seharusnya. Tapi gue sendiri yang merusak semuanya. Hingga akhirnya dia lelah dan pergi meninggalkan gue, selamanya.
Gue bodoh, membiarkan Emi pergi dengan laki-laki lain. Gue bodoh, membiarkan Emi kembali ke laki-laki pertama yang pernah mengisi hati dia. Gue bener-bener bodoh karena nggak bisa ngelakuin apapun ketika gue melihat Emi bersama dia.
Persetan yang namanya temperamen. Bener kata Emi, sisi temperamental dan emosional gue ini emang sulit untuk dipahami. Ketika gue marah melihat Emi bersama dengan Fazli, bukannya gue coba mengejar dia, tetapi gue malah mundur dan memantapkan diri ke Ara. Gue lebih mementingkan kebahagiaan diri gue sendiri kalau gue itu harus bahagia dengan cewek yang sayang sama gue. Bukan cewek yang gue sayang. Biar apa? Ya biar gue bahagia lah! Tetapi gue nggak berpikir, apakah cewek yang sayang sama gue ini benar-benar bisa gue bahagiakan?
Pengalaman gue selama ini, semua cewek yang sayang sama gue pasti bisa membahagiakan gue. Karena saking sayangnya sama gue, mereka rela melakukan apapun untuk membahagiakan gue. Terus terjadi seperti itu sampai gue ketemu dengan Emi.
Emi adalah entitas yang berbeda. Emi terus berusaha membahagiakan gue bagaimanapun gue pernah menyakiti dia. Cewek ini tetap menyayangi gue dengan tulus walaupun gue pernah mengkhianati dia, berulang kali. Cewek ini tetap mempertahankan gue bagaimanapun gue pernah meninggalkan dia. Ya, dia adalah definisi cewek yang sangat menyayangi gue apa adanya.
Lalu pertanyaan gue, apakah selama ini Emi bahagia bersama gue? Apakah selama ini gue bisa membahagiakan cewek-cewek yang katanya sayang sama gue? Apakah selama ini Emi yang sangat gue sayang ini, sudah gue bahagiakan sebaik-baiknya? Dan apakah Emi justru bisa menemukan kebahagiaannya dengan Fazli, cowok yang pertama kali merasakan tulusnya rasa sayang Emi?
“Apa ini namanya Karma?” gumam gue.
“Karma apaan, Ja?” tanya seseorang yang kini udah ada di hadapan gue. Ada wangi parfum khas yang gue kenal.
“Ara?” Gue sedikit gugup dan kaget. Semoga ekspresi ini nggak terlalu kelihatan.
“Kamu kenapa ada di depan sini malem-malem begini?” Ara melihat jam di tangan kanannya. “Udah hampir jam 10 begini loh.” Ara membantu gue berdiri.
“Kok kamu pakai jam di tangan kanan sih?”
“Aku selalu pakai jam di tangan kanan, Ja. Kok kamu mendadak nanya begitu deh?”
“Nggak kok… Kamu itu selalu kayak aku. Kamu selalu pakai jam di tangan kiri. Liat aku!” Gue nunjukin jam tangan gue yang melingkar di tangan kiri gue.
Ara menatap gue tanpa berekspresi. Tetapi beberapa saat kemudian dia kembali tersenyum. “Ada yang perlu aku omongin sama kamu kayaknya…”
“Aku duluan. Ada hal penting yang harus—“
“Nggak, Ja. Kamu harus pulang sekarang.”
“Kenapa? Aku duduk di depan sini karena aku nungguin kamu. Ada hal yang penting banget harus segera aku omongin sama kamu, Ra.”
Ara ngedorong gue ke motor gue. “Not today, Ja. Udah malem. Lagipula aku mau pergi. Aku barusan abis mengantar teman kantor beli perlengkapan buat menginap. Soalnya aku mau ada business trip besok.”
“Business trip?”
“Iya, beberapa hari.”
“Kemana? Kapan kamu pulang? Kok kamu nggak cerita sama aku?”
“Ke Bali. Jadwalnya sih 4 hari. Semoga aja nggak molor deh. Nanti kita video call aja ya kalau ada yang mau diomongin.”
“Nggak bisa!” Suara gue agak meninggi.
Ara keliatan kebingungan. “Hmm. Yaudah kalau begitu… Hmm. Chat atau telepon biasa aja deh ceritanya?”
“Nggak bisa! Aku maunya ngomong langsung sama kamu. Ini penting banget soalnya. Makanya, sebentar aja kasih aku masuk. Kita ngomong di dalem.”
“Ija… Udah malem. Udah tau ibu kamu itu marah kan kalau kamu pulang malem dari rumah Emi. Kamu mau ibu kamu marah juga pas tau kamu pulang malem dari sini?”
“Nggak akan. Mama nggak akan marah kalau aku pulang malem dari rumah kamu.”
“Kenapa nggak akan marah?”
“Karena…” Gue nggak mau cerita ke dia gimana gue ribut sama ibu gue dan Dania sebelumnya. Yang ada dia nanti saklek nggak mau nerima lamaran gue.
“Udah malem ya, Ja. Oke? Sepulang dari Bali, kita ngomong ya.”
“Tapi…”
“Oke?” Ara nyalain motor gue.
“Okay then.” Kata gue lemas. Dia kemudian memakaikan helm ke kepala gue.
“Nanti aku bakalan dengerin semua yang mau kamu omongin kok… Janji dan itu pasti. Oke? Sekarang aku juga mau istirahat buat berangkat besok. Aku aja belum packing loh ini.”
“Mau aku bantu? Apa mau aku anterin ke bandara besok pagi?”
“Nggak usah dibantu dan aku nanti dijemput sama mobil kantor kok. Jadi nothing to worry about.”
Gue tersenyum ke Ara. “Oke deh kalau gitu. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam, Ija… Hati-hati ya.”
---
Tepat satu minggu setelah perdebatan hebat keluarga gue di rumah, Dania melahirkan. Semuanya repot. Oh maksud gue bukan semuanya, tetapi gue dan Mama repot. Bukan suaminya. Karena suaminya masih tetep bekerja selama Dania kontraksi menunggu bukaan sepanjang malam.
Suami yang ia banggakan itu nggak bisa mendampingi dia selama ia menjalani proses yang mempertaruhkan hidup dan matinya. Memang sih suaminya minta maaf karena nggak bisa dapat ijin dari kantornya. Katanya dia menyimpan jatah cuti melahirkan istrinya untuk mendampingi pasca melahirkan.
Serius? Sorry to say, kita ngomong jeleknya aja nih. Lo yakin bini lo survive selama proses melahirkan ini sampe lo rela ngelewatin semua prosesnya dan berpikir untuk mendampingi dia lebih lama pasca melahirkan? Kalau seandainya Tuhan bilang nggak selamat gimana? Di sini pun gue mulai mengetahui kalau ternyata suami dari adik gue ini adalah orang yang sulit untuk berpikir cepat, apalagi membuat keputusan-keputusan strategis di waktu yang sempit. Mustahil.
Efeknya kami jadi lebih repot lagi. Apalagi Mama. Mama yang menyiapkan semua kebutuhan melahirkan Dania dan kebutuhan calon keponakan gue itu. Bukan Dania dan suaminya. Dania menyiapkan sendiri dan dibantu Mama. Tapi karena Dania belum punya pengalaman, Dania masih sangat mengandalkan Mama untuk semua persiapannya. Dan karena Mama udah keburu panik saat Dania di rumah sakit, gue dipaksa untuk standby dan bantu ini itu.
Gue harus standby? Terus gue lakuin? Oh tentu saja tidak. Selama proses persiapannya, gue nggak merasa bertanggungjawab untuk mempersiapkan segala kebutuhan Dania. Memang gue membantu dia, tetapi gue membantu dia karena gue sadar diri untuk bergantian dengan Mama. Bukan karena gue merasa harus menjaga adik gue sepenuhnya. Tetapi gue sadar, Mama pasti lelah dengan segala persiapannya.
Dan suaminya masih tak kunjung datang.
Suaminya datang tepat ketika sudah hampir bukaan kesepuluh. Ketika dia datang, dia langsung diminta masuk ke ruang bersalin untuk mendampingi istrinya. Hingga akhirnya keponakan gue lahir ke dunia. Gue dan Mama bersyukur karena adik gue bisa melahirkan dengan selamat tanpa kendala apapun. Memang kami jadinya harus bergantian terjaga selama belasan jam menunggu dia kontraksi, tetapi semuanya terasa lega dan terbayarkan ketika mendengar jeritan tangis bayi dari dalam ruang bersalin. Gue resmi menjadi seorang Paman.
Pasca melahirkan, gue pikir gue dan Mama bisa beristirahat sesaat sekedar untuk meluruskan kaki dan tidur sebentar. Toh udah ada suaminya. Tetapi ternyata tidak. Mama tetap yang selalu membantu Dania untuk mengurus anaknya. Mama yang membantu menggendong anaknya ketika anaknya nggak kunjung tidur karena ASI adik gue belum cukup banyak. Mama juga yang mempersiapkan rumah untuk kepulangan adik gue. Gue hanya jadi supir dan babu untuk bawa barang kesana sini. Gue sengaja tidak ikut campur atau berinisiatif apapun. Gue mau membuktikan segala apa yang terus dibanggakan oleh adik gue itu sebenarnya hanya semu saja.
Dari kejadian ini pula, gue melihat kalau ada ketidakselarasan pemikiran antara adik gue, suaminya dan Mama. Gue hanya bisa tertawa dalam hati. Adik gue dan Mama selalu memandang rendah Emi dan terus membanggakan suami Dania, hanya karena dia berani melamar adik gue padahal baru pacaran sebentar.
Keberaniannya mereka yang berani mengambil resiko, kesungguhannya untuk berani ke jenjang lebih serius, dan perjuangannya untuk LDM menjadi poin penting yang terus dibanggakan. HANYA ITU. Emi kalah hanya dengan hal-hal itu? Semua kemampuan dan nilai plus Emi dimentahin hanya karena itu? Sungguh sebuah pemikiran yang kacau, kalau nggak mau dibilang sesat pikir.
Untungnya, ternyata suaminya benar akan cuti yang akhirnya bisa didapatkan lebih lama. Suami adik gue ini bisa tinggal di rumah kami lebih dari tiga hari. Gue jadi bisa lebih mengenal suaminya ini. Mulai dari bagaimana bersikap, bagaimana inisiatifnya, bagaimana dia menerima instruksi ribet dari Mama, serta bagaimana dia dan istrinya menyelesaikan masalah.
K. A. C. A. U.
Suaminya benar-benar nggak sesuai apa yang mereka bicarakan dan banggakan selama ini. Setidaknya itu yang bisa gue lihat. Mereka seakan tidak siap menyambut kelahiran anak pertama mereka ini. Mereka tidak tahu Do dan Don’t yang perlu diketahui plus disiapkan. Semuanya atas instruksi Mama. Mana kepala keluarganya? Mana peran suaminya? Dan masa adik gue pun nggak ada inisiatif mengingatkan suaminya? Masa adik gue malah sibuk manggil “Mama…” di setiap kesulitan dia ketika mengurus anaknya ini?
Gue ngapain aja di rumah gue yang kini menjadi ramai dengan hadirnya bayi lucu yang mirip banget dengan Dania saat masih kecil ini? Gue belajar. Bodo amat dengan apa yang dihadapi kedua orangtua dia, gue fokus memperhatikan dan mempelajari segala instruksi Mama.
Gue juga ikut belajar di internet mengenai bagaimana cara menangani bayi baru lahir. Gue belajar dari Youtube, artikel, forum parenting, dan bahkan bertanya pada Arko yang sudah lebih dulu punya anak. Tapi semuanya gue pelajari sendiri, gue nggak memberi tahu apapun yang gue pelajari ke Dania dan suaminya. Biarkan mereka belajar sendiri.
Perdebatan terus terjadi di keluarga kecil mereka. Adik gue terus menerus marah ke suaminya. Entah karena suaminya salah atau karena suaminya tidak ada inisiatif. Bahkan ketika mereka tidak sehati membuat keputusan, adik gue semakin marah.
Gue melihat suami adik gue begitu sabar menghadapi istrinya ini. Dari sini gue melihat sisi lain yang patut dibanggakan adik gue. Suaminya memang tidak sama dengan Papa, tetapi suaminya ini jauh lebih sabar dan pendengar yang baik. Walaupun memang tidak inisiatif dan cekatan seperti Papa. Terus salahnya dimana? Menjadi orang yang sabar itu berat. Gue tau darimana itu berat? Gue tau dari bagaimana Emi terus bersabar untuk bertahan mendampingi gue. Harusnya adik gue sadar itu.
Nyatanya nggak seperti itu. Yang adik gue mau adalah suami gue HARUS BISA SEPERTI PAPA! Suami gue harus bisa cekatan kayak Papa. Suami gue harus inisiatif sendiri untuk membantu ini itu atau memperbaiki hal-hal yang lebih dipahami oleh laki-laki. Suami gue harus cerdas seperti Papa. Pokoknya adik gue selalu mengeluh ke Mama dan gue karena suaminya berbeda dengan Papa. Dan itu salah besar.
Efekya jelek banget soalnya. Karena Dania sudah memandang negatif suaminya ini, apapun yang dilakukan suaminya dia anggap salah. Bahkan suatu pencapaian yang berdampak positif pun berujung tidak mendapatkan apresiasi dari diri dia. Dia hanya berkata “Ya baguslah kalau ngerti. Kan harusnya juga udah ngerti sendiri.” Lalu suaminya akan tetap tersenyum menghadapi istrinya itu.
Andai suaminya tidak sesabar itu, mungkin Dania sudah ditinggalkan oleh suaminya ini. Siapa yang mau punya istri yang kerjaannya menghina suami dan tidak menghargai segala usaha suaminya? Kalau memang Dania merasa nggak cocok dan nggak suka dengan suaminya, kenapa dia menikahi suaminya ini di awal? Berarti Dania sama sekali tidak mengenal suaminya.
Menurut gue, tidak salah kalau Dania ingin memiliki suami yang sifatnya mirip dengan Papa. Tetapi kalau Dania memaksanakan sifat suaminya itu sama persis dengan sifat Papa tanpa berusaha menerima perbedaan di antara mereka, itu salah besar. Nggak akan mungkin ada sifat yang sama persis, walaupun itu jodoh kita. Jodoh itu nggak melulu tentang kesamaan. Tetapi bagaimana kita bisa saling melengkapi pun bisa dikatakan berjodoh.
Di awal, Dania sudah memantapkan hatinya untuk menerima laki-laki ini sebagai suaminya. Harusnya dia tau resikonya kalau dia tidak benar-benar mengenal suaminya ini. Dia harusnya tau apa kebaikan dan kejelekan suaminya. Bukan malah dia membandingkan Papa dengan suaminya.
Siapapun suami Dania, tidak akan sempurna di mata Dania. Suaminya akan terus dipandang negatif hanya karena suaminya tidak sama dengan Papa. Percayalah, walaupun gue anak laki-laki dari Papa, gue pun nggak sama persis kayak Papa. Itulah sebabnya di dalam pernikahan ditanyakan “Apakah kamu bersedia menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan kalian selamanya?” Dan sepertinya Dania tidak bisa menjalani ini dengan baik.
Sebenarnya gue pingin banget nasehatin Dania terkait hal ini. Dia nggak sepatutnya bersikap dan berkata demikian ke suaminya. Itu nggak sopan dan nggak baik. Kita juga nggak ada yang tau kan apakah batas kesabaran suaminya ini seperti Emi yang unlimited? Tetapi gue memilih untuk diam dan tersenyum melihat bagaimana tingkah laku mereka. Biarkan mereka mencoba menyelesaikan semuanya sendiri. Biarkan Mama mencoba membantu mereka. Yang ada malah Mama seperti nambah 2 orang anak lagi, suami Dania dan keponakan gue. Mama mengurus lebih banyak orang di rumah ini. Mama triple capenya sekarang. Gue di sini hanya berperan membantu Mama yang kelelahan. Nggak lebih.
Dalam pikiran gue saat ini adalah semoga gue dan Ara nggak mendapati kejadian-kejadian seperti ini. Gue dan Ara sudah saling kenal satu sama lain. Kami sudah hafal kebiasaan-kebiasaan satu sama lain. Yang belum itu ya urusan keuangan dan menumbuhkan cinta sejati kembali.
Gue yakin banget hal itu bukanlah hal yang sulit mengingat Ara adalah orang yang sangat terbuka akan perubahan. Dia memiliki kemampuan adaptasi yang cepat dan juga sabar dalam menghadapi sesuatu yang baru, sifat yang sama yang juga dimiliki oleh Emi.
Gue tau dimana mereka simpen kunci cadangan just in case pada lupa bawa kunci. Tapi ya nggak begitu ceritanya. Mungkin bisa begitu kalau misalnya gue udah menetap di sini, saat nanti gue sudah resmi meminang Ara. Haha. Hanya berpikir kalau gue akan meminang seorang perempuan untuk menjadi pendamping hidup gue aja, rasanya cukup membuat adrenaline gue meningkat. Soalnya, ini untuk pertama dan terakhir…
And… There’s no turnin' back.
Tanpa terasa, satu jam sudah berlalu. Ara masih juga tak kunjung kembali. Dia pun tak kunjung merespon satu pun chat gue, entah kenapa. Gue bingung, dia kemana… Gue nggak tau kenapa, hati gue pun mendadak jadi kalut menunggu begini. Hati gue yang beberapa waktu lalu mantap untuk segera meminang Ara mendadak menjadi bimbang nggak karuan.
Gue terpikir momen dimana gue pernah menunggu Lira di depan kostan dia. Dan di waktu bersamaan gue berbohong ke Emi kalau saat itu gue akan menembak Lira. Ya, itu kesalahan gue. Gue punya niatan meninggalkan Emi dengan diam-diam punya hubungan di belakang dengan Lira. Hingga akhirnya gue meninggalkan Emi sepenuhnya saat itu. Meninggalkan Emi hanya untuk sadar kalau Emi sangat berarti di hidup gue.
Kini, gue kembali menunggu cewek lain di depan rumah mereka. Tapi kali ini, gue nggak perlu berbohong sama Emi kalau saat ini gue ada di rumah Ara. Gue nggak perlu susah payah mencari alasan untuk nggak menemui Emi karena saat ini, gue udah nggak sama Emi lagi. Bukan karena gue sudah meninggalkan Emi seperti kejadian saat gue menunggu Lira dulu. Tetapi kali ini gue menunggu Ara karena Emi sudah meninggalkan gue. Dan saat ini, gue sangat sadar kalau Emi memang sangat berarti di hidup gue.
Tapi gue kayaknya nggak bisa mengejar dia kembali.
Memang nggak mudah untuk melupakan dia begitu aja. Walaupun Ara bisa mendistraksi pikiran gue sesaat untuk melupakan Emi ketika gue sedang bersamanya. Tetapi Emi nggak semudah itu untuk lepas dari pikiran gue sepenuhnya. Terlalu banyak memori yang kami tuliskan bersama.
Gue memang cowok bodoh yang menyianyiakan dia selama beberapa tahun ini karena mungkin gue terlalu mengganggap remeh dia. Gue terlalu percaya diri kalau gue dan Emi nggak akan pernah berpisah. Kalau cinta kami segitu kuatnya hingga kayaknya nggak akan ada yang bisa memisahkan kami. Buktinya kami yang seharusnya sudah saling mengenal sejak beberapa tahun sebelumnya, terus menerus dipertemukan kembali? Apa itu bukan bukti kalau Tuhan punya alasan untuk kami terus bersama?
Sebentar… Tetapi apa gerangan rahasia Tuhan lainnya ketika melihat kondisi kami saat ini? Apa Tuhan juga punya alasan untuk ini? Alasan atas perpisahan yang terjadi antara gue dan Emi diakibatkan oleh keluarga gue, bukan karena keinginan kita berdua. Apa alasan untuk semua yang terjadi saat ini?
Kalau gue kembali berpikir ke belakang atas semua yang pernah terjadi, gue memang orang yang jahat dan tidak tahu bagaimana untuk bersyukur. Mengapa demikian? Karena gue baru menyadari kalau ternyata Emi nggak pernah membuat gue menunggu seperti ini. Dia nggak pernah membuat kode-kode nggak jelas untuk gue pecahkan. Dia nggak pernah membuat gue menunggu kepastian dari dia. Dia nggak pernah membuat gue kebingungan sendiri. Karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu memberikan jawaban atas apapun segala permasalahan gue. Dia adalah bukti dari pernyataan ‘tempat untuk pulang’. Emi adalah tempat gue pulang, seharusnya. Tapi gue sendiri yang merusak semuanya. Hingga akhirnya dia lelah dan pergi meninggalkan gue, selamanya.
Gue bodoh, membiarkan Emi pergi dengan laki-laki lain. Gue bodoh, membiarkan Emi kembali ke laki-laki pertama yang pernah mengisi hati dia. Gue bener-bener bodoh karena nggak bisa ngelakuin apapun ketika gue melihat Emi bersama dia.
Persetan yang namanya temperamen. Bener kata Emi, sisi temperamental dan emosional gue ini emang sulit untuk dipahami. Ketika gue marah melihat Emi bersama dengan Fazli, bukannya gue coba mengejar dia, tetapi gue malah mundur dan memantapkan diri ke Ara. Gue lebih mementingkan kebahagiaan diri gue sendiri kalau gue itu harus bahagia dengan cewek yang sayang sama gue. Bukan cewek yang gue sayang. Biar apa? Ya biar gue bahagia lah! Tetapi gue nggak berpikir, apakah cewek yang sayang sama gue ini benar-benar bisa gue bahagiakan?
Pengalaman gue selama ini, semua cewek yang sayang sama gue pasti bisa membahagiakan gue. Karena saking sayangnya sama gue, mereka rela melakukan apapun untuk membahagiakan gue. Terus terjadi seperti itu sampai gue ketemu dengan Emi.
Emi adalah entitas yang berbeda. Emi terus berusaha membahagiakan gue bagaimanapun gue pernah menyakiti dia. Cewek ini tetap menyayangi gue dengan tulus walaupun gue pernah mengkhianati dia, berulang kali. Cewek ini tetap mempertahankan gue bagaimanapun gue pernah meninggalkan dia. Ya, dia adalah definisi cewek yang sangat menyayangi gue apa adanya.
Lalu pertanyaan gue, apakah selama ini Emi bahagia bersama gue? Apakah selama ini gue bisa membahagiakan cewek-cewek yang katanya sayang sama gue? Apakah selama ini Emi yang sangat gue sayang ini, sudah gue bahagiakan sebaik-baiknya? Dan apakah Emi justru bisa menemukan kebahagiaannya dengan Fazli, cowok yang pertama kali merasakan tulusnya rasa sayang Emi?
“Apa ini namanya Karma?” gumam gue.
“Karma apaan, Ja?” tanya seseorang yang kini udah ada di hadapan gue. Ada wangi parfum khas yang gue kenal.
“Ara?” Gue sedikit gugup dan kaget. Semoga ekspresi ini nggak terlalu kelihatan.
“Kamu kenapa ada di depan sini malem-malem begini?” Ara melihat jam di tangan kanannya. “Udah hampir jam 10 begini loh.” Ara membantu gue berdiri.
“Kok kamu pakai jam di tangan kanan sih?”
“Aku selalu pakai jam di tangan kanan, Ja. Kok kamu mendadak nanya begitu deh?”
“Nggak kok… Kamu itu selalu kayak aku. Kamu selalu pakai jam di tangan kiri. Liat aku!” Gue nunjukin jam tangan gue yang melingkar di tangan kiri gue.
Ara menatap gue tanpa berekspresi. Tetapi beberapa saat kemudian dia kembali tersenyum. “Ada yang perlu aku omongin sama kamu kayaknya…”
“Aku duluan. Ada hal penting yang harus—“
“Nggak, Ja. Kamu harus pulang sekarang.”
“Kenapa? Aku duduk di depan sini karena aku nungguin kamu. Ada hal yang penting banget harus segera aku omongin sama kamu, Ra.”
Ara ngedorong gue ke motor gue. “Not today, Ja. Udah malem. Lagipula aku mau pergi. Aku barusan abis mengantar teman kantor beli perlengkapan buat menginap. Soalnya aku mau ada business trip besok.”
“Business trip?”
“Iya, beberapa hari.”
“Kemana? Kapan kamu pulang? Kok kamu nggak cerita sama aku?”
“Ke Bali. Jadwalnya sih 4 hari. Semoga aja nggak molor deh. Nanti kita video call aja ya kalau ada yang mau diomongin.”
“Nggak bisa!” Suara gue agak meninggi.
Ara keliatan kebingungan. “Hmm. Yaudah kalau begitu… Hmm. Chat atau telepon biasa aja deh ceritanya?”
“Nggak bisa! Aku maunya ngomong langsung sama kamu. Ini penting banget soalnya. Makanya, sebentar aja kasih aku masuk. Kita ngomong di dalem.”
“Ija… Udah malem. Udah tau ibu kamu itu marah kan kalau kamu pulang malem dari rumah Emi. Kamu mau ibu kamu marah juga pas tau kamu pulang malem dari sini?”
“Nggak akan. Mama nggak akan marah kalau aku pulang malem dari rumah kamu.”
“Kenapa nggak akan marah?”
“Karena…” Gue nggak mau cerita ke dia gimana gue ribut sama ibu gue dan Dania sebelumnya. Yang ada dia nanti saklek nggak mau nerima lamaran gue.
“Udah malem ya, Ja. Oke? Sepulang dari Bali, kita ngomong ya.”
“Tapi…”
“Oke?” Ara nyalain motor gue.
“Okay then.” Kata gue lemas. Dia kemudian memakaikan helm ke kepala gue.
“Nanti aku bakalan dengerin semua yang mau kamu omongin kok… Janji dan itu pasti. Oke? Sekarang aku juga mau istirahat buat berangkat besok. Aku aja belum packing loh ini.”
“Mau aku bantu? Apa mau aku anterin ke bandara besok pagi?”
“Nggak usah dibantu dan aku nanti dijemput sama mobil kantor kok. Jadi nothing to worry about.”
Gue tersenyum ke Ara. “Oke deh kalau gitu. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam, Ija… Hati-hati ya.”
---
Tepat satu minggu setelah perdebatan hebat keluarga gue di rumah, Dania melahirkan. Semuanya repot. Oh maksud gue bukan semuanya, tetapi gue dan Mama repot. Bukan suaminya. Karena suaminya masih tetep bekerja selama Dania kontraksi menunggu bukaan sepanjang malam.
Suami yang ia banggakan itu nggak bisa mendampingi dia selama ia menjalani proses yang mempertaruhkan hidup dan matinya. Memang sih suaminya minta maaf karena nggak bisa dapat ijin dari kantornya. Katanya dia menyimpan jatah cuti melahirkan istrinya untuk mendampingi pasca melahirkan.
Serius? Sorry to say, kita ngomong jeleknya aja nih. Lo yakin bini lo survive selama proses melahirkan ini sampe lo rela ngelewatin semua prosesnya dan berpikir untuk mendampingi dia lebih lama pasca melahirkan? Kalau seandainya Tuhan bilang nggak selamat gimana? Di sini pun gue mulai mengetahui kalau ternyata suami dari adik gue ini adalah orang yang sulit untuk berpikir cepat, apalagi membuat keputusan-keputusan strategis di waktu yang sempit. Mustahil.
Efeknya kami jadi lebih repot lagi. Apalagi Mama. Mama yang menyiapkan semua kebutuhan melahirkan Dania dan kebutuhan calon keponakan gue itu. Bukan Dania dan suaminya. Dania menyiapkan sendiri dan dibantu Mama. Tapi karena Dania belum punya pengalaman, Dania masih sangat mengandalkan Mama untuk semua persiapannya. Dan karena Mama udah keburu panik saat Dania di rumah sakit, gue dipaksa untuk standby dan bantu ini itu.
Gue harus standby? Terus gue lakuin? Oh tentu saja tidak. Selama proses persiapannya, gue nggak merasa bertanggungjawab untuk mempersiapkan segala kebutuhan Dania. Memang gue membantu dia, tetapi gue membantu dia karena gue sadar diri untuk bergantian dengan Mama. Bukan karena gue merasa harus menjaga adik gue sepenuhnya. Tetapi gue sadar, Mama pasti lelah dengan segala persiapannya.
Dan suaminya masih tak kunjung datang.
Suaminya datang tepat ketika sudah hampir bukaan kesepuluh. Ketika dia datang, dia langsung diminta masuk ke ruang bersalin untuk mendampingi istrinya. Hingga akhirnya keponakan gue lahir ke dunia. Gue dan Mama bersyukur karena adik gue bisa melahirkan dengan selamat tanpa kendala apapun. Memang kami jadinya harus bergantian terjaga selama belasan jam menunggu dia kontraksi, tetapi semuanya terasa lega dan terbayarkan ketika mendengar jeritan tangis bayi dari dalam ruang bersalin. Gue resmi menjadi seorang Paman.
Pasca melahirkan, gue pikir gue dan Mama bisa beristirahat sesaat sekedar untuk meluruskan kaki dan tidur sebentar. Toh udah ada suaminya. Tetapi ternyata tidak. Mama tetap yang selalu membantu Dania untuk mengurus anaknya. Mama yang membantu menggendong anaknya ketika anaknya nggak kunjung tidur karena ASI adik gue belum cukup banyak. Mama juga yang mempersiapkan rumah untuk kepulangan adik gue. Gue hanya jadi supir dan babu untuk bawa barang kesana sini. Gue sengaja tidak ikut campur atau berinisiatif apapun. Gue mau membuktikan segala apa yang terus dibanggakan oleh adik gue itu sebenarnya hanya semu saja.
Dari kejadian ini pula, gue melihat kalau ada ketidakselarasan pemikiran antara adik gue, suaminya dan Mama. Gue hanya bisa tertawa dalam hati. Adik gue dan Mama selalu memandang rendah Emi dan terus membanggakan suami Dania, hanya karena dia berani melamar adik gue padahal baru pacaran sebentar.
Keberaniannya mereka yang berani mengambil resiko, kesungguhannya untuk berani ke jenjang lebih serius, dan perjuangannya untuk LDM menjadi poin penting yang terus dibanggakan. HANYA ITU. Emi kalah hanya dengan hal-hal itu? Semua kemampuan dan nilai plus Emi dimentahin hanya karena itu? Sungguh sebuah pemikiran yang kacau, kalau nggak mau dibilang sesat pikir.
Untungnya, ternyata suaminya benar akan cuti yang akhirnya bisa didapatkan lebih lama. Suami adik gue ini bisa tinggal di rumah kami lebih dari tiga hari. Gue jadi bisa lebih mengenal suaminya ini. Mulai dari bagaimana bersikap, bagaimana inisiatifnya, bagaimana dia menerima instruksi ribet dari Mama, serta bagaimana dia dan istrinya menyelesaikan masalah.
K. A. C. A. U.
Suaminya benar-benar nggak sesuai apa yang mereka bicarakan dan banggakan selama ini. Setidaknya itu yang bisa gue lihat. Mereka seakan tidak siap menyambut kelahiran anak pertama mereka ini. Mereka tidak tahu Do dan Don’t yang perlu diketahui plus disiapkan. Semuanya atas instruksi Mama. Mana kepala keluarganya? Mana peran suaminya? Dan masa adik gue pun nggak ada inisiatif mengingatkan suaminya? Masa adik gue malah sibuk manggil “Mama…” di setiap kesulitan dia ketika mengurus anaknya ini?
Gue ngapain aja di rumah gue yang kini menjadi ramai dengan hadirnya bayi lucu yang mirip banget dengan Dania saat masih kecil ini? Gue belajar. Bodo amat dengan apa yang dihadapi kedua orangtua dia, gue fokus memperhatikan dan mempelajari segala instruksi Mama.
Gue juga ikut belajar di internet mengenai bagaimana cara menangani bayi baru lahir. Gue belajar dari Youtube, artikel, forum parenting, dan bahkan bertanya pada Arko yang sudah lebih dulu punya anak. Tapi semuanya gue pelajari sendiri, gue nggak memberi tahu apapun yang gue pelajari ke Dania dan suaminya. Biarkan mereka belajar sendiri.
Perdebatan terus terjadi di keluarga kecil mereka. Adik gue terus menerus marah ke suaminya. Entah karena suaminya salah atau karena suaminya tidak ada inisiatif. Bahkan ketika mereka tidak sehati membuat keputusan, adik gue semakin marah.
Gue melihat suami adik gue begitu sabar menghadapi istrinya ini. Dari sini gue melihat sisi lain yang patut dibanggakan adik gue. Suaminya memang tidak sama dengan Papa, tetapi suaminya ini jauh lebih sabar dan pendengar yang baik. Walaupun memang tidak inisiatif dan cekatan seperti Papa. Terus salahnya dimana? Menjadi orang yang sabar itu berat. Gue tau darimana itu berat? Gue tau dari bagaimana Emi terus bersabar untuk bertahan mendampingi gue. Harusnya adik gue sadar itu.
Nyatanya nggak seperti itu. Yang adik gue mau adalah suami gue HARUS BISA SEPERTI PAPA! Suami gue harus bisa cekatan kayak Papa. Suami gue harus inisiatif sendiri untuk membantu ini itu atau memperbaiki hal-hal yang lebih dipahami oleh laki-laki. Suami gue harus cerdas seperti Papa. Pokoknya adik gue selalu mengeluh ke Mama dan gue karena suaminya berbeda dengan Papa. Dan itu salah besar.
Efekya jelek banget soalnya. Karena Dania sudah memandang negatif suaminya ini, apapun yang dilakukan suaminya dia anggap salah. Bahkan suatu pencapaian yang berdampak positif pun berujung tidak mendapatkan apresiasi dari diri dia. Dia hanya berkata “Ya baguslah kalau ngerti. Kan harusnya juga udah ngerti sendiri.” Lalu suaminya akan tetap tersenyum menghadapi istrinya itu.
Andai suaminya tidak sesabar itu, mungkin Dania sudah ditinggalkan oleh suaminya ini. Siapa yang mau punya istri yang kerjaannya menghina suami dan tidak menghargai segala usaha suaminya? Kalau memang Dania merasa nggak cocok dan nggak suka dengan suaminya, kenapa dia menikahi suaminya ini di awal? Berarti Dania sama sekali tidak mengenal suaminya.
Menurut gue, tidak salah kalau Dania ingin memiliki suami yang sifatnya mirip dengan Papa. Tetapi kalau Dania memaksanakan sifat suaminya itu sama persis dengan sifat Papa tanpa berusaha menerima perbedaan di antara mereka, itu salah besar. Nggak akan mungkin ada sifat yang sama persis, walaupun itu jodoh kita. Jodoh itu nggak melulu tentang kesamaan. Tetapi bagaimana kita bisa saling melengkapi pun bisa dikatakan berjodoh.
Di awal, Dania sudah memantapkan hatinya untuk menerima laki-laki ini sebagai suaminya. Harusnya dia tau resikonya kalau dia tidak benar-benar mengenal suaminya ini. Dia harusnya tau apa kebaikan dan kejelekan suaminya. Bukan malah dia membandingkan Papa dengan suaminya.
Siapapun suami Dania, tidak akan sempurna di mata Dania. Suaminya akan terus dipandang negatif hanya karena suaminya tidak sama dengan Papa. Percayalah, walaupun gue anak laki-laki dari Papa, gue pun nggak sama persis kayak Papa. Itulah sebabnya di dalam pernikahan ditanyakan “Apakah kamu bersedia menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan kalian selamanya?” Dan sepertinya Dania tidak bisa menjalani ini dengan baik.
Sebenarnya gue pingin banget nasehatin Dania terkait hal ini. Dia nggak sepatutnya bersikap dan berkata demikian ke suaminya. Itu nggak sopan dan nggak baik. Kita juga nggak ada yang tau kan apakah batas kesabaran suaminya ini seperti Emi yang unlimited? Tetapi gue memilih untuk diam dan tersenyum melihat bagaimana tingkah laku mereka. Biarkan mereka mencoba menyelesaikan semuanya sendiri. Biarkan Mama mencoba membantu mereka. Yang ada malah Mama seperti nambah 2 orang anak lagi, suami Dania dan keponakan gue. Mama mengurus lebih banyak orang di rumah ini. Mama triple capenya sekarang. Gue di sini hanya berperan membantu Mama yang kelelahan. Nggak lebih.
Dalam pikiran gue saat ini adalah semoga gue dan Ara nggak mendapati kejadian-kejadian seperti ini. Gue dan Ara sudah saling kenal satu sama lain. Kami sudah hafal kebiasaan-kebiasaan satu sama lain. Yang belum itu ya urusan keuangan dan menumbuhkan cinta sejati kembali.
Gue yakin banget hal itu bukanlah hal yang sulit mengingat Ara adalah orang yang sangat terbuka akan perubahan. Dia memiliki kemampuan adaptasi yang cepat dan juga sabar dalam menghadapi sesuatu yang baru, sifat yang sama yang juga dimiliki oleh Emi.
Diubah oleh yanagi92055 06-09-2020 22:56
itkgid dan 28 lainnya memberi reputasi
27
Tutup