Tanyaku saat melihat Mang Ian di warungnya seperti biasa.
"Alhamdulillah, re. Anak pabrik banyak yang beli. Awal bulan, biasa."
Jawabnya.
"Inget mang, namanya usaha ada rame ada sepi. Pas rame jangan sombong, pas sepi jangan sedih."
Aku sok bijak.
"Iya re. Dulu pas awal buka sepi banget, pernah seminggu cuma dapet berapa ribu doang."
Curhatnya.
Kilahku.
Jawabnya.
Tanyaku penasaran.
Ia kemudian keluar dari warung, lalu duduk di sampingku.
Kadang pikiran orang lain gak bisa ditebak. Bisa jahat, bisa kejam. Apalagi menyangkut perkara usaha yang disaingi.
Awal bula ketika mulai merintis warung, pelanggan pelan-pelan mulai terkumpul.
Tapi bulan berikutnya, pelanggan pelan-pelan hilang.
Seringkali mereka hanya melewati warungku begitu saja & memilih warung yang jaraknya lebih jauh untuk berbelanja.
Padahal,
Warungku lebih lengkap persediaannya.
Aku masih berfikir mungkin bukan rejeki, meski pendapatan semakin menurun, hanya sabar yang bisa kulakukan.
Hingga di minggu berikutnya, tidak ada pendapatan sama sekali. Tidak ada yang mampir kemari untuk berbelanja. Mereka masih berjalan melewati warungku begitu saja.
Di titik ini, aku frustasi.
Ada apa?
Kenapa?
Pikiran untuk menyerah, menjual ruko ini & kembali ke kampung halaman menghantui setiap malam.
Karena sabarku habis, kalutku memuncak, aku pulang. Sekedar melepas penat atau mencari kesempatan lain sebelum mengambil langkah terakhir.
Setibanya di rumah, aku segera memeluk ibuku & bercerita apa yang tengah aku hadapi.
"Sabar jang, ulah pegat ngadu'a, keun ayeuna mah wang reureuh heula. Jug ulin sapoe-dua poe mah."
("Sabar nak, jangan putus berdoa, gak apa-apa sekarang istirahat aja dulu, sana main barang sehari-dua hari gak apa-apa")
Nasehatnya saat itu.
"muhun mih, ngkin aa pami tos reugreug, aa uwih deui ka kota."
("Iya bu, nanti kalo aa udah tenang, aa balik lagi ke kota")
Selama dua hari kuhabiskan waktu untuk bersantai, mengunjungi teman-sanak saudara yang lama tak berjumpa.
Lalu saat aku kembali, sesuatu terjadi.
Saat kubuka
rolling doorruko, bau yang teramat busuk menyengat.
"Hoek!"
Aku muntah, semua makanan itu keluar bebas dari kerongkonganku, mengotori lantai.
Segera ku tutup hidungku dengan siku, sambil berusaha mencari asal bau.
Saat kulangkahkan kaki masuk, potongan bangkai biawak yang membusuk serta mengeluarkan belatung berserakan di setiap sudut.
"Ini kenapa?!"
Aku setengah berteriak, hingga beberapa orang yang sedang lewat berhenti & mencoba membantu.
"Kenapa kang?"
Seorang pria dengan jaket ojek online berhenti tepat didepan warungku.
"I..ini kang, ada bangkai biawak."
Jawabku terbata.
"Loh? Kok bisa?"
Seorang penjual nasi goreng tengah malam juga turut serta.
"Saya juga gak tahu kang, ini saya baru pulang dari kampung, pas masuk udah begini."
Jelasku.
"Saya gak kuat baunya kang,
punten."
Mang ojol serta merta lari menjauh lalu muntah disana.
"Ada yang gak beres ini
mah. Ojol! Sini antar saya sebentar!!"
Tukang nasgor itu berteriak memanggil.
"Harus gimana saya pak?"
Tanyaku bingung padanya.
"Kamu tunggu disini, jangan dibersihkan dulu. Biarkan dulu."
Ujarnya.
Bahkan sebelum aku bertanya lebih lanjut.
"Mau kemana kang?"
Mang ojol menghampiri tukang nasgor.
"Antar saya pulang sebentar. Motormu bisa dibonceng 3? Tenang saya bayar
double!"
Tawarnya.
"Oke hayu!"
Mereka segera pergi meninggalkan gerobak nasi goreng didepan warungku.
Aku termenung didepan pintu ruko, menatap beberapa belatung dari bangkai biawak itu. Jika kutaksir ada sekitar 3 bangkai biawak yang sudah terpotong disana-sini.
Lebih aneh lagi, ukuran potongan bangkai itu terlalu besar untuk dilempar melalui celah ventilasi.
Pun dengan posisi potongan-potongan itu, sama sekali tidak wajar.
Selang beberapa menit, yang kutunggu kembali. Bedanya seorang wanita setengah baya ikut berhimpitan dalam satu motor bersama mereka.
"kumaha?"
("Bagaimana?")
Tanya wanita itu.
"Ada potongan bangkai biawak, nin."
Jawabku.
Wanita itu langsung masuk begitu saja, tanpa menutup hidungnya, ia terlihat menghitung potongan bangkai yang berserakan.
"Jang, dieu! Aing menta beas sakeupeul, cai herang sagelas, rokok kretek sabatang, geuwat!"
("nak, kemari! Saya minta beras segenggam, air putih segelas, rokok kretek Sebatang. Cepat!)
Perintahnya.
"Muhun, nin."
Jawabku yang kemudian menyiapkan yang ia minta.
"maneh eta ojol, jagaan hareup, mun aya nu nyampeurkeun, bejaan aing. Bah, bantuan kadieu!"
("Kamu itu ojol, jaga didepan, kalo ada yang datang, kasih tahu saya. Bah, sini bantuin.")
Wanita itu memberi perintah.
Aku, abah nasgor & wanita itu berjalan ke belakang ruko yang mana ada sawah sebesar 2 petak sebelum dilanjut rumah warga setelah itu.
Aku mengikutinya tanpa menanyakan apapun, aku sadar, hal ini menyangkut dunia yang aku tidak pahami.
"heup!"
("Berhenti!")
Ujarnya.
Lalu wanita itu duduk bersila tepat didepan sawah, menyalakan rokok kretek lalu meletakkan disampingnya.
Ia menutup mata lalu mulutnya seperti membaca mantra, samar-samar aku mendengar beberapa kalimat yang ia baca.
'ingsun nyi jagad samudera, kalayan ngadeuh patih pati.....
Marakayang....
Nemba pati...
....'
Sepenggal mantra kudengar asing.
"Abah!"
Panggilnya.
Seolah mengerti, abah nasgor melempar beras ke sembarang tempat dengan cepat.
Seketika udara malam itu berubah drastis. Suhunya naik, perlahan hangat lalu menjadi gerah.
Kami semua terdiam.
Aku bingung setengah takut, sementara gerak-gerik abah & nin seolah menunggu sesuatu.
Dan benar saja.
'BRUGH BRUGH'
Suara langkah kaki besar terdengar menghampiri kami.
Aku mulai ketakutan, seluruh tubuhku mulai gemetar.
"Ulah lumpat, tempo!"
("Jangan lari, lihat!")
Abah menunjuk ke tengah sawah gelap.
Reflek aku mengikuti kemana jarinya mengarah.
Awalnya gelap
Lalu samar kulihat ada dua cahaya berwarna kuning mengapung disana.
Seolah ada yang sedang menggambar di udara, sesuatu mulai terbentuk.
Cahaya kuning itu mulai membentuk bola mata, lalu wajah, moncong, lengkap dengan lidah merah yang menjulur.
Sejurus kemudian,
Tangan dengan empat jari serta kuku yang runcing,
Kemudian kaki yang bentuknya tak jauh berbeda dengan tangan itu.
Terakhir,
Kulitnya mulai memperlihatkan sisik di sekujur tubuhnya, makhluk itu berdiri membungkuk disana. Menggantungkan tangannya ke bawah, sesekali mengeluarkan lidahnya yang merah.
Makhluk itu seperti biawak besar yang berdiri dengan dua kaki!
Mungkin hanya khayalanku, tapi raut wajahnya seperti tersenyum.
"Nyai! Hahaha!!"
Makhluk itu bicara!
Dia benar-benar bisa bicara!
"Bejaan kanu nitah sia, aing didieu!"
(Beritahu kepada yang menyuruhmu, aku disini!")
Jawab wanita itu.
"kaula ngarti, hahaha! Heh sia! Mun hayang hirup, ingkah sia"Makhluk itu seolah menujukku.
Setelah berkata seperti itu, ia menghilang sama seperti ia muncul.
Air dalam gelas yang sedari tadi Nin pegang, kini warnanya telah menghitam kental.
Bau busuk juga keluar dari gelas itu.
Setelahnya Nin melempar itu sejauh yang bisa ia lempar ke tengah sawah.
"ulah digugu, geus balik ayeuna mah. Moal nanaon."
("Jangan dituruti, sudah sekarang kita kembali, tidak apa-apa.')
Ujarnya.
Sebelum kami tiba di pintu belakang, mang ojol terlihat berlari menghampiri.
"Aya jelema di hareup, utah getih nin."
("Ada orang didepan muntah darah, nin.")
Katanya.
Benar saja yang ia katakan, seseorang sedang menggelepar di depan pintu warungku, ia mengerang, dari mulutnya tak henti-hentinya keluar darah.
"Ampun nin, ampun."
Orang itu memohon saat kami tiba.
"Dahar ku sia bangkena, karak ku aing bere hampura!"
("Makan sana bangkainya, baru setelah itu aku beri maaf.")
Aku kaget mendengar Nin berkata seperti itu.
Seolah dirasuki, orang itu merangkak masuk, mengambil semua potongan bangkai biawak busuk dengan terburu lalu melahapnya dengan cepat.
'hoek'
Aku & mang ojol lari menjauh lalu muntah hampir bersamaan melihat pemandangan itu.
Saat aku kembali, orang itu lari terbirit-birit seperti kesetanan.
Juga seluruh bangkai biawak telah hilang, bersih tanpa sisa. Bahkan bau yang menusuk juga tak lagi tercium.
Lalu semua pamit, pergi kembali. Nin hanya berpesan untuk rajin-rajin membersihkan warung dan tak lupa agar selalu berdoa.
Ucapku.
"Lebih parah lagi, salahsatu warung tutup tiba-tiba besoknya. Bangunan warungnya malah dibongkar & gak ada bangunan apa-apa lagi sampe sekarang."
Jelas Mang Ian.
Tanyaku kemudian.
"Sepi banget re, gak ada yang lewat lagi sampe besoknya. Abis itu warung balik rame kayak biasa."
Jawabnya.
Tanyaku penasaran.