- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#468
Jilid 14 [Part 330]
Spoiler for :
SETELAH mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan antara kedua cabang aliran darahnya.
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta rombongannya akan beristirahat.
Kemudian setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.
Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam, laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara.
Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap kekuatannya?
Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya sendiri.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di halaman.
Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras
Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah suram.
Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.
Ketika kemudian Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.
Arya segera keluar kembali dengan tombak ditangannya. Dibelakangnya berjalan Wanamerta.
Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya, busur itu dimintanya. Dibelakang mereka berjajar dua orang yang menguasai penuh ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan Kanigara. Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya sampai diujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula. Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala.
Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak
Quote:
“Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang. Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu Sora?”
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.
“Bagus…” kata orang tua itu pula.
“Sebelum kau lupa Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.
“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
” Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.
“Bagus…” kata orang tua itu pula.
“Sebelum kau lupa Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.
“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
” Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.
Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan antara kedua cabang aliran darahnya.
Quote:
“Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”
“Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta rombongannya akan beristirahat.
Quote:
“Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali.
“Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”
“Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar,
“Apalagi darah.”
“Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam.
“Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui, kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”
“Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar,
“Apalagi darah.”
“Mudah-mudahan.” Orang tua itu bergumam.
Kemudian setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.
Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam, laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara.
Karena itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap kekuatannya?
Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya sendiri.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di halaman.
Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras
Quote:
“adakah kau sudah sampai di Pamingit?”
“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.
“Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.
“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.
“Benarkah laporan itu?,”
“Benar, Ki Ageng”
“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.
“Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.
“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.
“Benarkah laporan itu?,”
“Benar, Ki Ageng”
Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah suram.
Quote:
“Aku sudah menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian kepada ayahnya ia berkata
”bukankah apa yang aku katakan itu benar benar terjadi?”
“Apa yang pernah kau katakan kepadaku?”
“Bukankah ini permainan kotor?,” sahut Lembu Sora.
“Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada anaknya. Karena itu ia berkata
”Jangan tergesa-gesa Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain,” ayahnya menyoba untuk menyabarkannya.
“Tak akan salah lagi,” bantah Lembu Sora.
“Wulungan!!!,” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.
”bukankah apa yang aku katakan itu benar benar terjadi?”
“Apa yang pernah kau katakan kepadaku?”
“Bukankah ini permainan kotor?,” sahut Lembu Sora.
“Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada anaknya. Karena itu ia berkata
”Jangan tergesa-gesa Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain,” ayahnya menyoba untuk menyabarkannya.
“Tak akan salah lagi,” bantah Lembu Sora.
“Wulungan!!!,” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.
Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.
Quote:
“Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak Lembu Sora.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan.
Ketika kemudian Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.
Quote:
“Apakah yang sudah terjadi?,” pikir mereka. Tetapi melihat Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu gandok itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding.
“Apakah yang akan mereka lakukan?,” bisiknya.
“Entahlah,” jawab gurunya.
“Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.
“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa,
“bukankah demikian paman Wanamerta?”
“Ya, panah itu masih ada,” jawab Wanamerta.
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata
“Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”
Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu.
“Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”
“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan
“Baiklah kami segera akan datang,” jawab Arya
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengan orang itu berkata dari luar pintu
“marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”
“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding.
“Apakah yang akan mereka lakukan?,” bisiknya.
“Entahlah,” jawab gurunya.
“Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.
“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa,
“bukankah demikian paman Wanamerta?”
“Ya, panah itu masih ada,” jawab Wanamerta.
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata
“Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”
Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu.
“Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”
“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan
“Baiklah kami segera akan datang,” jawab Arya
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengan orang itu berkata dari luar pintu
“marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”
Arya segera keluar kembali dengan tombak ditangannya. Dibelakangnya berjalan Wanamerta.
Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya, busur itu dimintanya. Dibelakang mereka berjajar dua orang yang menguasai penuh ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan Kanigara. Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya sampai diujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak
Quote:
“Aku tidak mengharap kau naik!”
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula. Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala.
Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak
Quote:
“Aku kira kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan?”
Arya menjadi bingung, ia menjawab;
“aku tidak tahu maksud paman.”
Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai
“kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”
Arya menjadi bingung, ia menjawab;
“aku tidak tahu maksud paman.”
Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai
“kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas