- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#467
Jilid 14 [Part 329]
Spoiler for :
MAHESA JENAR, Wanamerta dan orang yang datang bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang sama sekali tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran. Namun, Lembu Sora tidak cemas menghadapinya. Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula.
Malam nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya Salaka.
Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia berkata,
Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang terucapkan.
Mahesa Jenar pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.
Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil. Wulunganpun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di bawah tangga pendapa.
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak mendapat gangguan apapun.
Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata dengan tertawa,
Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta.
Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih. Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore.
Tiba-tiba saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak.
Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya,
Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut pula.
Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke Banyubiru.
Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata
Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat. Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar.
Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-kenyang.
Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya semakin cepat.
Lembu Sora sama sekali tidak menaruh minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia tak berkata sepatah katapun.
Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya
Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorangpun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapatmerasakan lagi, betapa asinnya garam, dan betapa manisnya gula.
Sawung Sariti tidak senang mendengar kata kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal hal yang serupa, sebagaimana pernah dilakukan oleh golongan hitam.
Kiageng Sora Dipayanapun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran didinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang harus harus disingkirkan.
Malam nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya Salaka.
Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia berkata,
Quote:
“Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”
Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang terucapkan.
Mahesa Jenar pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.
Quote:
“Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana,
“Berilah aku dua orang itu.”
“Berilah aku dua orang itu.”
Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil. Wulunganpun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di bawah tangga pendapa.
Quote:
“Ada perintah Ki Ageng?”.
“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,” perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya,
“Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”
“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,” perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya,
“Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak mendapat gangguan apapun.
Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata dengan tertawa,
Quote:
“Jangan kita berbicara mengenai persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang.”
Kepada Lembu Sora ia berkata,
“Lembu Sora, marilah kita lupakan sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”
Kepada Lembu Sora ia berkata,
“Lembu Sora, marilah kita lupakan sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik hati.”
Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta.
Lembu Sora terpaksa mempersilakan mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih. Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore.
Tiba-tiba saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar. Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak.
Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya,
Quote:
“Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui ibuku?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut pula.
Quote:
Karena itu ia mendesak,
“Eyang, apakah Ibu selamat?”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Ya, ya, Arya, Ibumu selamat.”
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali,
“Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya.
Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak lagi,
“Di mana Ibu, Paman?”
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah Arya Salaka.
“Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan ketenangan.”
“Eyang, apakah Ibu selamat?”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Ya, ya, Arya, Ibumu selamat.”
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali,
“Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya.
Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak lagi,
“Di mana Ibu, Paman?”
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah Arya Salaka.
“Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan ketenangan.”
Sekali lagi Arya merasa tersinggung. Agaknya pamannya benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke Banyubiru.
Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata
Quote:
“Eyang, betapa rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih aku simpan didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya."
“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat.
Yang kemudian disambungnya dengan cepat,
”tapi jangan lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”
“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat.
Yang kemudian disambungnya dengan cepat,
”tapi jangan lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”
Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat. Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar.
Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan kenyang-kenyang.
Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya semakin cepat.
Quote:
“Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,” ayahnya memuji.
Lembu Sora sama sekali tidak menaruh minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.
Quote:
“Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu meneruskan.
“Makan bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”
Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan,
”memang agak berbedalah hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini. Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang menang.”
“Makan bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”
Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan,
”memang agak berbedalah hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini. Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang menang.”
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia tak berkata sepatah katapun.
Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya
Quote:
”Alangkah pendeknya hidup bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan dunia ini. Tetapi bagi anak muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh gairah.”
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia meneruskan
“bagi orang orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia menyahut
“Sawung Sariti benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh hukum hukumnya.”
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia meneruskan
“bagi orang orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia menyahut
“Sawung Sariti benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh hukum hukumnya.”
Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorangpun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapatmerasakan lagi, betapa asinnya garam, dan betapa manisnya gula.
Sawung Sariti tidak senang mendengar kata kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal hal yang serupa, sebagaimana pernah dilakukan oleh golongan hitam.
Kiageng Sora Dipayanapun tidak berkata-kata lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran didinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang harus harus disingkirkan.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas