- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#465
Jilid 14 [Part 327]
Spoiler for :
PERKELAHIAN yang sengit antara dua orang anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh kemarahan yang memuncak.
Demikianlah maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu.
Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main. Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa.
Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya. Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya.
Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi semakin tegang.
Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia berkata,
Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya.
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka.
Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata,
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah.
Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu kepadanya.
Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.
Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.
Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.
Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.
Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun. Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil berkata
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk naik.
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawiung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.
Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.
Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang telah lama berpisah.
Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya “apakah kau terjatuh, sayang.”
Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang.
Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam hati muridnya.
Sora Dwipayana mengangguk anggukkan kepalanya.
Demikianlah maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu.
Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main. Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa.
Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya. Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya.
Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi semakin tegang.
Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia berkata,
Quote:
“Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”
Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya.
Quote:
“Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka.
Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata,
Quote:
“Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
Quote:
“Bagus,” kata orang tua itu kemudian.
“Kalian berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.”
“Kalian berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.”
Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah.
Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu kepadanya.
Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.
Quote:
“Eyang…” desisnya.
Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.
Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.
Quote:
“Berdirilah Arya,” katanya perlahan.
Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata
Quote:
“Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan seperti kalian berdua.”
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.
Quote:
“Kakang Wanamerta,” gumamnya.
Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun. Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil berkata
Quote:
“Sokurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”
Wanamerta menggeleng
“bukan aku, tetapi tuan berdua ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya
“tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab
“Sekedar untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata
“Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”
Wanamerta menggeleng
“bukan aku, tetapi tuan berdua ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya
“tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab
“Sekedar untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata
“Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk naik.
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawiung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.
Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.
Quote:
“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,” berbisik Wulungan kepada anak buahnya.
“Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula,
“tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?.”
“Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula,
“tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?.”
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.
Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang telah lama berpisah.
Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata
Quote:
“Tubuhmu mekar seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya “apakah kau terjatuh, sayang.”
Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang.
Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam hati muridnya.
Quote:
“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian,
“aku telah mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aki menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya.”
“aku telah mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aki menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya.”
Sora Dwipayana mengangguk anggukkan kepalanya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas