- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#461
Jilid 13 [Part 324]
Spoiler for :
ORANG dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka.
Yang paling depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat memberikan tanda-tanda itu.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya.
Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke udara.
Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam.
Beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
LELAKI tua itu berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selosin anak-anaknya yang lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu.
Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha Penciptanya. Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.
Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya.
Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu. Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan laskar di garis pertempuran.
Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang di garis perbatasan. Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, merekapun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula segerombolan laskar cadangan.
Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam rombongan itu.
Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa kekerasan. Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara rombongan itu.
Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati. Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai.
Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,
Wulungan mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia mengamat-amati anak muda itu.
Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali.
Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang,
Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.
Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula.
Sambil mengangguk ia berkata,
Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya.
Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya mempengaruhinya.
Quote:
“Nah…” Srengga meneruskan,
“Hitunglah berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”
Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya.
Katanya meneruskan,
“Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”
Orang dari gardu itu mengangguk-angguk.
Salah seorang dari mereka berkata,
“Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,” jawab Srengga,
“Karena ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.
“Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”
“Hitunglah berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”
Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya.
Katanya meneruskan,
“Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”
Orang dari gardu itu mengangguk-angguk.
Salah seorang dari mereka berkata,
“Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,” jawab Srengga,
“Karena ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.
“Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”
Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka.
Yang paling depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat memberikan tanda-tanda itu.
Quote:
“Mustahil,” gumamnya.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya.
Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke udara.
Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam.
Beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
Quote:
“Adakah laskar Arya Salaka telah datang…” bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam,
“Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,
“Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam,
“Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,
“Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”
LELAKI tua itu berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selosin anak-anaknya yang lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu.
Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha Penciptanya. Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.
Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya.
Quote:
“Jangan menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu.
Anak itu memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya,
“Mengungsi di rumah sebelah.”
Anak itu memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya,
“Mengungsi di rumah sebelah.”
Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu. Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan laskar di garis pertempuran.
Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang di garis perbatasan. Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, merekapun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula segerombolan laskar cadangan.
Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam rombongan itu.
Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa kekerasan. Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara rombongan itu.
Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati. Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai.
Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,
Quote:
“Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawab Arya,
“Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawab Arya,
“Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”
Wulungan mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia mengamat-amati anak muda itu.
Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali.
Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang,
Quote:
“Jawab pertanyaanku. Siapakah kau?”
Arya masih tersenyum.
Namun ia menjawab,
“Arya Salaka.”
“He…?” Orang itu terkejut,
“Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Arya masih tersenyum.
Namun ia menjawab,
“Arya Salaka.”
“He…?” Orang itu terkejut,
“Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.
Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula.
Sambil mengangguk ia berkata,
Quote:
“Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh demikian cepatnya.”
Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya.
Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya mempengaruhinya.
Quote:
“Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”
Arya sudah tidak tersenyum lagi.
Ia melihat perubahan sikap itu.
Dengan tenang ia menjawab,
“Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya,
“Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”
Arya sudah tidak tersenyum lagi.
Ia melihat perubahan sikap itu.
Dengan tenang ia menjawab,
“Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya,
“Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas