- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#460
Jilid 13 [Part 323]
Spoiler for :
Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung tombak Arya Salaka.
Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan,
Arya percaya. Ia tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu.
Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.
Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.
Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.
Ia masih senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya?.
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar……
ORANG Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.
Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan,
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.
Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan,
Quote:
“Kita ambil jalan simpang.”
“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum gila,” bantah orang itu.
“Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang itu.
“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,
”He, kemana arah angin?”.
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik,
” terserah kepadamu.”
Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya,
“Kelaut!”.
“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara”, jawab orang Pamingit itu.
“He!,” kembali orang di gardu berteriak,
“Siapa kau?”
"Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu berteriak.
“Kenapa lewat jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.
“Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya,
“kenapa demikian banyak?,”
Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang berteriak,
” Bawa kambing kemari, kita panggang disini.”
“Baik,” jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,” bisik Arya,
“Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum gila,” bantah orang itu.
“Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang itu.
“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,
”He, kemana arah angin?”.
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik,
” terserah kepadamu.”
Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya,
“Kelaut!”.
“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara”, jawab orang Pamingit itu.
“He!,” kembali orang di gardu berteriak,
“Siapa kau?”
"Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu berteriak.
“Kenapa lewat jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.
“Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya,
“kenapa demikian banyak?,”
Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang berteriak,
” Bawa kambing kemari, kita panggang disini.”
“Baik,” jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,” bisik Arya,
“Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
Arya percaya. Ia tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu.
Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.
Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.
Quote:
“Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.
“Bahaya apa?,” desak Arya.
“Mereka bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,” potong Arya Salaka,
“mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”
“Bahaya apa?,” desak Arya.
“Mereka bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,” potong Arya Salaka,
“mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”
Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.
Quote:
“Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang Pamingit?," tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab
“Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”
“Bohong!,” bentak Arya,
“kau pasti memberikan tanda tanda rahasia kepada mereka.”
“Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggigil.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab
“Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”
“Bohong!,” bentak Arya,
“kau pasti memberikan tanda tanda rahasia kepada mereka.”
“Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggigil.
Ia masih senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya?.
Quote:
“Bukan, bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian melampaui gardu kedua?”
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
Quote:
“Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.
Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar……
ORANG Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.
Quote:
“Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.
“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima orang,” sambungnya,
“Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”
“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima orang,” sambungnya,
“Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”
Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan,
Quote:
“Anak-anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
Quote:
“Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku. Aneh.”
Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.
Quote:
“Tuhan Maha Pengasih,” desisnya.
Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
Quote:
“Siapa kau?” bentak salah seorang.
“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja sekenanya,
“Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya,
“Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.
“Aku ditipunya.”
“Bohong,” bentak orang itu.
“Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya.
Katanya,
“Nah, kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”
“Pengecut,” bentak salah seorang.
“Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga.
“Limabelas orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”
“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.
“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah.
“Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”
“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.
“Omong kosong,” bentak Srengga.
“Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu siapa yang berkuda tadi?”
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek,
“Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau tetekan?”
“Lebih dari itu,” potong Srengga.
“Mereka adalah Arya Salaka.”
“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu.
“Kalau benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau sia-siakan?”
“Aku belum selesai,” sahut Srengga,
“Yang lain adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup banyak?” sela seseorang.
“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan,
“Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab Srengga.
“Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang lalu.”
“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja sekenanya,
“Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya,
“Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.
“Aku ditipunya.”
“Bohong,” bentak orang itu.
“Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya.
Katanya,
“Nah, kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”
“Pengecut,” bentak salah seorang.
“Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga.
“Limabelas orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”
“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.
“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah.
“Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”
“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.
“Omong kosong,” bentak Srengga.
“Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu siapa yang berkuda tadi?”
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek,
“Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau tetekan?”
“Lebih dari itu,” potong Srengga.
“Mereka adalah Arya Salaka.”
“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu.
“Kalau benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau sia-siakan?”
“Aku belum selesai,” sahut Srengga,
“Yang lain adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup banyak?” sela seseorang.
“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan,
“Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab Srengga.
“Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang lalu.”
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas