- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#459
Jilid 13 [Part 322]
Spoiler for :
ARYA SALAKA sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.
Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya Salaka.
Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali.
Dengan beraninya ia berteriak,
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu.
Orang itu terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung walet yang menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.
Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti.
Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata,
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya.
Meskipun demikian ia tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu putaran, ia menjadi tidak berdaya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama.
Tetapi dalam pada itu terdengar Arya berkata,
bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya.
Apalagi ketika terdengar Arya berkata,
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata,
Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari pemimpinnya itu.
MEREKA diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya.
Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap.
Mereka memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya,
Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama. Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.
Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya.
Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.
Quote:
“Omong kosong!”
Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya Salaka.
Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali.
Dengan beraninya ia berteriak,
Quote:
“Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu.
Orang itu terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung walet yang menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.
Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti.
Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata,
Quote:
“Jangan meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya.
Meskipun demikian ia tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu putaran, ia menjadi tidak berdaya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama.
Tetapi dalam pada itu terdengar Arya berkata,
Quote:
“Tidakkah kau dapat mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa bencana bagimu?”
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya,
“Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”
Arya Salaka tertawa.
“Kau dengar?” katanya kepada para pengawal,
“Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,”
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya,
“Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”
Arya Salaka tertawa.
“Kau dengar?” katanya kepada para pengawal,
“Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,”
bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya.
Apalagi ketika terdengar Arya berkata,
Quote:
“Tombak orang Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras,
“Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras,
“Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata,
Quote:
“Dengarlah para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran.”
Pemimpin pengawal itu menggeliat.
“Setan!” Ia mengumpat di dalam hati.
Pemimpin pengawal itu menggeliat.
“Setan!” Ia mengumpat di dalam hati.
Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari pemimpinnya itu.
Quote:
“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.
MEREKA diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya.
Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap.
Mereka memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya,
Quote:
“Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”
Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus jantungnya.
“Marilah…” kata Arya,
“Berkuda bersama-sama dengan aku.”
Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus jantungnya.
“Marilah…” kata Arya,
“Berkuda bersama-sama dengan aku.”
Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama. Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
Quote:
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?” bisik Arya kepada orang Pamingit itu.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api.
Meskipun demikian ia berkata,
“Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”
“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api.
Meskipun demikian ia berkata,
“Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”
“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.
Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.
Quote:
“Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
“Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
“Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
Quote:
“Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta.
“Setiap saat kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah api.”
“Setiap saat kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah api.”
Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
Quote:
“Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.
“Baik Kiai,” jawab orang itu.
“Baik Kiai,” jawab orang itu.
Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.
Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya.
Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas