- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#458
Jilid 13 [Part 321]
Spoiler for :
DEMIKIAN asyiknya Arya menganyam angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang menghadang perjalanannya itu.
Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat.
Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,
Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik.
Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.
Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan dengan suara hatinya.
Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru.
Pada saat itu ia mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk.
Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi.
Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-orang Banyubiru.
Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.
Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar itu.
Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan pengawal itu,
TIBA-TIBA rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap hilang.
Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya.
Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera mendesak maju.
Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus,
Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.
Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,
Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah enam orang itu.
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu membentak,
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu.
Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat.
Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,
Quote:
“Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?”
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab,
“Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak,
“Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab Arya.
“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.
“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta,
“Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus.”
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab,
“Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak,
“Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab Arya.
“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.
“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta,
“Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus.”
Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik.
Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.
Quote:
“Bukankah Tuan… Kiai Wanamerta?”
“Akulah,” jawab Wanamerta.
“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira…” bentak pemimpin rombongan itu,
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira,
“Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”
“Tidak!” bentak pemimpin itu.
“Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan menggurui aku,”bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.
“Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”
Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,
“Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.
“Kau akan melawan pemimpinmu?”
“Akulah,” jawab Wanamerta.
“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira…” bentak pemimpin rombongan itu,
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira,
“Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”
“Tidak!” bentak pemimpin itu.
“Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan menggurui aku,”bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.
“Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”
Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,
“Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.
“Kau akan melawan pemimpinmu?”
Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan dengan suara hatinya.
Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru.
Pada saat itu ia mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk.
Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi.
Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-orang Banyubiru.
Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.
Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar itu.
Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan pengawal itu,
Quote:
“Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”
Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat,
“Aku Arya Salaka.”
“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.
Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat,
“Aku Arya Salaka.”
“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.
TIBA-TIBA rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap hilang.
Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya.
Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera mendesak maju.
Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus,
Quote:
“Jadi kaulah orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”
“Kenapa mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit itu tertawa.
Kemudian kepada anak buahnya ia berkata,
“Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal itupun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan senjata terhunus.
“Satu, dua tiga, empat, lima enam.”
Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.
“Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak…” kata Arya Salaka tenang,
“Jangan mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan kembali.”
“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.
Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab,
“Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” tanya Arya.
“Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu menggeleng.
Perintahnya,
“Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
“Kenapa mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit itu tertawa.
Kemudian kepada anak buahnya ia berkata,
“Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal itupun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan senjata terhunus.
“Satu, dua tiga, empat, lima enam.”
Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.
“Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak…” kata Arya Salaka tenang,
“Jangan mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan kembali.”
“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.
Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab,
“Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” tanya Arya.
“Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu menggeleng.
Perintahnya,
“Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.
Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,
Quote:
“Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia berkata,
“Ah, betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya berkata,
“Suatu usaha yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup atau mati.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia berkata,
“Ah, betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya berkata,
“Suatu usaha yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup atau mati.”
Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah enam orang itu.
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu membentak,
Quote:
“Aku punya wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”
“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah.
“Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu itu.”
“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah.
“Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu itu.”
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu.
Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
Quote:
“Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun mampu berbuat demikian."Nah, adakah kau dengar. Sekarang biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas