- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#457
Jilid 13 [Part 320]
Spoiler for :
UNTUK menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata,
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora? Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak,
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu.
Tetapi bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden itu.
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi keadaan yang sedemikian pahit.
Terbayanglah masa kanak-kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang menawan.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan.
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru.
Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu.
Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya,
Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula.
Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak.
SENDANG PAPAT tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor. Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak akan berarti.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan dijalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.
Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan,
Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya.
Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan anak-anak mereka.
Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya,
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur. Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
Quote:
“Siapakah menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?”
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora? Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak,
Quote:
“Kalau eyangmu yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan membinasakan.”
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu.
Tetapi bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden itu.
Quote:
Tiba-tiba terdengar Arya berdesis,
“Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku sanggup melawannya.”
“Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku sanggup melawannya.”
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi keadaan yang sedemikian pahit.
Terbayanglah masa kanak-kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang menawan.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan.
Quote:
“Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”
Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar,
“Atau kau cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya.
Cepat Mahesa Jenar berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya,
“Arya, sebenarnya di dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu sebelum api pertempuran ini berkobar?”
Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar,
“Atau kau cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya.
Cepat Mahesa Jenar berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya,
“Arya, sebenarnya di dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu sebelum api pertempuran ini berkobar?”
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru.
Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu.
Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya,
Quote:
“Kalau kau ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta."
"Kalau orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak panah api.”
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.
“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar,
“berkuda, dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di tengah-tengah laskar ini.”
"Kalau orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak panah api.”
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.
“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar,
“berkuda, dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di tengah-tengah laskar ini.”
Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula.
Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak.
Quote:
“Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,” katanya.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia,
“Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”
“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.
“Aku punya alasan,” potong Arya,
“Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia,
“Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”
“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.
“Aku punya alasan,” potong Arya,
“Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.
SENDANG PAPAT tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
Quote:
“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab,
“Akan aku siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab Arya,
“Kami akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap itu.”
“Akan aku siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab Arya,
“Kami akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap itu.”
Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor. Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak akan berarti.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan dijalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.
Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan,
Quote:
“Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka akan menangis karena lapar.”
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka akan menangis karena lapar.”
Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya.
Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan anak-anak mereka.
Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya,
Quote:
“Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
“Tidak,” kata gurunya itu,
“Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan duniawi.”
“Tidak,” kata gurunya itu,
“Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan duniawi.”
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur. Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
Quote:
“Ada apa?” ia bertanya.
Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang berdiri.
Kemudian terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak,
“Berhentilah di situ.”
Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang berdiri.
Kemudian terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak,
“Berhentilah di situ.”
Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas