- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#455
Jilid 13 [Part 318]
Spoiler for :
WIDURI mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah, maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang sudah dipersiapkan itu.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia mengemukakan persoalan demi persoalan. Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain.
Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.
Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu.
Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan berkata,
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya,
Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.
Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.
Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa seperti membakar kulit. Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu. Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung. Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik,
Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan cakrawala. Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan,
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mempunyai tanggapan yang lain.
Orang itu bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.
MAHESA JENAR kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar ini menuju kedalam bahaya.
Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu.
Dengan isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang kepadanya.
Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.
Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap.
Tempat itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan menjadi ujung-ujung sayap. Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba.
Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya Salaka. Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti malampun belum.
Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar. Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara Wilis.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap. Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.
Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu. Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasradan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan menuju ke Demak
Quote:
“Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.
“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Saritipun akan memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk sambil tersenyum.
“Mungkin,” gumamnya.
“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Saritipun akan memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk sambil tersenyum.
“Mungkin,” gumamnya.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia mengemukakan persoalan demi persoalan. Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain.
Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.
Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu.
Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan berkata,
Quote:
“Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya,
Quote:
“Lembu Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.”
Lalu pamannya itu menjawab,
“Baiklah ayah.”
"Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari?"
Lalu pamannya itu menjawab,
“Baiklah ayah.”
"Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari?"
Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.
Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.
Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa seperti membakar kulit. Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu. Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung. Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik,
Quote:
“Kau lihat debu itu, Widuri?”
Endang Widuri mengangguk.
“Kuda,” desisnya.
“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.
Endang Widuri mengangguk.
“Kuda,” desisnya.
“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.
Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan cakrawala. Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan,
Quote:
“Biarlah seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus.”
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mempunyai tanggapan yang lain.
Orang itu bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.
Quote:
“Jadi siapakah dia?” tanya Kebo Kanigara perlahan-lahan.
“Tak ada lain, orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Satu-satunya kemungkinan,” gumamnya.
“Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,” sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.
“Tak ada lain, orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Satu-satunya kemungkinan,” gumamnya.
“Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,” sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.
MAHESA JENAR kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar ini menuju kedalam bahaya.
Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu.
Dengan isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang kepadanya.
Quote:
“Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya.
Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata,
“Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-pertahanan baru.“
Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata,
“Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-pertahanan baru.“
Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.
Quote:
“Tetapi…” kemudian Arya Salaka meneruskan,
“Kalian jangan bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.”
“Kalian jangan bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.”
Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap.
Tempat itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan menjadi ujung-ujung sayap. Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba.
Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya Salaka. Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti malampun belum.
Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar. Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara Wilis.
Quote:
“Paman…” katanya setelah ia pun duduk,
“Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya,
“Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.
“Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya,
“Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap. Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.
Quote:
“Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab.
“Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya,
“Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan,
“Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”
Arya Salaka mengangguk-angguk.
“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati.
“Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya,
“Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan,
“Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”
Arya Salaka mengangguk-angguk.
“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati.
Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu. Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasradan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan menuju ke Demak
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas