- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#454
Jilid 13 [Part 317]
Spoiler for :
MAHESA JENAR diam sejenak. Ia melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya. Kemudian ia menyambungnya,
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak.
Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam. Terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya. Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya. Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka. Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak.
Namun meskipun demikian, umbul-umbul inipun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan tanah perdikannya, Dirata Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit.
Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam. Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha Pengasih dan Pengampun.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya. Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi.
Dan sesaat kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit harimau lapar. Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu. Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.
Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis,
Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih rapat lagi.
Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya,
Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata,
Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan, rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul.
Dengan rantai itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya,
Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih.
Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja. Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.
Quote:
“Tetapi, perhitungan kita adalah perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng pertahanan orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian siap?”
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak.
Quote:
“Kami telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.”
Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam. Terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Tanahmu adalah tanah pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar,
“Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.”
Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang. Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,
“Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar,
“Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.”
Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang. Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,
“Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya. Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya. Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka. Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak.
Namun meskipun demikian, umbul-umbul inipun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan tanah perdikannya, Dirata Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit.
Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam. Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha Pengasih dan Pengampun.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya. Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi.
Dan sesaat kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit harimau lapar. Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu. Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.
Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis,
Quote:
“Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”
RARA WILIS mengangguk sambil tersenyum, jawabnya,
“Kalau kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung nanti.” Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya.
RARA WILIS mengangguk sambil tersenyum, jawabnya,
“Kalau kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung nanti.” Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya.
Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih rapat lagi.
Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya,
Quote:
“Inilah bandul kalungmu. Pasanglah.”
Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.
Quote:
“Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.
“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.
“Apakah namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?”
Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya. Katanya,
“Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,” potong ayahnya,
“Lalu kerjakan tugasmu.”
“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.
“Apakah namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?”
Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya. Katanya,
“Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,” potong ayahnya,
“Lalu kerjakan tugasmu.”
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
Quote:
“Kakang…”
bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata,
Quote:
“Kakang lihat ini.”
Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?” ia bertanya.
“Cakra,” jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam Arya Salaka,
“Lihat.” Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang mengaguminya.
Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?” ia bertanya.
“Cakra,” jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam Arya Salaka,
“Lihat.” Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang mengaguminya.
Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan, rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul.
Dengan rantai itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya,
Quote:
“Kakang, apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?”
Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya,
“Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.”
“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.
Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya,
“Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.”
“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.
Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih.
Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja. Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.
Quote:
“Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.”
Akhirnya terdengar Arya bergumam.
“Hari ini aku akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki kota.”
Akhirnya terdengar Arya bergumam.
“Hari ini aku akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki kota.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas