- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#453
Jilid 13 [Part 316]
Spoiler for :
SEMUA yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan Endang Widuri.
Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo Kanigara. Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota laskar Banyubiru itu. Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya. Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun menoleh.
Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya.
Tetapi sebelum ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata,
Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.
Wajah Arya bertambah gembira.
Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah, menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan.
Melihat pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya.
Ia sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar.
Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu.
Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan tajam.
Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula. Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.
MAHESA JENAR kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung pedang tipisnya.
Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun berkata,
Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik. Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan Banyubiru. Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian, Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri.
Perlahan-lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik,
Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya.
Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.
Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka,
Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan barisan.
Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan,
Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo Kanigara. Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota laskar Banyubiru itu. Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya. Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun menoleh.
Quote:
Sambil tersenyum ia menyapa halus,
“Siapakah yang kau cari Widuri?”
“Tidak ada,” jawab gadis itu singkat.
“Siapakah yang kau cari Widuri?”
“Tidak ada,” jawab gadis itu singkat.
Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya.
Tetapi sebelum ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata,
Quote:
“Sebentar lagi aku akan pergi ke bukit itu.”
“Ya,” jawab Widuri singkat.
“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab Widuri.
“Di sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu, menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang lewat.”
“Ya.”
“Banyubiru harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-besarnya.”
“Ya.”
“Ya,” jawab Widuri singkat.
“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab Widuri.
“Di sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu, menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang lewat.”
“Ya.”
“Banyubiru harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-besarnya.”
“Ya.”
Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.
Wajah Arya bertambah gembira.
Quote:
“Kau dengar itu…?”
“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.
“Marilah kita bersiap,” ajak Arya.
“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.
“Marilah kita bersiap,” ajak Arya.
Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah, menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan.
Melihat pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya.
Ia sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar.
Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu.
Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan tajam.
Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula. Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.
MAHESA JENAR kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung pedang tipisnya.
Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun berkata,
Quote:
“Arya bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”
Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik. Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan Banyubiru. Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian, Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri.
Perlahan-lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik,
Quote:
“Bagaimana? Sudahkah berceritera kepada Arya Salaka?”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab,
“Belum. Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.
“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis.
“Di perjalanan kau masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara,
meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,
“Apakah aku harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut ayahnya.
“Tidak mau,” jawab Widuri.
Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
“Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.
“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri.
“Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu.
“Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab,
“Belum. Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.
“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis.
“Di perjalanan kau masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara,
meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,
“Apakah aku harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut ayahnya.
“Tidak mau,” jawab Widuri.
Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
“Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.
“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri.
“Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu.
“Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.”
Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya.
Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.
Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka,
Quote:
“Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa bertempur, maka setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan milik kalian yang paling berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan meninggalkan berisan.”
Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan barisan.
Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
Quote:
“Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan,
“Ternyata kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
“Ternyata kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan,
Quote:
“Tujuan kalian yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur, tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian, janganlah kalian mencari perkara.”
fakhrie... dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas