- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#450
Jilid 13 [Part 314]
Spoiler for :
DEMIKIANLAH kedatangan Wanamerta mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.
Teriakan itu kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata tergesa-gesa,
Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya,
Orang itu mengangguk.
Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.
Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Sendang Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera, berkatalah Mahesa Jenar,
Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.
Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta,
Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan.
Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya.
Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.
Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.
SEMUA terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu. Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula,
Kemudian Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia menunduk malu.
Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.
Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata,
Terdengar hampir setiap mulut bergumam. Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang cukup gawat.
Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung? Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab.
Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar,
Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata,
Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora kesetiaannya,
Quote:
“Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.
“He..?” sahut yang lain terkejut,
“Apa katamu?”
“Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama.
“He..?” sahut yang lain terkejut,
“Apa katamu?”
“Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama.
Teriakan itu kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata tergesa-gesa,
Quote:
“Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”
Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya,
Quote:
“Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”
Orang itu mengangguk.
Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.
Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Quote:
Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar,
“Kau terluka Kakang Parapat?”
Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab,
“Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”
Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira.
“Siapakah yang melukaimu?”
“Kau terluka Kakang Parapat?”
Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab,
“Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”
Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira.
“Siapakah yang melukaimu?”
Sendang Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera, berkatalah Mahesa Jenar,
Quote:
“Paman, bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah lukanya mendapatkan perawatan. Sementara itu Paman dapat berceritera dengan tenang tentang apa yang telah terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”
Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.
Quote:
“Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu.
“Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.
“Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.
Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta,
Quote:
“Apakah yang telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”
Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan.
Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya.
Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.
Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.
Quote:
“Paman….” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan.
“Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai pembalasan dendam."
“Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai pembalasan dendam."
SEMUA terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
Quote:
“Tetapi bukanlah salah Paman.”
Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu. Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula,
Quote:
“Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?”
Wanamerta menggeleng lemah.
“Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger."
“Aneh…” Mahesa Jenar bergumam.
“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat,
“Mereka adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula.
Wanamerta menggeleng lemah.
“Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger."
“Aneh…” Mahesa Jenar bergumam.
“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat,
“Mereka adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula.
Kemudian Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia menunduk malu.
Quote:
“Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.
“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?” desak ayahnya.
“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.
“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,
“Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.”
“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?” desak ayahnya.
“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.
“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,
“Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.”
Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.
Quote:
“Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.
“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara,
“Nakalnya memang bukan main.”
“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara,
“Nakalnya memang bukan main.”
Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata,
Quote:
“Itulah sebabnya, maka anak muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng Supit, Wiraraga dan Mantingan.”
“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.
“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta.
“Disebut-sebutnya nama-nama itu.”
“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara,
“Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”
“Luar biasa….”
“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.
“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta.
“Disebut-sebutnya nama-nama itu.”
“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara,
“Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”
“Luar biasa….”
Terdengar hampir setiap mulut bergumam. Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang cukup gawat.
Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung? Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab.
Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar,
Quote:
“Paman, bagaimana menurut tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”
Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab,
“Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus mencegahnya.”
Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan dada tengadah ia berkata,
“Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”
Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab,
“Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus mencegahnya.”
Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan dada tengadah ia berkata,
“Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”
Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata,
Quote:
“Kita serahkan jiwa raga kita untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”
Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora kesetiaannya,
Quote:
“Kiai Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”
“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.
“Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”
“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.
“Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas