- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#449
Jilid 13 [Part 313]
Spoiler for :
WANAMERTA terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap,
Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan. Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.
Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,
Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora. Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban.
Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang bertanya,
Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.
Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya.
Ketika Sendang Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata,
Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis daun-daunan yang baik. Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu,
Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda? Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata,
Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.
Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.
Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik.
Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh perjalanan.
Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh Sendang Parapat. Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
Masing-masing terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai. Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri.
Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda. Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.”
Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota. Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya Salaka…?
Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka. Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari. Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah kacang daun ilalang.
Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.
Quote:
“Marilah Angger.”
Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan. Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.
Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,
Quote:
“Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?”
Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.”
Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.”
Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora. Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban.
Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang bertanya,
Quote:
“Siapa…?”
“Aku Sendang Papat,” jawabnya.
Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.
“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” jelas Sendang Papat.
“Marilah Kiai,” ajak Prana,
“Marilah masuk.”
Wanamerta mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah Prana.”
Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,
“Kami persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.
“Aku Sendang Papat,” jawabnya.
Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.
“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” jelas Sendang Papat.
“Marilah Kiai,” ajak Prana,
“Marilah masuk.”
Wanamerta mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah Prana.”
Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,
“Kami persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.
Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
Quote:
“Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta.
Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.
Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya.
Ketika Sendang Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata,
Quote:
“Maafkan aku Kakang, aku tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”
Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya,
“Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”
“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta.
“Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab Sendang Parapat,
“Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.”
Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu.
“Bagus…” bisik Wanamerta.
“Kau akan segera kembali ke Banyubiru.”
Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya,
“Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”
“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta.
“Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab Sendang Parapat,
“Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.”
Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu.
“Bagus…” bisik Wanamerta.
“Kau akan segera kembali ke Banyubiru.”
Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis daun-daunan yang baik. Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu,
Quote:
“Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”
“Sendang…” berbisik Wanamerta,
“bagaimana dengan pesan anak muda itu?”
“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang Papat.
“Sendang…” berbisik Wanamerta,
“bagaimana dengan pesan anak muda itu?”
“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang Papat.
Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda? Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata,
Quote:
“Aku dapat berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang juga.”
Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.
“Parapat…” jawab Wanamerta,
“Baiklah kami berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi berkuda,” jawab Parapat.
Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.
“Parapat…” jawab Wanamerta,
“Baiklah kami berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi berkuda,” jawab Parapat.
Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.
Quote:
PRANA berdesis,
“Kuda yang bagus. Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”
“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,”jawab Wanamerta.
“Yang berempat tadi?” tanya Prana.
“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula.
“Kawan dari yang empat ini.”
“O…” sahut Prana,
“Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang Papat memotong,
“Siapakah mereka?”
“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.
“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,” sahut Wanamerta,
“Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru itu?”
“Ya.”
“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.
“Siapa?” sahut Prana,
“Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.
Ki Prana menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya.
“Kuda yang bagus. Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”
“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,”jawab Wanamerta.
“Yang berempat tadi?” tanya Prana.
“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula.
“Kawan dari yang empat ini.”
“O…” sahut Prana,
“Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang Papat memotong,
“Siapakah mereka?”
“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.
“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,” sahut Wanamerta,
“Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru itu?”
“Ya.”
“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.
“Siapa?” sahut Prana,
“Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.
Ki Prana menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya.
Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.
Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik.
Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh perjalanan.
Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh Sendang Parapat. Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
Quote:
“Hampir pagi,” desis Wanamerta.
“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam.
“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam.
Masing-masing terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai. Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri.
Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda. Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.”
Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota. Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya Salaka…?
Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka. Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari. Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah kacang daun ilalang.
Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.
fakhrie... dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas