- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#447
Jilid 13 [Part 312]
Spoiler for :
SEORANG dari anak muda itu mengulangi kata-katanya,
Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.
Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda itu menggeliat dan Cumiik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak yang menghambur-hambur.
Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.
Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu.
Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.
Tak ada jawaban.
Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan nyalanyapun telah menjadi semakin pudar pula.
Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak,
Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang mengerikan itu. Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan keempat kawannya.
Dalam cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak batu. Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata,
Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,
Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya,
Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.
Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.
Quote:
“Arya Salaka…?”
Sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu.
“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” lanjut anak muda itu.
Sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu.
“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” lanjut anak muda itu.
Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.
Quote:
“Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan.
Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda itu menggeliat dan Cumiik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak yang menghambur-hambur.
Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.
Quote:
“Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya.
Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.
Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
“Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.
Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.
Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
“Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.
Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu.
Quote:
Namun tak seorangpun berani mendekati.
“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.
“Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup.
Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.
“Kau tidak heran…?” Ia tanya.
Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab,
“Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu berkata,
“Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”
“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.
“Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup.
Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.
“Kau tidak heran…?” Ia tanya.
Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab,
“Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu berkata,
“Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”
Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.
Quote:
“Dengarlah…” katanya kemudian,
“Sawung Sariti berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.”
Anak muda itu kemudian meneruskan,
“Tetapi apa yang terjadi dengan Arya Salaka? Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan dirinya, beralas rumput,berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.”
“Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan. Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?” lanjut anak muda itu.
“Sawung Sariti berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.”
Anak muda itu kemudian meneruskan,
“Tetapi apa yang terjadi dengan Arya Salaka? Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan dirinya, beralas rumput,berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.”
“Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan. Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?” lanjut anak muda itu.
Tak ada jawaban.
Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
Quote:
“Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu pula.
Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu bertanya,
“Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu, jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”
Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu bertanya,
“Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu, jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”
Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
Quote:
“Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula.
Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa.
“Jangan takut,” katanya.
“Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”
ANAK MUDA itu diam sesaat, lalu meneruskan,
“Ketahuilah dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa.
“Jangan takut,” katanya.
“Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”
ANAK MUDA itu diam sesaat, lalu meneruskan,
“Ketahuilah dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan nyalanyapun telah menjadi semakin pudar pula.
Quote:
“Kalau begitu…” akhirnya anak muda itu berkata pula,
“Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian semua.”
“Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian semua.”
Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak,
Quote:
“Kenapa kalian belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu berbuat demikian, apakah yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”
Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang mengerikan itu. Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan keempat kawannya.
Dalam cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak batu. Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata,
Quote:
“Paman Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat, meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu sama sekali kurang bijaksana. Bukankah Paman mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”
“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus,
“Aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat dikurangi.” Anak muda itu meneruskan.
“Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya.
“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus,
“Aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat dikurangi.” Anak muda itu meneruskan.
“Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya.
Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,
Quote:
“Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini semuanya?”
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya,
“Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya,
“Ah, apakah keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya,
“Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya,
“Ah, apakah keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya,
Quote:
“Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke perkemahan.”
“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta,
“Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.”
Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya,
“Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.”
Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.”
Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya,
“Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo Kanigara.”
“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta,
“Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.”
Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya,
“Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.”
Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.”
Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya,
“Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo Kanigara.”
Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.
Quote:
“Marilah Paman….”
Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas