- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#444
Jilid 13 [Part 309]
Spoiler for :
SINAR obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.
Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak,
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.
Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya.
Hatinya yang marah itupun menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama. Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.
Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya.
Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak terkendali.
Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya.
Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan itu.
Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.
Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu.
Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak dikehendakinya.
Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.
Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit. Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.
Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan akan bertambah buruk.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati Sendang Papat.
Ketika ia sudah berada dibelakang anak muda itu ia menggapitnya Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi akhirnya ia berkata
Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya. Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamertapun berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
Tetapi wajah Sendang menjadi terang. Tampaknya ia menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama semakin dekat.
Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun tiba tiba menjadi gembira pula. Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan berkuda itu. Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar didada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apasaja yang mereka ketemukan.
Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru. Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak orang dilapangan itu.
Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di tanah.
Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat umpat. Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu terpencar pencar seperti orang kesurupan dan menginjak injak yang ada di jalannya.
Melihat sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi marah pula.
Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin. Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti.
Hanya Sendang Papatlah yang mampu menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia mendesak orang disekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia meloncat keatas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itupun tak banyak yang dapat dilakukan.
Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak,
Quote:
“Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.
Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya.
Hatinya yang marah itupun menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama. Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.
Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya.
Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak terkendali.
Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
Quote:
“He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”
Tak seorangpun yang menjawab.
“Dengar…!” teriak Sendang Papat,
“Aku akan membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku.”
Tak seorangpun yang menjawab.
“Dengar…!” teriak Sendang Papat,
“Aku akan membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku.”
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya.
Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan itu.
Quote:
“Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.
Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu.
Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak dikehendakinya.
Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.
Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit. Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.
Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan akan bertambah buruk.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati Sendang Papat.
Ketika ia sudah berada dibelakang anak muda itu ia menggapitnya Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi akhirnya ia berkata
Quote:
” Sendang, hentikan permainan ini.”
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan kecewa, bantahnya
”Aku harus membunuh semua orang yang telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta lunak.
“Kenapa aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah keblinger itu,”Wanamerta mencoba memberikan penjelasan.
“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut Sendang Papat.
“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah lapang ini?,” bertanya Wanamerta.
“Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu Sora?.”
“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan kecewa, bantahnya
”Aku harus membunuh semua orang yang telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta lunak.
“Kenapa aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah keblinger itu,”Wanamerta mencoba memberikan penjelasan.
“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut Sendang Papat.
“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah lapang ini?,” bertanya Wanamerta.
“Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu Sora?.”
“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.
Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya. Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamertapun berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
Quote:
“Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,” berbisik Wanamerta.
Tetapi wajah Sendang menjadi terang. Tampaknya ia menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama semakin dekat.
Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun tiba tiba menjadi gembira pula. Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan berkuda itu. Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar didada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apasaja yang mereka ketemukan.
Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru. Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak orang dilapangan itu.
Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di tanah.
Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat umpat. Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu terpencar pencar seperti orang kesurupan dan menginjak injak yang ada di jalannya.
Melihat sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi marah pula.
Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin. Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti.
Hanya Sendang Papatlah yang mampu menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia mendesak orang disekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia meloncat keatas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itupun tak banyak yang dapat dilakukan.
fakhrie... dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas