- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#441
Jilid 13 [Part 306]
Spoiler for :
SONTANI menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya. Sontani dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat Banyubiru,
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri disekitarnya berdesakan mundur.
Dada mereka tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu. Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.
Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan berbahaya itu.
Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi.
Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu.
Menghadapi serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya. Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan Sendang Parapat tersenyum-senyum.
Lima tahun yang lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan dan sama sekali tidak bermutu.
WANAMERTA tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak,
Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu,
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.
Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan.
Namun dengan perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.
Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram.
Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya. Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.
Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang mengalir seperti banjir.
Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan. Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.
Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan. Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia berteriak nyaring,
Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak,
Quote:
“Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah Abang.”
Kemudian kepada Wanamerta ia berkata,
“Wanamerta, bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata,
“Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya.
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab Wanamerta,
“Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.”
Kemudian kepada Wanamerta ia berkata,
“Wanamerta, bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata,
“Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya.
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab Wanamerta,
“Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.”
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri disekitarnya berdesakan mundur.
Dada mereka tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu. Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.
Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan berbahaya itu.
Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi.
Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu.
Menghadapi serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya. Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan Sendang Parapat tersenyum-senyum.
Lima tahun yang lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan dan sama sekali tidak bermutu.
WANAMERTA tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak,
Quote:
“Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu yang seolah-olah membelah langit.”
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindari serangan Wanamerta, Sontani berkata,
“Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”
“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta.
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindari serangan Wanamerta, Sontani berkata,
“Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”
“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta.
Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu,
Quote:
“Aku beri kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi.”
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.
Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan.
Namun dengan perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.
Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram.
Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya. Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.
Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang mengalir seperti banjir.
Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan. Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.
Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan. Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia berteriak nyaring,
Quote:
“He Wanamerta, bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar. Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”
“Hem…” gumam Wanamerta.
“Hem…” gumam Wanamerta.
Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak,
Quote:
“Hai, kelinci betina. Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas