- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#438
Jilid 13 [Part 303]
Spoiler for :
BEBERAPA lama tanah lapang itu tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga,
Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa kerasnya. Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta meneruskan,
Tak seorangpun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan,
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh burung.
Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya.
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajiban.
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab,
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani,
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab,
TIBA-TIBA terdengarlah gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya,
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam,
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya.
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan.
Satu demi satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak,
Terdengarlah kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu. Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat itu Wanamerta masih berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu. Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan.
Teriakan-teriakan itupun semakin lama menjadi semakin keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-teriakan itupun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika mereka melihat ketenangan yang membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir, menyegarkan tubuhnya. Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia dengan lantangnya,
Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta yang sama sekali tak mereka duga sebelumnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga,
Quote:
“Kenapa kalian berhenti bersuka ria?”
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorangpun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai padi musin basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang diperkenankan oleh agama kita.”
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorangpun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai padi musin basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa kerasnya. Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta meneruskan,
Quote:
“Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah, teruskanlah.”
Tak seorangpun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan,
Quote:
“Kenapa kalian memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak mengenal aku lagi?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau,
“Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau,
“Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?”
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh burung.
Quote:
“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu.
“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu.
Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya.
Quote:
“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,
“Kau sekarang nampak begitu gagah.”
“Kau sekarang nampak begitu gagah.”
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajiban.
Quote:
“Kiai, aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab,
Quote:
“Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya,
“Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya,
“Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani,
Quote:
“Nah Kiai… aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya,
“Sudah aku katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian,
“Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya,
“Sudah aku katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian,
“Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab,
Quote:
“Sontani, pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti sediakala.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
TIBA-TIBA terdengarlah gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya,
Quote:
“Apakah berita itu benar…?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-katanya,
“Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-katanya,
“Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?”
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam,
Quote:
“Mudah-mudahan berita itu benar.”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar dilapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang,
“Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan,
“Apakah keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula,
“Ia masih merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar dilapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang,
“Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan,
“Apakah keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula,
“Ia masih merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!”
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,
Quote:
“Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya.
Quote:
Maka terdengarlah,
“He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini.”
Kata-kata itu disusul oleh yang lain,
“Kami tidak perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
“He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini.”
Kata-kata itu disusul oleh yang lain,
“Kami tidak perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan.
Satu demi satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak,
Quote:
“Pergilah kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….”
Disaut oleh suara gemuruh,
“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.”
Disaut oleh suara gemuruh,
“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.”
Terdengarlah kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu. Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat itu Wanamerta masih berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu. Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan.
Teriakan-teriakan itupun semakin lama menjadi semakin keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-teriakan itupun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika mereka melihat ketenangan yang membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir, menyegarkan tubuhnya. Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia dengan lantangnya,
Quote:
“He, Nyi Gadung Sari kenapa kau belum juga menari? Marilah kita menari bersama-sama. Bukankah Wanamerta juga seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang berada di tanah lapang ini?”
Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.
Quote:
“Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung halaman? Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup kalian?”
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta yang sama sekali tak mereka duga sebelumnya.
Quote:
“Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?” tanya Wanamerta.
uken276 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas