- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#434
Jilid 13 [Part 299]
Spoiler for :
MAHESA JENAR menceriterakan apa yang telah terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang ayah bundanya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda itu adalah,
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora.
Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu,
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka kemudian ia mengangkat wajahnya.
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
Rara Wilis tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya sendiripun tersimpan pula harapan, agar segala sesuatunya menjadi lekas terselesaikan. Sebagai seorang gadis ia lebih mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluarga. Kepada hidup kekeluargaan yang lumrah. Meskipun di dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau dengan tetangga.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar Mahesa Jenar berkata,
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarkan.
Kemudian terdengarlah ia melanjutkan,
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipajana.
Sebagai seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin. Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya.
Tetapi apakah artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan perbuatan…?
Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-an.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda itu adalah,
Quote:
“Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora.
Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Quote:
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab,
“Arya, aku minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itupun tidak mengalami sesuatu.”
“Arya, aku minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itupun tidak mengalami sesuatu.”
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu,
Quote:
“Arya, tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka kemudian ia mengangkat wajahnya.
Quote:
Dengan penuh tekad ia berkata,
“Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga.
Katanya,
“Demikianlah putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
“Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga.
Katanya,
“Demikianlah putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
Quote:
“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,” sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat.
“Bukankah begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.”
Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem…” Widuri meneruskan,
“Kalau begitu kau adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya,
“Ayahku bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
ARYA SALAKA menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,” sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat.
“Bukankah begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.”
Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem…” Widuri meneruskan,
“Kalau begitu kau adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya,
“Ayahku bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
ARYA SALAKA menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
Quote:
“Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin melihat kehidupan bukit Telamaya dan kecerahan wajah Rawa Pening di pagi yang bening.”
Rara Wilis tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya sendiripun tersimpan pula harapan, agar segala sesuatunya menjadi lekas terselesaikan. Sebagai seorang gadis ia lebih mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluarga. Kepada hidup kekeluargaan yang lumrah. Meskipun di dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau dengan tetangga.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan.”
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarkan.
Kemudian terdengarlah ia melanjutkan,
Quote:
“Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan. Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk setiap saat berangkat ke Banyubiru.”
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipajana.
Sebagai seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin. Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya.
Tetapi apakah artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan perbuatan…?
Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-an.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas