- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#431
Jilid 13 [Part 298]
Spoiler for :
ARYA SALAKA ingat benar betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari yang masih sangat condong menembus dinding-dinding pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah. Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang mandi. Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
Sekali lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam angan-angannya. Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap. Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula. Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak.
Dalam penelahan Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja. Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya.
Tetapi rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.
DENGAN demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan, namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan, rudapaksaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-hal yang akan terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan sayur-sayuran.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri,
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab,
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-sungguh. Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta Kebo Kanigara.
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari yang masih sangat condong menembus dinding-dinding pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah. Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang mandi. Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
Quote:
“Ah…” desah Arya Salaka.
Sekali lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam angan-angannya. Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap. Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula. Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak.
Dalam penelahan Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja. Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya.
Tetapi rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.
DENGAN demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan, namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan, rudapaksaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-hal yang akan terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan sayur-sayuran.
Quote:
“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri,
Quote:
“Itulah yang aku cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab,
Quote:
“Kita dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-sungguh. Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Kakang, aku kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai tugas kita kepada Arya Salaka.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya,
“Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya,
“Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.”
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta Kebo Kanigara.
Quote:
“Arya…” kata Mahesa Jenar,
“Aku akan menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada di sana.”
“Aku akan menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada di sana.”
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas