- Beranda
- Stories from the Heart
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity
...
TS
abangruli
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity

Note from Author
Salam! Gue ucapin banyak terima kasih buat yang masih melanjutkan baca kisah tentang Danang dan Rhea. Sorry banget untuk dua chapter awal sempat gue masukin di The Second yang pertama. Soalnya waktu itu gue belum sempat bikin cover dll, hehe...
Nah berhubung sekarang dah sempat bikin cover, akhirnya gue bisa secara resmi memboyong The Second – Session 2 ke trit baru. Session kedua ini gue cukup lama nyari inspirasinya. Soalnya gue gak mau terjebak kembali menyamai alur cerita lama, jadi terpaksa nyari sesuatu yang rada-rada shocking. Harus cukup heboh untuk bisa membawa nuansa baru ke cerita Danang dan Rhea ini.
Apa itu?
Ya dengan ada Killing Rain.
Apa itu Killing Rain?
Ah ente kebanyakan nanya nih.. hehe.. Baca aja di tiga chapter awal. Yang jelas di cerita kali ini, tetap ada nuansa magis dengan adanya sosok Wulan (ternyata dulu pernah jadi pacarnya Danang lhooo... Haaaa?! Kok bisaaa.....).
Tetap ada romansa full of love dengan hadirnya Rhea.
Tetap ada unsur horror karena adanya Emon. Lho? Maaf salah. Maksudnya ada unsur komed dengan adanya Emon. Yaa.. kalau ente bisa liat mukanya Emon, emang jadi komedi seram sih.. wkwkwkw..
Dan ditambah lagi ada tokoh baru yang kemaren hanya cameo sekarang jadi bakal sering muncul. Siapakah dia??
Jeng jeng..
Upin Ipin!
Haaaaa???
Ya bukanlah!
Tapii... Yoga! Si anak indigo!
Tau lah kalo indigo gini senengnya apa.. liat demit dan kawan-kawannya! Hehehe..
So! Siap-siap ngerasain manis asem asin di cerita ini!
Akhirul kalam,
Selamat ‘menyaksikan’ yaa!
Ruli Amirullah
Bagi yang belum baca The Second Session 1.. klik dibawah ini yaa
The Second Session 1 - Jadikan Aku yang Kedua
The Second
Session 2 – The Killing Rain
Spoiler for Chapter 1 - Back to the Past:
Index
Chapter 2 - Live From New York
Chapter 3 - The Killing Rain
Chapter 4 - Death Experience
Chapter 5 - Kesurupan
Chapter 6 - Mata dibalas Mata
Chapter 7 - Chaos
Chapter 8 - Contingency Plan
Chapter 9 - Kemelut di Tengah Kemelut
Chapter 10 - Please Welcome, Khamaya!
Chapter 11 - Mengundi Nasib
Chapter 12 - Vision
Chapter 13 - First Rain
Chapter 14 - Between Dream and Rhea
Chapter 15 - Dilema
Chapter 16 - Ready to Take Off
Chapter 17 - Melayang di Tengah Maut
Chapter 18 - Walking in Dream
Chapter 19 - In The Middle of The War
Chapter 20 - Missing
Chapter 21 - Yoga
Chapter 22 - Sleeping with The Enemy
Chapter 23 - Who is Mya?
Chapter 24 – I Miss You Rhea
Chapter 25 - Telepati
Chapter 26 - Next Level of Telephaty
Announcement New Index & Format
Diubah oleh abangruli 02-06-2021 20:27
fblackid dan 36 lainnya memberi reputasi
33
24.1K
1.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#28
Chapter 10 – Please Welcome, Khamaya!
Aku siuman dengan keadaan tersiksa lahir batin. Kepala berat, badan remuk redam, perasaan kacau balau. Mataku perlahan memandang sekeliling. Pandanganku masih blur dan belum fokus. Ini kok mirip keadaan diriku dulu ya. Waktu sering pingsan. Bedanya dulu saat terbangun aku akan berada di kuburan, rumah sakit atau...
Wait... ini dimana?!
Aku terduduk dan kembali memandang sekeliling. Pandanganku sudah kembali jelas. tapi apa yang aku lihat membuat aku terkejut.
Pohon? Ilalang? Cahaya keunguan dan hijau yang berpendar? Rembulan dan gemintang tampak menghiasi langit yang juga bersinar akibat adanya cahaya mirip aurora. Lho.. ini dimana toh? Bukannya aku harusnya ada di kedutaan?
“Ah.. akhirnya engkau siuman juga Hameed...” tiba-tiba suara seorang wanita terdengar dari arah belakangku.
Aku menoleh dengan cepat. Tampak seorang wanita, mungkin berumur 30 tahunan dengan wajah yang.... mirip Wulan! Ebused... apa aku lagi ada dikenanganku lagi? Eh sebentar... Tapi itu bukan Wulan, hanya mirip tapi terlihat lebih tua... “Siapa kamu?”
“Kamu kenapa? Apa luka tadi berdampak serius?” kata wanita itu sambil melangkah mendekat. Tata bahasanya sangat sopan dan halus. Menjadikan dirinya terlihat anggun. Langkahnya pun bagai putri-putri kerajaan yang sangat teratur. Tapi yang semakin membuatku penasaran adalah suaranya. Aku seperti pernah mengenal suaranya, dimana ya. Saat wanita itu sudah berada disampingku, aku bisa dengan jelas melihat matanya yang lancip di kedua ujungnya, begitu pula telingnya. Rambutnya pun berwarna glowing perak. Mirip Wulan. Atau mungkin tepatnya sejenis dengan Wulan. Dengan raut wajah yang khawatir ia kembali mengeluarkan suara yang rasanya aku kenal... “Apakah engkau tidak mengenal diriku?”
Aku menggeleng sambil memegang kepala, mirip adegan sinetron saat sang tokoh hilang ingatan. Sedikit dramatisasi biar wanita itu yakin aku memang tak ingat apa-apa, “Enggak, aku gak tahu siapa kamu...”
“Aku Khamaya... kakaknya Wulan...” ujarnya sambil mengamati sesuatu pada kakiku.
Eaaaa...... ternyata kakiku yang terluka. Terlihat betis kananku ada luka yang ditutupi oleh semacam dedaunan. Hayyaaah.... pasti dia bingung. Kaki yang luka kok malah dampaknya jadi lupa ingatan. Pantas mukanya kebingunan. Aku aja sekarang bingung harus ngomong apa...
“Coba baringkan kembali tubuhmu, biar aku alirkan lagi energi ke kakimu..” kata Khamaya
Aku mengangguk dan membaringkan tubuh. Kesempatan emas untuk sedikit menganalisa tentang kejadian ini. Kalau melihat alam sekitar, jelas aku saat ini berada di alam lain yang pernah aku kunjungi beberapa hari lalu. Tapi kenapa saat ini aku bukan sekedar penonton? Bukannya biasanya aku melihat diriku yang lain? Kalau sekarang, mengapa aku yang menjadi tokoh utama? Mengapa aku bisa bercakap-cakap dengan mahluk di masa laluku itu?
Apakah ini mimpi? Aku melirik ke arah Khamaya. Ia tampak membuang dedaunan yang tadi menutupi lukaku. Kemudian tangan kanannya mendekat ke luka di betisku yang menganga. Tak menyentuh, hanya mendekat dan berhenti di jarak sekitar 10cm. Secara perlahan aku melihat tangannya seperti diselimuti cahaya berwarna hijau. Mirip kabut, kabut yang mengeluarkan cahaya dan tiba-tiba saja kabut tersebut bergerak cepat menuju lukaku. Seolah merangsek masuk ke dalam, dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk...”Awww.....” jeritku kaget, tak menyangka kabut tadi bisa terasa seperti tusukan suntikan. Untung hanya beberapa detik karena setelah itu aku justru merasakan rasa hangat yang menjalar. Merayap pelan tapi pasti dari lukaku ke seluruh tubuhku. Ah ini nyaman sekali rasanya. Seperti sedang minum wedang jahe di puncak.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku setelah diam beberapa saat menikmati rasa hangat tadi. Mumpung dia sudah percaya aku hilang ingatan, mending sekalian aku korek-korek aja.
“Engkau dan Wulan diserang ....”
“Hah? Diserang? Wulan bagaimana?” tanyaku mendadak ingin tahu tentang Wulan
“Itu Wulan ada disana, sudah aku obati.. masih pingsan tapi baik-baik saja..” ujar Khamaya sambil menunjuk ke semacam gundukan tanah tak jauh dari posisi diriku. Aku bisa melihat sosok Wulan sedang terbaring dengan mata terpejam. Tak ada luka berarti yang cukup terlihat. Masih lebih parah luka menganga yang tadi sempat menghiasi betis kakiku.
“Kami diserang oleh siapa?” tanyaku kembali memandang pada Khamaya
“Kalian hampir saja dicabik-cabik oleh Karkaddan... untung ada diriku yang mengawasi kalian berdua..”
“Kar.. Karadan?” aku bingung mendengar namanya, apa pula itu?
“Karkaddan.... apakah kepalamu terbentur cukup keras?” tanya Khamaya dengan khawatir, “Tapi kamu ingat siapa dirimu? Kamu tahu siapa Wulan?”
Aku mengangguk, aku tau Hameed dan aku tahu Wulan, “Iya aku tahu..”
“Syukurlah kalau begitu, itu Karkaddan...” jawab Khamaya sambil menunjuk ke arah belakangku.
Aku menengok dan terkejut setengah mati. Tak jauh dari aku berbaring, terlihat sebuah mahluk besar yang sangat mengerikan. Bentuknya sendiri cukup seram, seperti gabungan antara badak dengan kuda, dengan tubuh yang dilindungi kulit sangat tebal dan keras seperti perisai. Ada pula cula yang besar, kokoh dan lancip di kepalanya. Namun yang jauh lebih mengerikan adalah kondisinya. Hewan itu mati. Lebih tepatnya mati dalam keadaan terkoyak-koyak. Tubuh besarnya penuh dengan cabikan, kulit kerasnya yang terlihat bagai baja terbelah bagai kulit semangka. Sesuatu yang amat powerful pasti telah menghabisi hewan aneh tersebut.
“Hewan itu kenapa..? Siapa yang membunuhnya?”
“Seperti yang sudah aku ceritakan. Karkaddan hampir saja menyerang kalian berdua. Untung diriku tak jauh dari kalian. Sekalian saja aku bunuh hewan itu...”
“Kau... kau yang membunuhnya?” tanyaku takjub. Ini wanita anggun pembunuh juga ternyata, “de.. dengan apa??”
“Sepertinya dirimu benar-benar butuh pertolongan...” jawabnya kembali khawatir. Sepertinya pertanyaanku menunjukkan aku hilang ingatan, “tapi baiklah akan aku tunjukkan, mungkin itu bisa membawa kembali ingatanmu..”
Khamaya mundur beberapa langkah, kemudian kedua tangannya membentang dengan jemari yang terbuka lebar. Kepalanya mendongak keatas sambil mengatakan sesuatu yang tak aku mengerti, semacam mantera mungkin. Tiba-tiba sesuatu yang mirip petir melesat dari langit menuju kedua tangannya. Dalam sekejap jemari Khamaya yang terbuka segera menutup seolah menggenggam sesuatu. Aku kemudian terpaksa memejamkan mata karena sangat silau. Saat kemudian aku kembali membuka mata, aku melihat Khamaya sudah memegang dua buah pedang dengan warna merah yang mengkilat di bilahnya.
“Ini pedang kebanggaanku....” katanya sambil mengayunkan dengan indahnya
Aku ternganga. Indah sekali, indah sekaligus mematikan. Dan warna merah itu ternyata bukan sekedar warna, itu adalah kobaran api. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak merah yang menakjubkan. Wow...
“Siapapun yang berani menyakiti Wulan, akan berhadapan dengan pedang ini...” kata Khamaya. Intonasi suaranya semakin mengganggu memoriku. Suara Khamaya begitu aku kenal, tadi dimana dan siapa ya?
“Mata dibalas mata....hidung dibalas hidung...” ujar Khamaya. Eh sebentar, aku sepertinya pernah mendengar kata-kata itu... wah, itu...
Sebelum aku selesai berpikir, tiba-tiba Khamaya menghentakkan tangannya ke arah bumi. Dalam sekejab pedang itu hilang. Kemudian Khamaya melangkah kepadaku dan melanjutkan kata-katanya..,”nyawa di balas nyawa...”
Anjriiiit.... i know that voice! Itu suara mahluk yang merasuki Emon! Itu mahluk yang mengancam akan memenggalku! Secara refllek aku sedikit memundurkan punggungku saat ia semakin dekat.
“Hameed... apa engkau sudah melamarnya?”
Nah untuk yang ini aku ingat, “Sudah....” lho kok tapi dia tahu aku mau melamarnya?
“Bagus.. apa jawaban Wulan?” ada sinar puas di mata Khamaya.
Aku terdiam sebentar, mengingat kejadian yang aku lihat pada malam itu, “A.. aku lupa.. tapi sepertinya Wulan belum menjawab...” saat itu pintu kamarku keburu digedor-gedor oleh para mahasiswa karena Emon kesurupan. Aku tak melihat apa jawaban Wulan.
“Baiklah, nanti akan aku tanya pada Wulan saat dia siuman. Awas kalau engkau bohong....” ancam Khayama sambil melangkah menuju tubuh Wulan, “Kalau kau bohong, tubuh Sekar akan bernasib sama dengan tubuh Karkaddan itu. bahkan akan aku pastikan lebih tercabik-cabik lagi...”
Hah? Sekar? Rhea??
Aku bingung dengan situasi yang ada. Sebelum tiba-tiba aku merasa basah diwajahku
***
“Bro.. bangun bro... ayo bro...”
“Apa mungkin perlu kita sembur lagi?”
“Coba deh.. yang penting dia siuman...”
Suara-suara bising terdengar sangat mengganggu. Pyar! Aku kembali merasakan basah menerpa wajahku. Basah yang sangat mengganggu. Dengan susah payah kubuka kelopak mataku, hanya bisa terbuka sedikit. Namun cukup untuk melihat beberapa wajah mengelilingi diriku. Yang aku kenal adalah Emon, Rhea dan Pak Wahyu..
“Nah tuh mulai sedikit terbuka matanya...”
“Emon sembur lagi ya..” kata Emon sambil kembali mereguk segelas air..
Whaaaaat???!! Anjriiiiit....... itu tadi semburan Emon toh?!!
Aku melonjakkan tubuhku, memaksa dengan segenap tenaga agar terbangun.
[Bersambung]
Aku siuman dengan keadaan tersiksa lahir batin. Kepala berat, badan remuk redam, perasaan kacau balau. Mataku perlahan memandang sekeliling. Pandanganku masih blur dan belum fokus. Ini kok mirip keadaan diriku dulu ya. Waktu sering pingsan. Bedanya dulu saat terbangun aku akan berada di kuburan, rumah sakit atau...
Wait... ini dimana?!
Aku terduduk dan kembali memandang sekeliling. Pandanganku sudah kembali jelas. tapi apa yang aku lihat membuat aku terkejut.
Pohon? Ilalang? Cahaya keunguan dan hijau yang berpendar? Rembulan dan gemintang tampak menghiasi langit yang juga bersinar akibat adanya cahaya mirip aurora. Lho.. ini dimana toh? Bukannya aku harusnya ada di kedutaan?
“Ah.. akhirnya engkau siuman juga Hameed...” tiba-tiba suara seorang wanita terdengar dari arah belakangku.
Aku menoleh dengan cepat. Tampak seorang wanita, mungkin berumur 30 tahunan dengan wajah yang.... mirip Wulan! Ebused... apa aku lagi ada dikenanganku lagi? Eh sebentar... Tapi itu bukan Wulan, hanya mirip tapi terlihat lebih tua... “Siapa kamu?”
“Kamu kenapa? Apa luka tadi berdampak serius?” kata wanita itu sambil melangkah mendekat. Tata bahasanya sangat sopan dan halus. Menjadikan dirinya terlihat anggun. Langkahnya pun bagai putri-putri kerajaan yang sangat teratur. Tapi yang semakin membuatku penasaran adalah suaranya. Aku seperti pernah mengenal suaranya, dimana ya. Saat wanita itu sudah berada disampingku, aku bisa dengan jelas melihat matanya yang lancip di kedua ujungnya, begitu pula telingnya. Rambutnya pun berwarna glowing perak. Mirip Wulan. Atau mungkin tepatnya sejenis dengan Wulan. Dengan raut wajah yang khawatir ia kembali mengeluarkan suara yang rasanya aku kenal... “Apakah engkau tidak mengenal diriku?”
Aku menggeleng sambil memegang kepala, mirip adegan sinetron saat sang tokoh hilang ingatan. Sedikit dramatisasi biar wanita itu yakin aku memang tak ingat apa-apa, “Enggak, aku gak tahu siapa kamu...”
“Aku Khamaya... kakaknya Wulan...” ujarnya sambil mengamati sesuatu pada kakiku.
Eaaaa...... ternyata kakiku yang terluka. Terlihat betis kananku ada luka yang ditutupi oleh semacam dedaunan. Hayyaaah.... pasti dia bingung. Kaki yang luka kok malah dampaknya jadi lupa ingatan. Pantas mukanya kebingunan. Aku aja sekarang bingung harus ngomong apa...
“Coba baringkan kembali tubuhmu, biar aku alirkan lagi energi ke kakimu..” kata Khamaya
Aku mengangguk dan membaringkan tubuh. Kesempatan emas untuk sedikit menganalisa tentang kejadian ini. Kalau melihat alam sekitar, jelas aku saat ini berada di alam lain yang pernah aku kunjungi beberapa hari lalu. Tapi kenapa saat ini aku bukan sekedar penonton? Bukannya biasanya aku melihat diriku yang lain? Kalau sekarang, mengapa aku yang menjadi tokoh utama? Mengapa aku bisa bercakap-cakap dengan mahluk di masa laluku itu?
Apakah ini mimpi? Aku melirik ke arah Khamaya. Ia tampak membuang dedaunan yang tadi menutupi lukaku. Kemudian tangan kanannya mendekat ke luka di betisku yang menganga. Tak menyentuh, hanya mendekat dan berhenti di jarak sekitar 10cm. Secara perlahan aku melihat tangannya seperti diselimuti cahaya berwarna hijau. Mirip kabut, kabut yang mengeluarkan cahaya dan tiba-tiba saja kabut tersebut bergerak cepat menuju lukaku. Seolah merangsek masuk ke dalam, dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk...”Awww.....” jeritku kaget, tak menyangka kabut tadi bisa terasa seperti tusukan suntikan. Untung hanya beberapa detik karena setelah itu aku justru merasakan rasa hangat yang menjalar. Merayap pelan tapi pasti dari lukaku ke seluruh tubuhku. Ah ini nyaman sekali rasanya. Seperti sedang minum wedang jahe di puncak.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku setelah diam beberapa saat menikmati rasa hangat tadi. Mumpung dia sudah percaya aku hilang ingatan, mending sekalian aku korek-korek aja.
“Engkau dan Wulan diserang ....”
“Hah? Diserang? Wulan bagaimana?” tanyaku mendadak ingin tahu tentang Wulan
“Itu Wulan ada disana, sudah aku obati.. masih pingsan tapi baik-baik saja..” ujar Khamaya sambil menunjuk ke semacam gundukan tanah tak jauh dari posisi diriku. Aku bisa melihat sosok Wulan sedang terbaring dengan mata terpejam. Tak ada luka berarti yang cukup terlihat. Masih lebih parah luka menganga yang tadi sempat menghiasi betis kakiku.
“Kami diserang oleh siapa?” tanyaku kembali memandang pada Khamaya
“Kalian hampir saja dicabik-cabik oleh Karkaddan... untung ada diriku yang mengawasi kalian berdua..”
“Kar.. Karadan?” aku bingung mendengar namanya, apa pula itu?
“Karkaddan.... apakah kepalamu terbentur cukup keras?” tanya Khamaya dengan khawatir, “Tapi kamu ingat siapa dirimu? Kamu tahu siapa Wulan?”
Aku mengangguk, aku tau Hameed dan aku tahu Wulan, “Iya aku tahu..”
“Syukurlah kalau begitu, itu Karkaddan...” jawab Khamaya sambil menunjuk ke arah belakangku.
Aku menengok dan terkejut setengah mati. Tak jauh dari aku berbaring, terlihat sebuah mahluk besar yang sangat mengerikan. Bentuknya sendiri cukup seram, seperti gabungan antara badak dengan kuda, dengan tubuh yang dilindungi kulit sangat tebal dan keras seperti perisai. Ada pula cula yang besar, kokoh dan lancip di kepalanya. Namun yang jauh lebih mengerikan adalah kondisinya. Hewan itu mati. Lebih tepatnya mati dalam keadaan terkoyak-koyak. Tubuh besarnya penuh dengan cabikan, kulit kerasnya yang terlihat bagai baja terbelah bagai kulit semangka. Sesuatu yang amat powerful pasti telah menghabisi hewan aneh tersebut.
Spoiler for Penampakan Karkaddan:
“Hewan itu kenapa..? Siapa yang membunuhnya?”
“Seperti yang sudah aku ceritakan. Karkaddan hampir saja menyerang kalian berdua. Untung diriku tak jauh dari kalian. Sekalian saja aku bunuh hewan itu...”
“Kau... kau yang membunuhnya?” tanyaku takjub. Ini wanita anggun pembunuh juga ternyata, “de.. dengan apa??”
“Sepertinya dirimu benar-benar butuh pertolongan...” jawabnya kembali khawatir. Sepertinya pertanyaanku menunjukkan aku hilang ingatan, “tapi baiklah akan aku tunjukkan, mungkin itu bisa membawa kembali ingatanmu..”
Khamaya mundur beberapa langkah, kemudian kedua tangannya membentang dengan jemari yang terbuka lebar. Kepalanya mendongak keatas sambil mengatakan sesuatu yang tak aku mengerti, semacam mantera mungkin. Tiba-tiba sesuatu yang mirip petir melesat dari langit menuju kedua tangannya. Dalam sekejap jemari Khamaya yang terbuka segera menutup seolah menggenggam sesuatu. Aku kemudian terpaksa memejamkan mata karena sangat silau. Saat kemudian aku kembali membuka mata, aku melihat Khamaya sudah memegang dua buah pedang dengan warna merah yang mengkilat di bilahnya.
“Ini pedang kebanggaanku....” katanya sambil mengayunkan dengan indahnya
Aku ternganga. Indah sekali, indah sekaligus mematikan. Dan warna merah itu ternyata bukan sekedar warna, itu adalah kobaran api. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak merah yang menakjubkan. Wow...
“Siapapun yang berani menyakiti Wulan, akan berhadapan dengan pedang ini...” kata Khamaya. Intonasi suaranya semakin mengganggu memoriku. Suara Khamaya begitu aku kenal, tadi dimana dan siapa ya?
“Mata dibalas mata....hidung dibalas hidung...” ujar Khamaya. Eh sebentar, aku sepertinya pernah mendengar kata-kata itu... wah, itu...
Sebelum aku selesai berpikir, tiba-tiba Khamaya menghentakkan tangannya ke arah bumi. Dalam sekejab pedang itu hilang. Kemudian Khamaya melangkah kepadaku dan melanjutkan kata-katanya..,”nyawa di balas nyawa...”
Anjriiiit.... i know that voice! Itu suara mahluk yang merasuki Emon! Itu mahluk yang mengancam akan memenggalku! Secara refllek aku sedikit memundurkan punggungku saat ia semakin dekat.
“Hameed... apa engkau sudah melamarnya?”
Nah untuk yang ini aku ingat, “Sudah....” lho kok tapi dia tahu aku mau melamarnya?
“Bagus.. apa jawaban Wulan?” ada sinar puas di mata Khamaya.
Aku terdiam sebentar, mengingat kejadian yang aku lihat pada malam itu, “A.. aku lupa.. tapi sepertinya Wulan belum menjawab...” saat itu pintu kamarku keburu digedor-gedor oleh para mahasiswa karena Emon kesurupan. Aku tak melihat apa jawaban Wulan.
“Baiklah, nanti akan aku tanya pada Wulan saat dia siuman. Awas kalau engkau bohong....” ancam Khayama sambil melangkah menuju tubuh Wulan, “Kalau kau bohong, tubuh Sekar akan bernasib sama dengan tubuh Karkaddan itu. bahkan akan aku pastikan lebih tercabik-cabik lagi...”
Hah? Sekar? Rhea??
Aku bingung dengan situasi yang ada. Sebelum tiba-tiba aku merasa basah diwajahku
***
“Bro.. bangun bro... ayo bro...”
“Apa mungkin perlu kita sembur lagi?”
“Coba deh.. yang penting dia siuman...”
Suara-suara bising terdengar sangat mengganggu. Pyar! Aku kembali merasakan basah menerpa wajahku. Basah yang sangat mengganggu. Dengan susah payah kubuka kelopak mataku, hanya bisa terbuka sedikit. Namun cukup untuk melihat beberapa wajah mengelilingi diriku. Yang aku kenal adalah Emon, Rhea dan Pak Wahyu..
“Nah tuh mulai sedikit terbuka matanya...”
“Emon sembur lagi ya..” kata Emon sambil kembali mereguk segelas air..
Whaaaaat???!! Anjriiiiit....... itu tadi semburan Emon toh?!!
Aku melonjakkan tubuhku, memaksa dengan segenap tenaga agar terbangun.
[Bersambung]
Diubah oleh abangruli 03-09-2020 16:16
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup