- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#430
Jilid 13 [Part 297]
Spoiler for :
MEREKA menjadi agak terhibur ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, merekapun berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah.
Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan.
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak akan kering disegala musim.
Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
SEBAGAI manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa?
Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan.
Tetapi sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat dari wajah itu.
Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya.
Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk menghancurkan Demak.
Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan,
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannyapun sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lainyang setingkat dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa iapun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara.
Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih harus diatasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, merekapun berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah.
Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.
Quote:
“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-getaran itu terganggu.”
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan.
Quote:
Kemudian ia bertanya pula,
“Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar.
Kemudian ia menjawab,
“Kakang, semula akupun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya,
“Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”
“Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar.
Kemudian ia menjawab,
“Kakang, semula akupun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya,
“Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak akan kering disegala musim.
Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
SEBAGAI manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa?
Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan.
Tetapi sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat dari wajah itu.
Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya.
Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk menghancurkan Demak.
Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan,
Quote:
“Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.
Namun yang terucapkan adalah,
“Meskipun demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggungjawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.
Namun yang terucapkan adalah,
“Meskipun demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggungjawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.”
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannyapun sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lainyang setingkat dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa iapun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara.
Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih harus diatasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas