- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#425
Jilid 13 [Part 294]
Spoiler for :
MANTINGAN yang sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati.
Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa.
Mantingan bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mempu menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut penglihatannya sangat ruwet.
Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.
Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya.
Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak. Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian.
Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap gerak-geriknya.
Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.
Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu.
Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka.
RARA WILIS tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka.
Ketika Wilis sadar akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorangpun yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya,
Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar Pasingsingan.
Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa.
Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga. Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh tubuhnya.
Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar. Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.
Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun.
Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu.
Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai pundak itu. Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya. Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu.
Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.
Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa.
Mantingan bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mempu menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut penglihatannya sangat ruwet.
Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.
Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya.
Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak. Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian.
Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap gerak-geriknya.
Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.
Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu.
Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka.
RARA WILIS tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka.
Ketika Wilis sadar akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorangpun yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya,
Quote:
“Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.”
Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar Pasingsingan.
Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa.
Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga. Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh tubuhnya.
Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar. Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.
Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun.
Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu.
Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai pundak itu. Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya. Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu.
Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas