- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#424
Jilid 13 [Part 293]
Spoiler for :
HANYA dalam waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kuncing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.
Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram,
Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan.
Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.
Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian.
Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan. Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya.
Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya.
Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu telah mampu melawannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…?
Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?
Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.
PASINGSINGAN bertempur semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan.
Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh.
Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton. Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar. Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.
Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di Rawa Pening.
Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali.
Kalau demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.
teriak Pasingsingan tiba-tiba.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan. Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas Kobar. Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.
Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram,
Quote:
“Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak seorangpun dapat mencegahnya.”
Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan.
Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.
Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian.
Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan. Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya.
Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya.
Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu telah mampu melawannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…?
Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?
Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.
PASINGSINGAN bertempur semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan.
Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh.
Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton. Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar. Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.
Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di Rawa Pening.
Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali.
Kalau demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.
Quote:
“Gila!”
teriak Pasingsingan tiba-tiba.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan. Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas Kobar. Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas