Kaskus

Story

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:



Quote:



Quote:


Quote:


PROLOG

i.


Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.



Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis. 



ii.

 

Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.



Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.



Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.



Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu. 



Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.



“Toilet,” balasku singkat.



“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.



“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”



“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya



“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“Untuk melamar kerja?”



“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudmu dengan kita?”



“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”



“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”



“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.



“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.



“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



“Sialan kau mengerjaiku.”



“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.



Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
pintokowindardiAvatar border
pulaukapokAvatar border
aripinastiko612Avatar border
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#46

BAB XIII Part 1 - Pagar Gaib

i.


Terkadang beberapa orang tidak pernah menyadari kalau hidup itu sangat singkat, begitu mereka adalah orang orang beruntung, tidak merasakan rasanya dihantui oleh kematian setiap saat sepertiku ini. Aku selalu berpikir apa yang terjadi jikalau aku akan mati sekarang, apakah aku akan terlupakan, seperti mereka yang telah melewatinya, atau hidupku akan membawa sebuah arti untuk orang orang di masa mendatang. Entahlah, semua itu hanyalah pikiran gelapku, seharusnya aku membuang itu jauh jauh setelah berada di keluarga ini, tapi kenapa hal itu tetap melekat di pikiranku lah yang membuatku selalu terjaga, ingat kepada tuhan.

“Menghayal hal yang sedih lagi?” tanya Ardi yang sedang menyisiri rambut putri kerajaannya itu.

“Ya begitulah ... “

“Sepertinya kau sangat hobi ya.”

“Itu bukan hobi, itu sesuatu yang keluar dengan sendirinya,” jawabku menghela nafas.

“Sepertinya kau harus sering latihan.”

Mataku menusuk tajam ke arahnya, lebih kesal dari pada melihat si topeng.

“Itu maksudku, kalau kau diam dan tidak melakukan apa apa, inti kepalamu langsung depresi tanpa diperintah.”

“Bukan berarti harus latihan lagi lah,” Gerutuku. “Normalnya, pria muda seperti kita akan memikirkan masa depan, berpikir apa yang kalau lakukan jika jadi orang kaya, memikirkan wanita yang kau akan nikahi, dan seterusnya. Tapi anehnya aku tidak bisa berpikir seperti itu terus, hidup ini sia sia,” lanjutku lirih.

“Hidup ini panjang bagi orang yang berjalan, dan singkat bagi orang yang berdiam. Aku mungkin tidak begitu peduli kalau kau mati, tapi bagaimana dengan orang tuamu yang marah disana saat melihat kau mati saat masih bujang. Setidaknya menikahlah terlebih dahulu.”

Mendengar ocehannya yang tidak biasa membuatku merasa janggal, sejak kapan dia jadi membahas masalah begitu. “Hei - hei, lihat diri sendiri dulu, emangnya si bapak sudah menikah?”

Ardi berhenti menyisir rambutnya dan tertawa lepas seperti tidak pernah tertawa sebelumnya, sampai akhirnya ia bisa mengontrol kembali nafasnya yang sudah dihabiskannya. “Kalau kau kesal mendengarnya itu dariku, kau akan lebih kesal lagi kalau Dito yang bilang begitu.”

“Hah, Dito bilang begitu padamu? bukannya dia juga sama ya?”

Ardi mengegeleng geleng dengan tawanya yang tertahan. “Awalnya kupikir begitu, tapi aslinya dia sudah menikah loh, sebelum kau datang dan saat aku sedang pergi latihan, dia bahkan tidak mengundang satupun dari kita untuk datang.”

Kepalaku maju setiap mendengar kalimatnya yang diluar pemikiranku itu, anehnya orang itu sama sekali tidak pernah menunjukan dirinya seperti orang menikah, apa karena karena ia malu. “Seriusan Dito udah nikah? gak keliatan kayak orang udah nikah sama sekali, trus kenapa dia gak pernah pamerin istrinya, dia kan sombong gitu, apa karena istrinya jelek kali ya … “ jawabku sambil menghayal nenek nenek yang ia nikahi karena warisannya.

“Wah … kalau lihat istrinya, mungkin kau akan kesulitan melihat perempuan lain saking cantiknya, istrinya itu udah kayak model.”

“Itu sebabnya kau masih jomblo?” ledekku.

“Aku hanya belum menemukan yang tepat saja, lagipula kita masih muda, masih banyak pilihan,” jawab Ardi riang.

Aneh sekali melihatnya bicara tentang perempuan, namun mungkin Ardi benar juga, bicara seperti ini menghilangkan pikiran negatifku itu, ini mungkin tujuan dia dari awal.

“Kalau kau, gimana pacarmu?”

Aku semakin heran mendengar pertanyaannya itu, mungkin sedikit aneh, tapi mau bagaimana lagi. “Ya … kadang kita chattan, ngobrol santai, begitulah, tidak begitu banyak yang kami bicarakan. Sebenarnya juga aku tidak bisa bilang ia pacarku, karena aku tidak pernah menembaknya,” jelasku menggaruk kepala, tersipu malu dengan ketidak jantananku.

“Begitu ya kalau pacaran, sepertinya membosankan, tapi sepertinya ia perempuan yang baik.”

“Darimana kau tahu?”

“Saat berada dipemakaman, mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi dia senang sekali bisa melihatmu.”

Mendengar penjelasannya itu, aku jadi semakin tenang, sampai tidak kusadari seringaiku keluar dari lubang tergelapnya. Sedikit kebahagiaan datang dengan percakapan yang santai di pagi hari memang harusnya sering kulakukan.

ii.

Menunggu tindakan selanjutnya dari Dito, sudah sekitar dua hari kami berdiam di rumah dan menunggu dan menunggu. Kami sesekali latihan di sore hari ditambah Nadya yang ikut ikutan bersemangat ingin bergabung di tempat selanjutnya. Aku tidak yakin dengan dia, namun melihat Ardi yang tidak mencegahnya membuatku cukup bisa percaya sedikit dengan kemampuan Nadya, mungkin juga aku sesekali harus mencoba tanding dengannya.

Langit jingga yang membawa angin, awan dan juga keringat kami ke arah lautan rasanya sangat melegakan sekali, ditambah setelah ini aku akan memesan pizza untuk makan malam dengan hasil uang kemarin yang bisa buat makan enak setahun lebih mungkin. Orang aneh itu terlalu menghargai kami berlebihan, atau mungkin karena sudah standarnya orang kaya begitu, entahlah, mental orang biasa sepertiku paham apa.

Sepotong segitiga putih dengan bulatan bulatan merah di atasnya sangat menggiurkan lidah, rasa lapar setelah olahraga adalah hal yang tidak bisa ditahan lebih lama lagi. Mentraktir Nadya dan Ardi adalah rasa banggaku sendiri tahu mereka berdua punya uang lebih banyak dariku. Dan melihat keadaan lengan Ardi yang sedang menggapai box kedua membuatku mengeri kalau bukan hanya aku yang lapar, namun ia tidak sampai saat mendengar suara terdengar dari tangannya itu. Ia langsung mengangkatnya dan mengeraskan suaranya.

“Oh sialan kalian sedang makan enak rupanya … “

“Mlangshung sadhja kakha,” sahut Nadya dengan sekepalan roti di dalam kunyahnya.

“Oke oke, besok pagi kalian harus ke rumah orang ini, Nadya kau tidak boleh ikut.”

Ia langsung menelannya bulat bulat mendengar perintah kakanya itu. ”Ish … emangnya kenapa sih, kamu itu lemah, kamu itu gak kuat.

“Orang yang ali ini dilindungi adalah orang gendut, kepala botak, berkacamata, jelek, dan doyan cewe cewe muda. Apa kau masih mau ikut?”

Wajah Nadya langsung sepat. “Mbueehh … kayaknya gak deh kak, jadi pengen muntah.”

“Bagus kalau gitu, Ardi dan Jaya akan kesana dari pagi, sepertinya pagi hari adalah waktu yang aneh, namun kita tidak bisa membiarkan makhluk itu melakukan serangan kejutan lagi,” jelas Dito. “Oke kalau sudah jelas kalian besok pergi dengan tiket yang sudah saya berikan, lokasinya orang ini sekarang ada di tempat yang kutuliskan, lumayan kan sekalian kalian berdua jalan jalan. Oh iya ... jangan lupa bawa oleh oleh,” pinta Dito dengan menutup telepon dengan basa basi yang tidak mengenakan, tapi kalau dia minta begitu pasti aku harus serius membawa pulang oleh oleh, itu juga kalau kami selamat.

“Emangnya kemana kak Jaya?”

Bola mataku berputar membayangkan sepanjang apa daftar belanja yang akan diminta anak ini. “Biar kulihat dulu … ke daerah Magelang, sepertinya ada gambar candi di dekat lokasinya.”

Flex phone milikku menghilang dalam sekejap dan berpindah ke kedua tangan Nadya yang melotot dengan wajahnya yang putih terang menatap Flex phoneku dengan hidung yang hampir menempel. “Wah … borobudur, pulang pulang ke malioboro dulu ya … plisss …” pinta Nadya bagai kucing kelaparan melihat santapan di piring.

“Sebenarnya kami tidak ingin lama lama di sana, kita tidak tahu kapan sasaran selanjutnya akan dilakukan,” sanggah Ardi.

“Yah … kak Ardi mah …,” rilih Nadya yang mengarahkan mata lebarnya dan bibir mengkerutnya kali ini kearahku sebagai sasarannya. “Kak Jaya, bisa kan …”

“Ah … begini, sebenarnya ada apaan sih disana malioboro itu, bukannya jalan raya doang yak?” ucapku dengan mencoba menolak permintaanya, walau sebenarnya aku jujur juga.

Ucapanku tadi disambut Nadya dengan matanya yang meredup kehilangan harapannya. Sementara Ardi disana hanya bisa menggeleng geleng, entah maksudnya kukuh menolak pinta Nadya atau malah khawatir dengan perkataanku barusan.

“Anak rumahan,” pukar Ardi.
ariefdias
banditos69
aripinastiko612
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.