- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#420
Jilid 12 [Part 292]
Spoiler for :
SEMUA orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap Ngampar itu.
Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok.
Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya.
Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.
Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.
Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.
Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung diterima dari sumbernya.
Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu.
Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas.
Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati.
Yang lebih mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling membunuh. Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya.
Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka. Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya. Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri.
Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar. Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri. Kerena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental selangkah mundur.
Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak.
Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar biasa besarnya..?
Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok.
Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya.
Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.
Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.
Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.
Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung diterima dari sumbernya.
Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu.
Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas.
Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati.
Yang lebih mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling membunuh. Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya.
Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka. Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya. Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri.
Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar. Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri. Kerena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental selangkah mundur.
Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak.
Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar biasa besarnya..?
Bersambung…
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas