- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#419
Jilid 12 [Part 291]
Spoiler for :
MENDENGAR pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arja Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat. Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.
Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi,
Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut,
Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan yang satu itu.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan.
Karena itu dengan marahnya ia menggeram,
Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki,
Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata,
Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya,
Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur melawan tokoh tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar.
Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.
Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang. Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar.
Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya. Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu. Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.
Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.
Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.
Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.
Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi,
Quote:
“Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama itu?”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya,
“Tuan, aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”
“Hem…” Sekali lagi Pasingsingan menggeram.
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya,
“Tuan, aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”
“Hem…” Sekali lagi Pasingsingan menggeram.
Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut,
Quote:
“Adakah ceritanya itu menarik?”
“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”
“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.
“Pasingsingan sehabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.
“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar,
“Bukankah Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.”
“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
“Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan.
“Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.”
“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”
“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.
“Pasingsingan sehabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.
“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar,
“Bukankah Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.”
“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
“Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan.
“Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.”
Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan yang satu itu.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
Quote:
“Apakah Tuan tidak percaya? “
“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.
“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.
“Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.
“Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak.
“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.
“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.
“Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.
“Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak.
Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan.
Karena itu dengan marahnya ia menggeram,
Quote:
“Nah, sekarang aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku mencapai ujung cemara itu.”
Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus,
“Dua orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama Umbaran.”
Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus,
“Dua orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama Umbaran.”
Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki,
Quote:
“Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu.
“Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.
“Tentu,” Pasingsingan menegaskan,
“Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”
MAHESA JENAR tertawa pendek. Katanya,
“Ternyata Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”
Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus,
“Sayang bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”
Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak,
“Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”
“Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.
“Tentu,” Pasingsingan menegaskan,
“Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”
MAHESA JENAR tertawa pendek. Katanya,
“Ternyata Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”
Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus,
“Sayang bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”
Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak,
“Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”
Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata,
Quote:
“Apakah untung kami untuk bertempur bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”
Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya,
Quote:
“Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”
Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur melawan tokoh tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar.
Quote:
“Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”
Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.
Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang. Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar.
Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya. Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu. Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.
Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.
Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.
Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup